PALESTINA; TERORISME ZIONIS
By DR. Muhammad Nashir
Al Khawwaladah
Teroris bukanlah suatu
alat biasa yang dipakai oleh Zionisme dalam kondisi tertentu sebagai suatu
bentuk atas reaksi tertentu pula. Urusannya sangat bertolak belakang dengan itu
semua. Sesungguhnya teroris dalam wacana eksistensi Zionisme adalah bagian
tubuh internal, tidak akan berkembang struktur masyarakat kecuali dengan
teroris itu, dan tidak akan kekal eksistensi itu sendiri kecuali dengannya.
Jika teroris ini hilang maka hilang pula eksistensi tersebut. Artinya, bahwa
teroris itu bagian pokok yang tidak bersyarat dengan suatu usaha eksternal atau
kondisional.
Hubungan struktural
antara teroris dengan Zionisme ini berpulang kepada tata tertib ideologi
Zionisme pada satu sisi, pada sisi lain berpulang kepada karakter geografis
yang eksistensi itu berada dan sisi ketiga berpulang kepada peran politik yang
diemban oleh Zionisme dalam kapasitasnya sebagai pembagi kerja penjajahan.
KARAKTER
PERMANEN
Negara tidak akan
berdiri kecuali jika memerankan secara berkesinambungan suatu penindasan
kontinyu dan teror terencana melawan bangsa pemilik tanah air yang sah, bangsa
Palestina. Seperti halnya Zionisme tidak bisa mewujudkan unsur dan
eksistensinya kecuali jika ia berbentuk sehasta tanah yang memukul melawan
tanah Arab pilihan ini (Palestina, Pent.). apapun karakter penguasa politik
pada eksistensi Zionis dan apapun aliansi politik yang mengangkat penguasa,
maka karakter Zionisme itu akan tetap tidak bisa berubah-ubah. Dan karakter
yang paling penting di antara karakter-karekter itu adalah rasialis (etnis).
Rasialis (etnis) Zionis ini bukanlah ciri dadakan dan tidak lahir begitu saja.
Ia itu bersumber dari watak pemikiran teroris Zionisme dan dari peran
politiknya.
Dari sisi teoristis ini
muncul sebuah opini “Bangsa Pilihan Allah” dan dari sisi peran politik muncul
peran eksistensi Zionisme sebagai benteng militer modern yang melindungi
kepentingan-kepentingan, kekuatan-kekuatan monopoli internasional. Lebih dari
itu, sebenarnya masa sejarah yang memberikan kesempatan bagi Zionisme untuk
naik pada akhir abad kedelapanbelas, itu memberinya secara langsung karakter
rasialnya. Karena masa itu adalah puncak perang kolonial terhadap “Dunia
Ketiga” dan yang mengangkat panji-panji rasialis untuk disembunyikan
didalamnya. Seperti misi orang putih dan mengekspor peradabannya ke
negara-negara terbelakang serta perintah pemerintahan barat untuk melawan
kebodohan bangsa timur.
Perang Zionisme
terhadap Palestina adalah salah satu sebutan perang penjajahan Eropa terhadap
“Benua Ketiga”. Namun ditambah kepada karakter penjajahan klasik itu sebuah
wacana teologi baru, yang menjadikan bumi Palestina sebagai bumi yang
dijanjikan oleh Tuhan itu menjadi milik bangsa Yahudi…..?” Maka Zionisme itu
adalah penjajahan terhadap tanah air khusus menegakkan peran berdasarkan pada
agama dan soal keselamatan. Atau dengan bentuk yang lebih rinci lagi adalah
atas dasar konsesi antara agama dengan rasialis.
Bumi yang dijanjikan
itu sebagai “janji Tuhan” sedangkan penjajahnya sendiri disebut sebagai “Bangsa
istimewa” yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya, dan tidak menerima
pembauran dengan bangsa-bangsa tersebut. Seperti juga tidak mau menerima
pembagian tanah. Dari sikap ini menghasilkan tiga poin, yaitu: isolasi rasial,
diskriminasi rasial dan supermasi rasial.Isolasi rasial itu sangat penting
dalam pengumpulan “Bangsa Yahudi” yang diaku-aku di bawah kepemimpinan terpadu
membagi dunia menjadi bangsa Yahudi dan non Yahudi.
Isolasi rasial termasuk
hal yang penting dalam penggalangan Yahudi di penjuru dunia. Sebab ungkapan
keterbukaan itu berarti eksisnya setiap orang Yahudi di negara yang
ditempatinya, yang bisa secara langsung memainkan peran poltik untuk “Bangsa
Yahudi Raya”. Dan peran itu bentuknya adalah “Negara” yang mewakili spirit
Yahudi di mana saja mereka berada. Isolasi itu lawan pembauran dan musuh bagi
pemikiran “Kesatuan tanah air”, maka negara Yahudi “yang tunggal” itu adalah
Zionisme dan eksistensinya.
ISOLASI
UNIVERSAL
Seluruh pemimpin Zionis
telah meyakinkan pemikiran isolasi universal dan menganggap bahwa bahaya yang
paling esensi terhadap Zionisme adalah pembauran. Artinya keterlepasan warga
Yahudi dari rasnya dan membaur dalam masyarakat lain. Oleh karena itu, Zionisme
menyebarkan pemikiran “Non Semitic” dan dimensinya dilebih-lebihkan sampai “Non
Semitic” ini menjadi ciptaan Zionis yang lebih banyak menekankan pada aspek non
subtabsial dari pada ia sebagai sebuah hakekat obyektif. Dan yang dimaksud
dengan pembauran (fusi), menurut pandangan zionisme, adalah hilangnya
“identitas Yahudi” dan kembalinya “Bangsa Yahudi Internasional”. Maksudnya,
hilangnya legalitas formal bagi munculnya eksistensi Zionis dan
perkembangannya. Dan perlwanan Zionis langsung adalah “Isolasi Yahudi” yang
memberikan kepada Zionisme dua makna: makna pertama adalah menjaga
“kelangsungan nasional” dan mewujudkan “misi Yahudi di dunia”.
Makna kedua adalah
menjaga “Diskriminasi Yahudi” dan yang membikin “Bangsa Yahudi” sebagai bangsa
“Pilihan”. Maksudnya, sebuah bangsa yang memiliki sebutan-sebutan khusus,
kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat dan kebudayaan. Sampai akhirnya, pernikahan
seorang Yahudi dengan wanita non Yahudi adalah sebuah penghianatan agama dan
negara yang pelakunya harus mendapatkan sanksi hukum.
Isolasi rasial dalam
pemikiran Zionis adalah pada koridor pemurnian ras. Oleh karena itu, egois
subyektifis adalah keistimewaan Yahudi. Begitu juga pemisahan dari orang lain
adalah iklim beragama. Dengan begitu, maka “Ghetto” itu tidak mengartikan
tentang penolakan masyarakat terhadap Yahudi, namun sebaliknya, menyambut
keinginan-keinginan orang Yahudi yang baik. Dengan kriteria bahwa tidaklah
dikatakan ia sebagai seorang Yahudi selain menolak bergaul dengan kemanusiaan.
Agar “Isolasi rasial” ini sampai kepada titik yang paling sempurna, maka harus
dilakukan dua upaya: upaya pertama adalah menyadarkan setiap orang Yahudi akan
pentingnya pindah dari bumi “yang terpecah” ke bumi “yang dijanjikan”. Upaya
kedua adalah pentingnya memaksa orang non Yahudi untuk meninggalkan “negeri
yang dijanjikan” itu pindah ke tempat pembuangan. Hal ini membuat Zionisme
melakukan dua langkah penindasan. Pertama, memainkan teror kepada warga
Palestina agar meninggalkan bumi Palestina sebagai upaya pembersihan dari ras
Yahudi yang suci. Kedua, melakukan pemaksaan terhadap setiap orang Yahudi yang
belum kembali dari “Tempat pembuangan”.
Jadi, isolasi rasial
ini adalah alat untuk menjaga ras yang suci. Ras suci yang diaku-akukan itu
sangat penting demi menjaga supremasi ras Yahudi yang tegak di bawah panji
“misi penyelamat dunia”. Dan untuk mewujudkan misi itu harus membutuhkan
“negara Yahudi” untuk setiap orang Yahudi. Dan negara Yahudi itu sendiri demi
kepentingan warga Yahudi. Dari sini terlihat perbedaan antara Zionisme dan
model-model penjajahan tanah air lainnya. Penjajahan klasik itu menyatakan akan
“supremasi ras Eropa” yang kemudian memainkan supremasi ini sesuai dengan pola
hubungan posisi dan hirarki yang meyakinkan akan kekuasaan penuh kulit putih.
Lalu membiarkan tempat geografisnya kepada penduduk asli negeri tersebut.
Sedangkan Zionisme tidak begitu, ia menolak martabat masyarakat, karena ia
meminta kebersihan masyarakat secara ras dan untuk mewujudkan pembersihan ini,
Zionisme melakukan pemusnahan penduduk seperti mengusirnya, menekannya,
membuangnya, membunuh dan memenjarakannya.
Sesungguhnya kebersihan
negara dan masyarakat dalam pandangan Zionisme membuat tindakan teror yang
terus menerus itu adalah suatu kebutuhan hidup yang mempunyai dinamika
internal. Karena praktek teror itu tidak ada hubungannya dengan kondisi
orang-orang Palestina, ide dan prinsip-prinsipnya. Maka orang Palestina
satu-satunya yang menerima eksistensi Zionisme adalah orang Palestina yang
linglung, bisu yang tidak mau mencela secara lisan dan perbuatan cerita kuno
tentang kesucian ras itu.
Ide pemikiran kesucian
ras dalam eksistensi Zionisme telah mengambil beberapa dimensi yang belum
pernah diketahui oleh negara-negara ras lainnya, seperti Afrika Selatan dan
Rodesia. Zionisme tidak mau menerima ketundukan internal, namun ia langsung
melakukan deportasi langsung ke luar perbatasan. Dengan menjelaskan bahwa
Zionis ini adalah etnis yang paling sempurna di antara etnis-etnis yang
sekarang ini.
Maka Zionisme adalah
bentuk penjajahan tanah air tertentu di satu sisi dan ia juga merupakan penjajahan
etnis tertentu pada sisi yang lain. Ia menduduki negeri dan sekaligus
berinvestasi didalamnya, mendeportasi penduduk aslinya. Dengan begitu
penjajahan kulit putih di Afrika Selatan adalah penjajahan kelas dua jika
dibandingkan dengan penjajahan Zionisme.
Etnis Yahudi belum
terbentuk selama ekspansi ke negara Palestina, namun ia terbentuk sebelum dan
sesudah ekspansi. Oleh karena itu penjajah-penjajah Zionis itu, sejak semula,
ingin menarik dirinya dari komunitas masyarakat Arab di Palestina. Dengan
mendirikan sindikat-sindikat Zionis, menerapkan undang-undang ketenaga kerjaan
Ibrani, memboikot barang-barang Arab dan para pekerjanya. Diskriminasi ras ini
di bawah supervisi langsung lembaga-lembaga Zionis, seperti agen Zionis, dana
nasional Yahudi, dana yayasan Palestina dan serikat buruh Yahudi.
Setelah segala kondidi
siap untuk mendukung berdirinya eksistensi Zionisme, orang-orang Zionis itu
berpindah dari boikot ke deportasi, dari pemaksaan adaptasi (koeksistensi)
menuju “negara suci” yang panjinya sudah tinggi-tinggi oleh orang-orang Zionis
sejak lama. Hertzel berkata pada tahun 1895:”Penduduk asli itu hanya didorong untuk
berimigrasi sampai melewati perbatasan dengan melarangnya untuk bekerja.”
Waizman juga meyakinkan ucapan itu pada tahun 1919 saat ia memimpikan negara
Zionisme yang bentuknya Yahudi, seperti orang Inggris memimpikan negara
keraajaan Inggris.
Ucapan Waizman itu
membawa seluruh karakter fasisme, karena negara Yahudi yang diimpikan itu tidak
hanya mendeportasi penduduk aslinya saja, tetapi juga hal yang sangat penting
adalah memberangus, menghancurkan dan memusnahkan seluruh sejarah peradaban di
bidang kontruksi bangunan yang dibangun sejak lama oleh orang-orang Palestina.
Atas dasar itu, maka Zionisme tegak berdiri dengan dasar pendeportasian bangsa
dan menghapuskan peninggalan-peninggalan bersejarah dari permukaan bumi. Dengan
mempraktekkan dua maacam teror: teror masa kini dan teror masa lalu, memalsukan
secara kolektif masa kini dan masa lalu, merampas secara kolektif masa kini dan
masa lalu.
ZIONISME
PERSAMAAN NAZI JERMAN
Falsafah fasisime bisa
eksis melalui eksperimen. Maka fasisme tidak bisa eksis secara sempurna kecuali
jika bisa menerjemahkan secara riil pusat-pusat teoritisnya dalam usaha
penghancuran masa kini dan masa lalu bangsa Palestina. Zionisme bertemu
langsung dengan fasis Hitler yang tergila-gila dengan slogan “solusi terakhir”
yang berarti memusnahkan lawan tanpa peradilan. Hitler yang saat itu
bersenjatakan dengan hayalan “supermasi etnis Aria” melakukan tindakan kriminal
untuk “Jerman tanpa cacat”. Sedangkan Zionisme bergerak beraksi demi bumi yang
dijanjikan tanpa campur tangan bangsa Arab. Bumi yang akan ditempati oleh
“Bangsa pilihan Tuhan”.
Jika perjuangan bangsa
Palestina itu bisa membuyarkan mimpi Zionisme sampai sekarang, dengan tetap
eksisnya sebagian milik orang-orang Palestina di buminya, maka hal ini tidak
membuat jerah fasis zionis untuk mengontrol proyeknya dalam bentuk yang
berbeda-beda. Dan di antara instrumen yang sangat dihandalkan adalah slogan “zona
aman” atau “beberapa zona aman” yang diterapkan pada hampir sembilanpuluh
persen orang-orang Palestina. Dan “zona aman” ini tak lain adalah suatu nama
yang sudah disusun untuk hukum istiadat yang menjadikan seorang Palestina itu
sebagai yang tertuduh dan terbelakang.
Bisa dimungkinkan
penafsiran apapun aktivitas dari berbagai aktivitas sebagai “ancaman keamanan
negara”. Ini yang membuat beberapa wilayah Arab yang masih tersisa itu sebagai
daerah-daerah jajahan dan bangsa Palestina sendiri sebagai tawanannya.
Sementara manajemen yang diterapkan pada mereka adalah manajemen militer dengan
pantauan langsung beberapa perwira tinggi militer yang bertugas di departemen
perang. Sedangkan undang-undang yang berlaku adalah undang-undang darurat atau
undang-undang pertahanan dan pengadilan yang memproses masalah ke-Araban adalah
mahkamah militer.
Berdasarkan kondisi
semacam ini, nantinya akan mengahsilkan mata rantai proses (prosedur) represif.
Seperti: peraturan pelarangan berpindah yang membuat dan membatasi pemindahan
warga Palestina. Menjadikan jarak perpindahan ini sebuah tindak kriminal yang
harus mendapatkan sanksi serta mengekang hak warga Palestina dalam menyampaikan
aspirasinya dan hak untuk berkumpul. Mengekang aktivitas keilmuan, melarang
studi sampai ke jenjang perguruan tinggi dengan penyempitan peluang kerja warga
Palestina berprofesi rendahan, melarang untuk mendapatkan persamaan hak dalam
penerimaan upah, perampasan tanah dan wilayah dengan alasan untuk kepentingan
negara tinggi tanpa membayar uang ganti ruginya. Terus melarang warga Palestina
untuk berprofesi di dinas pemerintahan mana saja.
Sesungguhnya kondisi
warga Palestina di wilayahnya sendiri ini adalah persis seperti “Aphatheid”
yaitu kondisi yang dihadapi oleh warga asli di Afrika Selatan sebelum
pemerintahan Mandella. Berpegang pada realita-realita ini, maka eksistensi
Yahudi yang mengklaim sebagai negara demokratis, membagi masyarakat menjadi dua
bagian. Bagian pertama, mempraktekkan sistem “demokrasi zionis” yang meliputi
orang-orang Yahudi saja. Bagian lain, diterapkan sistem penindasan yang
meliputi bangsa Arab. Dengan begitu Zionisme akan tetap bersih dalam koridor
supremasi ras.
Demokrasi hanya untuk
orang Yahudi dan tidak ada kata demokrasi bagi non Yahudi. Pemahaman demokrasi
seperti ini adalah bersih, jelas dan hal lumrah bagi setiap standar demokrasi
yang benar. Ini artinya bahwa teroris zionis adalah fenomena yang terus
berlangsung, sebuah organisasi yang berubah-ubah bentuknya sesuai dengan
kondisi tanpa menghilangkan sama sekali unsur yang terkait denganya.
Bisa saya tambahkan,
adalah suatu kedunguan bila ada pandangan yang mengatakan bahwa teroris zionis
itu bisa musnah. Sebab apa, karena ia adalah pondasi yang kokoh bagi
eksisitensi Zionisme. Selama ia masih mengagungkan “Negara Suci” dan selama
bangsa Palestina itu tetap eksis dan masih berjuang, maka terorisme Zionisme
sama seperti perlawanan Palestina, yang tidak punya awalan dan tidak pula
akhiran. Sehingga kondisi Zionisme dilihat secara politis, geografis dan peran
akan tegak di atas penghancuran hak-hak bangsa Arab dan pendeportasian seluruh
usaha untuk mengembalikannya. Maksudnya bahwa kondisi ini dimulai dengan
tindakan anarkis dari sisi “pembasmian bangsa Palestina”. Dan itu diciptakan
demi kelangsungan eksistensinya secara dinamis untuk melahirkan anarkisme atau
mengulang kelahirannya. Maka kelahiran terorisme yang diciptakan di wilayah
bersejarah itu adalah sangat urgen imbasnya tanpa ada akhirnya.
Maksudnya bahwa
terorisme Zionisme yang telah menanam bibit eksistensi pertama itu akan terus
berlangsung selama bibit itu berkermbang biak. Ia akan besar bersama
kebesarannya, besar bersama dengan perkembangan perlawanan Palestina, ia akan
besar saat merasakan adanya krisis internal dan akan semakin meluas ketika
kebangkitan kesadaran bangsa Arab sendiri bertambah. Yaitu pemahaman bahwa ia
(Zionisme) itu adalah teroris akan berkembang seperti rangkain bangunan. Oleh
karena itu, ia tidak akan berhenti kecuali jika ada yang bisa mematok kata
akhir untuknya.
Lebih dari itu wilayah
internal adalah kendaraan teroris Zionisme yang menjadikan teror ini tidak bisa
menjaga dirinya kecuali jika ia banyak dan bertambah terus tanpa batas akhir.
Kendaraan (alat) ini walaupun bisa mengisyaratkan akan bahaya teroris Zionis,
ia juga bisa memberikan isyarat akan batasan-batasannya. Maka fenomena yang
berkembang pada sesuatu yang tidak ada akhirnya itu adalah tidak ada wujudnya.
Sebab ia hancur, tidak boleh tidak, pada fase tertentu dari fase-fase
perkembangannya.
Sesungguhnya karekter
teroris Zionisme sebagai bagian dari struktur dan internal dari bangunan
Zionisme bisa mengungkap keraguan-keraguan setiap propaganda yang mengatakan
posibilitas perubahan karakter Zionisme. Karena Zionisme dan eksistensinya saling
kontadiksi secara fundamental tentang solusi akhir bagi permasalahan Palestina.
Dan sekali lagi, terorisme tidak akan berhenti sesuai dengan analisa sejarah,
kecuali jika ada orang yang bisa meletakkan kata akhir untuknya.
ELEMEN-ELEMEN
IDEOLOGI ZIONISME SEBAGAI IDEOLOGI TERORISME
1. PENGHAPUSAN POROS LAIN
Zionisme tidak mengakui
warga Palestina dan mengingkari eksitensinya. Atau ia tidak mengakuinya
dikarenakan ia mengklaimbahwa warga Palestina itu tidak ada, saat Zionisme itu
menjumpainya atau berseberangan (berbenturan) dengannya maka peran yang
dilakukan adalah menghilangkan dan menghancurkannya agar tampak semakin jelas
bahwa orang Palestina itu benar-benar tidak ada di bumi. Atau dengan ungkapan
lain bahwa ide tidak adanya pengakuan terhadap warga Palestina itu mengharuskan
Zionisme untuk mendeportasinya dan terus memburunya dimana dan kapan saja
mereka berada. Maka kejelasan atas kebenaran pemikiran Zionisme dari satu sisi
dan kemungkinan terwujudnya fikrah ini dari sisi lain, itu berpijak pertama
kali, pada pembasmian eksistensi Palestina, atau mendeportasi dan
mengungsikannya. Karena mereka tahu bahwa eksistensi ini adalah bentuk
pengusiran total bagi zionisme dan keruntuhan penopang-penopangnya.
Zionisme itu tidak
mengakui orang Palestina selain jika mereka berada di luar negaranya, tidak
punya identitas atau jati diri. Artinya ia akan mau mengakuinya bila
benar-benar tidak ada. Zionisme menyadari hal ini sejak semula, juga
menitikberatkan upaya-upayanya agar bisa lepas dari orang-orang Palestina
secara intelektual dan identitas. Hertzel pernah berkata dalam memorinya:”kita
berusaha untuk mengeluarkan para penduduk miskin itu sampai perbatasan, dengan
berusaha untuk mendapatkan pekerjaan bagi mereka di negara deportasian. Kami
jelas-jelas menolak untuk mereka berkerja di negara kita.
Zionisme selalu
terjebak dalam kontradiksi-kontradiksinya sendiri. Itu karena mereka mengusir
para penduduk dengan alasan tidak mengakui keberadaannya. Namun tidak lama
kemudian, ia berbenturan dengan eksistensi itu sendiri sehingga sampai
mencarikan pekerjaan buat mereka. Padahal sebenarnya itu harus berjalan sesuai
dengan konsep penolakan pengakuan. Oleh karena itu, Hertzel berkata:”Jika kita
berpindah ke suatu wilayah, dimana di tempat itu banyak binatang buas yang
bangsa Yahudi tidak terbiasa dengan kondisi semacam itu, seperti ular besar
berbisa, maka saya akan berusaha untuk memakai penduduk primitif untuk mengusir
binatang-binatang tersebut sebelum saya mendapatkan suatu pekerjaan untuknya di
negara yang ditempati mereka.”
Pengakuan terhadap
orang-orang Palestina bisa dilakukan dengan satu syarat mutlak, yaitu
penghancuran. Maka tidak mungkin untuk menerimanya sebagai manusia biasa dalam
pekerjaan sama dan dalam syarat-syarat yang sama pula. Kemudian setelah itu
harus dihancurkan karena ia tidak berhak mendapatkan pengakuan, atau harus ada
pengakuan terhadap mereka sebagai pembukaan bagi pemusnahannya. Dari sini
tampak jelas maksud dari kata “primitif” sebab primitif itu ada. Maksudnya
keperimitifan itu membenarkan ilegalitas dan penggunaannya untuk tujuan dan
kepentingan bangsa Yahudi, sebagai orang yang di atas mereka dalam status
kemanusiaannya. Zionisme memberikan ciri primitif kepada orang-orang Palestina
itu untuk penyelamatan dari binatang-binatang buas tersebut. Disini mereka
mengulang kembali ciri-ciri ideologi ras dan etnis, seolah-olah Zionosme
mengatakan bahwa keabadian itu untuk yang lebih layak: Orang Palestina itu
primitif sedangkan orang Yahudi itu modernis.
Dan dengan nama
kemodernisan, warga Palestina dipekerjakan untuk memerangi ular-ular berbisa.
Setelah selesai dari pekerjaannya itu, lalu dideportasi keluar perbatasan.
Sesungguhnya rumus Hertzel itu sederhana dan mencakup rasialisme secara
komplit, yang ingin menerapkan sebuah prinsip yang terkenal: menciptakan gambar
beberapa hal dengan satu bentuk akan tampak jelas keruntuhannya.”Dan orang
Palestina itu primitif, namun menerima permusuhan didalamnya. Hal itu tidak
banyak berbeda dari sikap penjajah lain, Balfour, yang berkata:”Di Palestina,
kami tidak berpikir sama sekali untuk mendengarkan usulan apapun dari penduduk
asli dan mengetahui keinginan-keinginannya.”
Tidak adanya pengakuan
bagi Hertzel, akan memunculkan “perbedaan antar bangsa manusia” dan memunculkan
pertikaian antara orang primitif dengan orang modern, membuang ide primitif
untuk kepentingan peradaban. Demikianlah Anda bisa dapatkan Zionisme ini adalah
merupakan sarana bagi pembunuhan. Ia sesekali membunuh dengan nama Tuhan,
sesekali dengan nama pertahanan diri dan sekali lagi dengan nama peradaban.
Sesungguhnya sisi yang
paling banyak kezalimannya, permusuhan dan kekejamannya dalam pemikiran
Zionisme itu tidak hanya terbatas pada pembunuhan saja, namun bisa pada sisi
perubahan pembunuhan terhadap aktivitas sepele tanpa berdasar, dan kepada
aktivitas yang tidak banyak interesnya dan sifatnya sekunder. Maka pembunuhan
dilihat dari sisi logika berarti eksistensi yang terbunuh dilakukan oleh sebuah
aktivitas bertolak belakang dengan standar kemanusiaan. Sedangkan jika yang
terbunuh itu tidak ada eksistensinya, maka perbuatan itu tidak tergolong
tindakan pembunuhan yang harus mendapatkan sanksi. Lalu menjadi perbuatan biasa
dan lumrah yang diperintahkan oleh tuntutan kebiasaan hidup.
Inilah penafsiran
ucapan Goulda Meir:”Di sana tidak ada yang namanya orang Palestina, mereka
tidak punya eksistensi.” Tidak adanya pengakuan apapun pembuangan-pembuangan
ciri-ciri kemanusiaan pertama kali, secara otomatis akan menghilangkan
pemahaman tentang pembunuhan dan pemberian sanksi. Dengan harapan aktivitas
spontan ini tidak dilakukan oleh sebuah “amal” kemanusiaan yang bersih, sampai
akhirnya membenarkan perilaku Zionisme dalam pembersihan warga Palestina. Lalu
mendeportasi warga Palestina dari alam kemanusiaan, sehingga pembunuhan itu sah
demi pembelaan secara murni melawan binatang-binatang yang aneh tersebut. Dan
ini nampak jelas dalam ungkapan Begin yang sangat terkenal, yaitu:”Warga
Palestina itu hanya sekedar kecoa-kecoa yang harus dienyahkan.”
Dalam praktek
kriminalnya, Zionisme tidak sangat jauh berbeda dengan ide kebrutalan, yaitu
membersihkan kota-kota Palestina dari warga Palestina. Suatu hal yang tidak
berbeda dengan pembersihan tempat-tempat terjal dari binatang-binatang melata
yang berbisa. Ia ingin memusnahkan secara kuat setiap usaha yang ingin
menjelek-jelekkan keabsahan seorang modern. Atas dasar itu, maka pertikaian
tersebut tidak berhadapan antara dua musuh atau dua kekuatan yang sama-sama
beraviliasi ke dunia yang sama. Bahkan antara dunia yang berbeda atau antara
dua sejarah yang berbeda.
Begin berkomentar:”Kita
harus sadar dan tahu bahwa tidak ada tempat di negeri ini untuk dua bangsa.
Maka satu-satunya solusi adalah Palestina tanpa bangsa Arab dan tidak ada jalan
selain pendeportasian bangsa Arab ke negara-negara tetangga, dideportasi
semuanya tanpa ada pengecualian. Dan di sini, harus tidak ada suatu desa atau
keluarga Arab manapun.”
Pemahaman-pemahaman
Zionisme itu sendiri saling bertolak belakang sampai ke level ucapannya.
Setelah Begin mengatakan dengan “dua bangsa”. Namun tidak selang begitu lama,
ia mengatakan dengan “desa” atau “keluarga” yang dua-duanya itu beraviliasi
kepada sejarah sosial kemasyarakatan yang polos dan berbeda. Bisa saya
tambahkan, bahwa ia menggunakan kata deportasi yang mengandung dua makna: tidak
mungkin hidup dengan individu atau desa Palestina dari satu sisi, dan sisi lain
memberikan sanksi kepada yang dideportasi, padahal itu tidak disukai dan layak
untuk mendapatkan sanksi serta tekanan.
Ungkapan “tidak ada
tempat di negeri ini bagi dua bangsa” itu menunjukkan sejak semula kepada
hakekat proyek Zionisme yang mendengungkan pertikaian sampai taruhannya harus
mati di antara dua belah pihak. Dengan menafikan secara total pihak lain,
melawannya terus menerus, memihak pada satu pihak dari dua belah pihak.
Penafian ini mengandung setiap interogasi bebas, di mulai dari intimidasi
sampai dengan pembunuhan yang disengaja. Dan muncul ide perseteruan komplek
yang mengharuskan pertikaian antara bangsa Arab dengan bangsa Yahudi.
Ide perseteruan komplek
yang mengharuskan pertikaian antara Arab dan Zionisme ini juga dimunculkan oleh
Yousuf Wateez yang menulis dalam buku hariannya pada tanggal 19 Desember 1940,
berisikan ucapannya, yaitu:”Tidak ada tempat bagi dua bangsa di wilayah ini dan
tidak ada solusi selain memindahkan bangsa Arab dari sini (Palestina, pent) ke
negara-negara tetangga.”
Pemindahan sebuah
bangsa itu berarti tidak mengakui tanah airnya dan mengingkari hati nurani
kemanusiaannya. Karena kata “pindah” yang terlihat dalam kalimat itu berarti
netral dan hanya sebatas tindakan spontanitas yang memindahkan sesuatu dari
satu tempat ke tempat lain. Itu sepadan dengan kata menekan, menakuti dan
pemaksaan. Bisa saya tambahkan bahwa penggunaan kata “negara tetangga” itu
mencakup kriteria-kriteria pertama, sebab pemaksaan terhadap warga Palestina
untuk meninggalkan tanah airnya itu berarti, pada waktu yang sama, adalah
pemaksaan terhadap negara-negara tetangga untuk menerimanya.
Dengan begitu, dunia
menjadi dua bagian: dunia manusia yang sadar, berencana dan tahu apa yang
diinginkannya. Yang dimaksud di sini adalah orang-orang Yahudi. Dan dunia
materi keras yang memaksa untuk pindah dan dipaksa untuk menerima orang-orang
yang pindah. Dunia kedua adalah dunia Arab. Kata-kata netral yang dipakai oleh
ideologi Zionisme tida bisa menjadi kenyataan, dan itu tidak diketahui oleh
Zionisme. Hanya saja, jika menempuh rangkain dari sarana-sarana non netral, ia
akan menafsirkannya sebagai kekejaman, peperangan dan penghancuran.
Sesungguhnya problem
pemikiran Zionisme yang pertama itu adalah menjaga permainan wajah dan topeng
sekaligus. Yang menginginkan menutup-nutupi permusuhan dengan nama peradaban,
menutup-nutupi pembunuhan dengan nama Taurat dan pemindahan secara paksa dengan
nama hijrah. Permainan wajah dan topeng itu adalah yang mungkin dilakukan di
kancah teoritis. Adapun setelah berdirinya eksistensi Zionisme, sudah berbeda
syarat-syaratnya. Wajahnya itu benar-benar tampak jelas dan penghapusan topeng
mulai dicabut hingga sampai tak terlihat sama sekali. Oleh karena itu, ide
Zionisme yang berkoar-koar untuk memberikan tanah air kepada “bangsa” kreatif
dan modernis?. Namun tidak berselang lama, ia menjadi sekutu Afrika Selatan,
Chili dan El Salvador.
Perpindahan ini tidak
lain hanya ingin mengungkapkan tentang kepalsuan dan kerapuhan permainan wajah
serta topengnya sekaligus. Eksistensi Zionisme bukanlah sebuah peradaban, ia
hanya bisa disamakan dengan kebengisan Sosialis, Fasis dan kolonialis. Dan
kalau tidak, bagaimana mungkin untuk membedakan kalimat “Yousuf Wateez” yang
berbunyi:”Tidak ada penyelesaian bagi kita selama negeri belum dikosongkan dari
bangsa Arab. Persoalan pemindahan bangsa Arab dan mengembalikan ke tanah airnya
di negara-negara tetangga adalah persoalan yang tidak dapat dielakkan lagi.”
Penulis di atas
melontarkan kata kemanusiaan yaitu kata “penyelesaian” yang berarti pindahnya
manusia ke tempat yang baru agar bisa menyelesaikan dari kesengsaraan menuju
kebahagiaan. Namun sang pencari penyelesaian tidak melihat kebahagiaannya,
kecuali jika mengingkari penyelesaian orang lain. Bahkan ia tidak melihatnya
selain dengan pembasmian dan memindahkan mereka dari kondisi bahagia kepada
kondisi sengsara. Memutarbalikkan pemahaman dengan cara kekerasan dan
kelembutan semacam ini akan membongkar kepalsuan pemahaman solusi dalam
pemikiran Zionisme.
Sesungguhnya pemikiran
rasial individual ini menyempitkan cakrawala yang sebenarnya. Ia tidak tahu
jalan keluarnya. Dan jalan keluar itu tidak akan ada selain dalam bentuk
malapetaka yang baru. Pemahaman tentang penyelesaian, kebahagiaan, kemerdekaan
dan kebebasan itu bertalian dengan pemahaman tentang kebenaran, keadilan dan
demokrasi. Hal itu tidak akan bermakna benar dalam logika dan hasilnya kecuali
jika bersandarkan pada sumbangsih sejarah. Namun pemalsuan terhadap sejarah
tidak akan menolong kepada siapapun.
Walaupun demikian, maka
seorang pemikir Zionis tidak akan memulai selain dengan pengingkaran terhadap
warga Palestina, baik sekarang ini, masa lalu ataupun masa yang akan datang.
Sesekali mengingkari tanah airnya, sekali mengingkari manusianya dan kali ketiga
mengingkari sejarahnya. Oleh sebab itu, Haroun Yadlin, mantan menteri
pendidikan Zionis, berkata dalam sebuah pernyataannya pada tahun 1974:”Yang
paling penting adalah para pemuda itu tahu saat kami kembali ke negeri ini
(Palestina, pent) tidak ada bangsa apapun didalamnya.”
Maka pembekalan para
pemuda dengan realita-realita bohong itu adalah suatu hal yang urgen untuk
mengkontrol perjalanan eksistensi Zionisme. Karena sang menteri ini sendiri
tidak memungkiri keberadaan bangsa Palestina, maka ia beralih kepada pemahaman
umat (bangsa). Dengan satu keyakinan bahwa hal itu akan mengangkat masalah
pertikaian ini sampai kepada level teori paten. Namun dalam gagasan ini tidak
berkomentar apa-apa. Ia menunjuk hal itu kepada kekuasaan Utsmaniyah, Inggris dan
Argentina yang diketahui oleh bangsa Palestina dan bangsa Arab lainnya. Namun
dengan begitu ia telah mencampuraduk antara masalah umat dan masalah negara,
sebab tidak adanya negara yang independen, bukan berarti selama-lamanya tidak
ada sebuah umat. Juga bisa ditambahkan, bahwa persoalan umat tidak hanya
mencakup bangsa Palestina atau bangsa Arab saja, namun bisa mencakup seluruh
kondisi dunia ketiga.
Sesungguhnya
bangsa-bangsa modern itu tidak muncul begitu saja, bahkan mereka lahir di
sela-sela perlawanannya terhadap penjajah. Dan ia belum bisa menjadi sebuah
bangsa atau masih dalam proses menuju sebuah bangsa kecuali dengan sebab mereka
memiliki unsur-unsur dan pembentuk bangsa. Yaitu bumi, sejarah, bahasa, adat
istiadat dan perjuangan bersama. Walaupun ia memakai pemahaman tentang bangsa,
namun mantan menteri pendidikan Zionis itu lupa untuk mengartikan kepada kita
tentang “bangsa Yahudi” yang tidak memiliki, baik bumi, bahasa ataupun adat
istiadat sekalipun.
Sebenarnya itulah model
orang-orang Zionis, ia akan lari kepada ilmu pengetahuan saat ia inginkan, dan
ia akan lari kepada usaha penyesatan saat ia inginkan pula. Ia ingin menerapkan
standarisasi teori yang bersih tentang bangsa kepada “bangsa Palestina”,namun
ia sendiri lupa akan standar-standar itu semuanya saat tiba berbicara tentang
“bangsa Yahudi” yang diklaim. Dengan sebab kealpaan ini, maka ia akan kembali,
bukan “pergi”. Atau “pulang” bukan “bergerak”. Dengan kata lain, ia adalah
suatu kondisi normal yang bertentangan dengan kondisi salah.
Proteksi pemahaman
bangsa yang ada dan bangsa yang tidak ada, tak lain hanya sekedar justifikasi
kebohongan terhadap politik lawan, mengulangi penyesatan yang berharap agar
menjadi kenyataan. Menteri pertama pada departemen “David Ben Gurion” pendiri
eksistensi Zionisme. Ia adalah seorang dosen pada perguruan tinggi bernama
“Benzion Denola” dalam muqaddimah buku “Sejarah Hagana” yang dipublikasikan
oleh organisasi Zionisme Internasional. Ia berkata:”Tidak ada tempat bagi non
Yahudi di negeri kita ini dan kami akan mengatakan kepada bangsa Arab:”Ayo,
silahkan Anda pergi!” Kalau mereka tidak mau pergi dan mengadakan perlawanan,
kami akan memindahkan mereka dengan cara paksa.”
Yoseph Me'eir, direktur
divisi pemukiman pada agen Zionisme, menulis pada Juni 1967, yang isinya;”Sudah
jelas di antara kita bahwa tidak ada tempat bagi dua bangsa di negeri ini. Maka
keluar satu-satunya adalah eksistensi Israel Yahudi yang mencakup Israel Barat
“Barat laut Yordania”, minimal tanpa bangsa Arab. Tidak ada alternatif lain selain
memindahkan bangsa Arab ke tempat lain di negara-negara tetangga.”
Sesungguhnya kata
pindah dan negara tetangga, tidak bermakna selain menyebarkan perang terhadap
orang-orang Palestina dan bangsa Arab secara umum. Dan pemaksaan atas mereka
untuk menerima undang-undang Zionisme yang memindahkan kekuatan Zionisme dari
kondisi diam, tidak berbicara, menuju kondisi pergerakan yang berpindah-pindah.
2. PENDIDIKAN KONFRONTATIF
Permusuhan dalam ideologi Zionisme tidak berarti reaksi
perlawanan eksternal, ia juga bukan reaksi emosional. Namun yang lebih penting,
ia adalah hasil dari pendidikan yang terencana, jelas target dan sasarannya.
Permusuhan adalah personifikasi bagi pendidikan penyadaran yang meliputi anak
di sekolah, orang agamis di gereja dan tentara di angkatan bersenjata. Zionisme
di sini tidak menuruti prinsip-prinsip klasikal untuk aliran Fasisme dan
Rasialisme yang melihat sekolahan dan buku kurikulum sebagai pondasi awal untuk
memindahkan ide konflik dari kondisi individual atau kelompok kepada fenomena
sosial.
Jabutensky berkata:”Aku telah merusak anak-anak Anda dan
aku ajarkan kepada mereka bagaimana caranya merobohkan sistem (atau terkadang
kaca jendela). Dan saya berusaha untuk mengajarkan kepada mereka bahwa
pendidikan yang benar itu terkadang tidak hanya mengajarkan bagaimana caranya
melepaskan peluru. Itu selalu aku lakukan, dan tak ada keraguan bagi saya bahwa
yang aku lakukan itu bisa membahayakan mereka. Oleh karena itu, dengan bangga
dan gagahnya, saya akan terus mengontrol target itu sampai akhir hidupku
sebagai penulis dan pembimbing.”
Telah tampak jelas sikap itu, bahwa peran seorang penulis
dan pembimbing adalah mengajarkan profesionalitas perang. Arti pengajaran
adalah mengajarkan perang, sang penulis sebagai pelurunya, sedang pembaca
adalah si penembak pelurunya. Peran pembaca dan penulis adalah pencipta orang
yang terbunuh dan korban dengan latar belakang sekolah. Ia tidak lebih sekedar
hanya tempat yang membuat pengabulan menuju kondisi arogansi dan memecahkan
kaca jendela. Namun sikap arogansi ini tidak mengenal selain jalan yang satu,
senjata api dan menembakkan peluru. Artinya, arogansi itu menjadi sikap teror
yang mencari dengan kesadaran penuh tentang penghancuran total. Sehingga
menjadikan propaganda teror ini suatu hal yang urgen sekali yang tidak ada
penggantinya lagi. Maka teroris itu suatu aksiomatik yang tidak usah
membutuhkan penjelasan lagi.
Itu disebabkan oleh hal yang remeh, yang didukung oleh
sistem pendidikan yaitu “kembali ke Palestina”. Ini adalah “aksiomatik yang
tidak membutuhkan penjelasan lagi”. Dan ketika perpindahan dari aksiomatik ke
aksiomatik lain tidak menghendaki logika sebab akibat, maka memamerkan senjata
api dan menembakkan pelurunya itu tidak membutuhkan pemeriksaan hukum dan
amandemen lagi.
Begin berkata:”Saya belajar sejak kecil dari ayah saya
bahwa kami bangsa Yahudi harus kembali ke bumi Israel. Dan secara mutlak tidak
boleh ada ucapan:”kita pergi, kita musafir atau kita datang, namun dengan tekad
yang kuat “kita akan kembali”. Itulah perbedaan besar, perbedaan menyeluruh
yang sangat komprehensif Pendidikan di sini tidak mengeluarkan perintah kepada
pembimbing untuk mensosialisasikan hukum pembunuhan aksiomatik. Bahkan kepada
seorang bapak yang terjerumus di dalam fanatisme Zionisme sehingga I atidak
melihat selain apa yang diletakkan oleh Zionisme di atas kepalanya. Maka
pengajaran itu adalah pengokohan aksioma-aksioma semu yang menghapus stetmen
dan menjadikan pengulangan supranatural sebagai fondasi otak pertama. Oleh
karena itu otak yang tertutup dengan sendirinya tidak mau menerima “kepergian”
dengan “keberangkatan”, sebab hal itu berarti pindah ke tempat yang baru.
Sedangkan kata “kembali” adalah pergi ke tempat umum atau
yang sudah ada dengan kontinyu di dalam otak dan di dalam “ruh” yang diciptakan
Zionisme serta diyakininya bahwa ia tidak akan meninggalkan “bumi yang
dijanjikan” untuk selama-lamanya.
Perpindahan dalam falsafah non rasional tidak
berkopetensi dengan hakekat-hakekat sejarah. Maka perannya adalah mengulang
kembali penulisan sejarah seperti yang diinginkan oleh kehendak penyesatan.
Maka dunia itu harus berada seperti apa yang dikehendaki oleh sebuah pemikiran
(fikrah), dan sarana untuk menuju ke sana adalah senjata api dan mencari
korban. Namun sebelum mencarinya, akan mencari terlebih dahulu bagaimana
caranya korban itu terbunuh dengan tidak ada masalah sesudahnya. Moshe' Menohen
berkomentar:”Mereka mengajarkan kepada kami untuk benci terhadap bangsa Arab di
gimnasium. Mereka mengajarkan kepada kami lebih dari itu, yaitu mendeportasi
mereka atas dasar bahwa Palestina adalah negeri kita , bukan negeri mereka.
Kita bisa merujuk dalam masalah ini kepada Kitab Taurat.”
Haus terhadap kekerasan yang memompa pemikiran Zionisme
itulah yang menjadikannya mengkultuskan ajaran-ajaraan Yahudi yang lebih banyak
peenyesatannya itu dan mengagung-agungkan sambil mengkultuskan setiap apa yang
ada didalamnya untuk mengangkat pedang. Mengkultuskan pemikiran Zionisme secara
turun temurun saat menjadi cermin bagi pembinaan yang Zionisme mencarinya. Dengan
memboncengnya, ia akan membolehkan penyesatannya dengan penyesatan lama,
maksudnya ia menggunakan pelegalan penghancuran dengan teks-teks lama yang
mempunyai sifat kesucian.
Saat pemikiran Zionisme bertemu dengan pemikiran Taurat
dan menemukan didalamnya penolong serta tempat berlindung, maka teks Taurat itu
menjadi dasar pembinaan dan pendorong utama untuk menyelesaikan setiap
pembantaian sekarang dan yang akan datang. Dalam kitab Yusac disebutkan:”Maka
bangsa itu saling memanggil dan saling memukul pintu-pintu, ketika mereka
mendengar suara bel (terompet) yang besar. Lalu pagar itu jatuh di tempatnya
dan naik ke kota…… Kemudian memotong seluruh apa yang ada di kota tersebut,
dari kaum laki-laki sampai wanita, dari anak kecil orang tua, hingga sapi, kambing
dan keledai dengan tebasan pedang yang tajam.” (Kitab Yusac: 6/20).
Di tempat lain juga disebutkan:”Yusac hari itu mengambil
borgol dan dipukulkannya dengan pedang. Lalu melarang untuk memilikinya. Saat
dia dan semua orang yang ada. Tidak ada yang linglung. Apa yang dilakukan
terhadap borgol, ia juga lakukan kepada raja Aricha. Kemudian Yusac dan seluruh
orang Israel yang bersama dengannya melewati borgol dan pergi menuju bata. Bata
itupun dirobohkannya dengan pedang bersama orang-orang yang ada,, tak ada orang
yang linglung. Hal itu ia lakukan seperti yang ia lakukan kepada kerajaan
Aricha.” (Kitab Yusac: 10/28).
Teks percontohan yang mengagungkan kekerasan dan pedang
ini tidak dipublikasikan secara transparan, ia diam di halaman-halaman buku
penyesatan lama. Bahkan ia adalah materi pertama bagi pembinaan kaum muda. Di
mana pembunuhan itu tidak hanya sebagai legalitas saja tapi ia bahkan menjadi
ambisi yang dikejar-kejar oleh para kawula muda, agar semakin nyata
loyalitasnya kepada almamater dan pengetahuan warisannya. Dan untuk meyakinkan
kepada “negara Zionisme” akan dampak yang ditimbulkan dari teks-teks seperti di
atas itu. Ia menjadikan salah satu materi yang diujikan kepada siswa dalam
ujian.
Oleh karena itu, diusulkan pada ujian-ujian sekolah Zionisme
dua pertanyaan: Apakah tindakan Yusac bin Nun dan orang-orang Israel itu,
menurut pendapat anda, merupakan tindakan salah atau benar? Dan kenapa?.Sebagai
asumsi saja, bahwa tentara Israel menaklukkan sebuah desa milik bangsa Arab
dalam sebuah peperangan, lalu melakukan tindakan terhadap penduduknya sama
seperti tindakan Yusac kepada negeri Aricha, apakah tindakannya itu baik
menurut pendapat anda, dan kenapa?.
Seorang profesor Zionis, George Tamarine, telah
membenarkan pemilihan bentuk kalimat ini dengan mengatakan:”Sesungguhnya apa
yang sudah dilakukan oleh Yusac bukanlah satu-satunya contoh bagi beberapa
corak tindakan dalam Taurat. Telah diputuskan pilihan itu, sebab kitab Yusac
ini menduduki tempat tertinggi dalam sistem pengajaran Israel.” Jawaban atas
pertanyaan ini telah mengambil corak berikut ini:”Sasaran dari perang ini
terfokus pada penguasaan orang-orang Israel atas negeri ini. Oleh karena itu,
orang-orang Israel telah melakukan tindakan, baik dengan menduduki kota dan
menghancurkan penduduknya. Kami tidak ingin ada unsur lain dalam negeri Israel
ini.”
Apa yang dicari oleh ideologi Zionisme adalah efesiansi
(efektivitas). Oleh karena itu, Ia tidak hanya cukup dengan doktrin pengajaran
aatau tranmisi informasi saja, bahkan ia ingin ideologi itu menjadi positif
dengan pola masa depan pengajaran ini. Sehingga pendidikan kekerasan itu
menjadi materi unggulan. Keberhasilannya nampak
jelas pada siswa-siawa yang ingin menampilkan ideologi tersebut, atau setiap
siswa kecil menjadi “Yusac hebat” jika ia nanti terjun di medan perang secara
nyata. Oleh sebab itu, seorang siswa yang masih muda sebelumnya membenarkan
pembantaian-pembantaian yang sudaah terjadi dan ia berjanji untuk mengulanginya
dari babak baru saat berada di medan perang. Yang menjadikan “kitab Yusac” ini
sebagai “kitab populer dalam sistem pengajaran Zionisme”. Sesuai dengan ucapan
profesor Zionis tersebut, akan terungkap hubungan baru antara pemikiran
Zionisme dengan warisan Taurat. Di mana pendidkan modern aakan tampak berpihak
kepada falsafah kolonial baru saja, namun ia adalah kelanjutan bagi kitab kuno.
Inilah yang membuat “Jabutensky” terus berkoar mengekor “Yusac” sehingga Yusac
menjadi “pahlawan nasional” lama yang menyiapkan hidupnya dalam “Israel baru”.
Yusac adalah pahlawan di era modern karena ia simbul kepahlawanan di masa lalu.
Ia adalah contah yang dijadikan figur oleh setiap orang Zionis tulen untuk
menjadi seperti dirinya. Oleh sebab itu ia mendapatkan tempat yang sangat
populer di sekolahan-sekolahan.
Sesungguhnya Zionisme yang senantiasa gemar tidak ada
henti-hentinya menyebut dirinya sebagai “bangsa Yahudi”. Tidak ingin mengulang
sosok “Spenosa” seorang filosof genius Yahudi dan Einstein, seorang yahudi
modernis yang menolak untuk menjadi presiden untuk negara Israel. Namun mereka
hanya mau mengulang sosok “Yusac” sebagai figuran yang dengan mudahnya menjelma
dalam ajaran-ajaran konfrontasinya.
Jadi, pendidikan Zionisme itu adalah menghimpun seluruh
sisi-sisi penyesatan manusia dimulai dari “Yusac” yang membawa pedang dan
berakhir pada “pengembala sapi” Amerika yang mencaplok wilayah bangsa Indian
dengan mudah. Baik ada maupun tidak Yusac, tetap saja pemikiran Zionisme tidak
akan menciptakan sebuah mode selain mencontoh gambar Yusac. Ia melemparkan
dengan kedengkian dan kegilaannya, beribu-ribu makhluk dan manusia. Lalu
dipersenjatai dengan senjata-senjata penghancur dan menjadikan seolah-olah
Yusac ada bersamanya, sambil meluluhlantakkan desa dan membunuh penduduknya.
Pembinaan Fasisme saja tidak menghendaki pusaka warisan, bahkan lebih
mengutamakan pengajaran “roh nenek moyang” karena pusaka warisan itu bisa
ditolak dan diterima. Sedangkan “roh nenek moyang” itu ada dalam falsafah
Hetler “bangsa Aria suci” dalam falfasah Mussolini “Bangsa Romawi paripurna”
dan dalam panji-panji seorang fasis Perancis modern, Jean Marie Lu'pen, yang
berbicara tentang “peradaban Perancis suci”.
Setiap falsafah Fasisme, diantaranya Zionisme, tidak
mengakui realita yang ada, karena ia tidak bisa berkonsentrasi pada
angan-angan. Kecuali jika ia bisa membalikkan realita seperti yang ia inginkan.
Patokan yang selalu dijadikan pegangan adalah menciptakan bahaya semu.
Musuh-musuh yang semu dan pragmatis semu.
Kemudian menciptakan otak-otak yang sepadan dalam rangka
memerangi angan-angan dan sekaligus mewujudkan angan-angan tersebut.karena
memang angan-angan itu tak ada batasnya, maka kemungkinan-kemungkinan
kedengkian untuk melawannya atau beropsesi kepadanya tidak pernah berhenti.
Karena itu pendidikan Zionisme itu menciptakan impian-impian dengan panji-panji
yang dasarnya adalah kedukaan. Namun harga perealisasian duka itu adalah dengan
mengalirkan darah, menghancurkan rumah dan merampas tanah.
3. FALSAFAH TEROR DAN KEDIKDAYAAN
Bertolak belakang dari pemahaman diskriminasi rasialis
dan bentuk-bentuk prakteknya, itu membawa Zionisme kepada: pertama; justifikasi
penghapusan lawan. Kedua; penghapusan ini dianggap sebagai pondasi pokok yang
bisa menjelaskan kebenaran dan keabsahan pemahaman dikriminasi. Maka orang yang
diistimewakan atau yang lebih atas berhak menekan orang ynag lebih rendah skill
dan kapabilitasnya. Dengan begitu, ia bisa memainkan hak alaminya dan menyambut
secara baik sebuah hukum yang berbunyi :”keabadian buat yang kuat dan
kemusnahan bagi yang lemah” Hukum ini adalah sambutan bagi ajakan yang alami,
tidak lebih dan tidak kurang, jika memang falsafah Zionisme itu tidak bersandar
pada hukum alami buta yang berpijak pada analisa palsu bagi sejarah manusia
yahudi. Sebuah analisa yang melihat sejarah ini sebagai paling lengkap bagi penindasan
manusia yahudi.
Maka orang Yahudi dalam kaca mata Zionisme itu telah
hidup di bawah pedang teroris dan hantu deportasi. Setelah kemenangannya ini
dan sebelum kemenangan ini, ia harus mengangkat pedang bagi yang melawannya dan
menjadikan kehidupan lawannya itu sebagai mata rantai qishas dan deportasi.
Bahkan Menahem Begin memandangnya lebih jauh, ia menganggap bahwa orang Yahudi
tidak akan kecuali jika ia sudah jelas sebagai yang paling kuat secara permanen
dan menarik hati nuraninya seluruh standarisasi kasih sayang. Juga memang sudah
jelas baginya bahwa pengakuan terhadap kasih sayang dan standarisasinya ini
adalah sebuah ancaman bagi eksistensi yahudi.
Jika tidak cukup dengan falsafah alamiah dan dengan
analisis sejarah yang dipalsukan, maka Zionisme memakai salah satu sebutan
falsafah fasisme, yaitu mewujudkan area dinamis. dengan begitu Zionisme tidak
bisa hidup kecuali jika digarisi batas-batasnya atau menciptakan
batasan-batasan untuk dirinya sendiri yang mungkin bisa dipertahankan. Atau
jika menciptakan perluasan alamiah, akan mempermudah gerakan politik, ekonomi dan gerakan pemikiran. Area semacam
ini akan melingkari bangsa Arab, yang mengharuskan, untuk pertama kali,
sosialisasi kekuatan pedang yang kontinyu dan memberitakan kepada lawan bahwa
penyimpangan terhadap ajaran Zionisme akan membawanya kepada pemotongan
lehernya. Tatkala Zionisme dan falsafah Yahudi yang menyesatkan menjadi cermin
bagi mayoritas paham penyesatan di setiap sejarah kemanusiaan, maka
praktek-praktek Zionisme itu bisa ditemukan dalam ideologi modern dan dalam
ideologi agama kuno. Warisan agama Yahudi seperti yang direkayasa oleh arogansi
tukang-tukang sihir, itu akan tetap menjadi sumber wahyu dan imajinasi bagi
setiap pendukung teror dan mengagungkan kedikdayaannya.
Nabi Yehezkiel berkata:”Jangan belas kasihan kepada
mata-matamu, jangan ampuni orang tua, pemuda, gadis, anak-anak dan kaum wanita.
Bunuhlah mereka semua.” Talmud juga berkata:”Termasuk suatu keadilan jika orang
yahudi membunuh orang kafir dengan tangannya, sebab mengalirkan darah orang
kafir itu sebuah bentuk pemberian korban kepada Tuhan.”
Dalam Talmud yang lain disebutkan:”Orang-orang kafir itu
adalah al Masih Isa sendiri dan para pengikutnya.” Yahuthkia
berkata:”Sesungguhnya kalimat ini (di atas) mengandung ajaran berhalaisme
seluruhnya.”
Sedangkan firman Allah Ta’ala yang berbunyi:”Janganlah
kamu membunuh!” itu telah ditafsirkan oleh “Maemanoud” dengan
ucapannya:”Sesungguhnya Allah telah melarang pembunuhan terhadap siapa saja
orang dari Bani Israel.” Dan ditambahkan:”Saya akan memaafkan orang awam, kalau
ia melanggar hak Allah Ta’ala atau membunuh orang non Israel, atau berzina
dengan wanita Yahudi dan menjadi orang Yahudi.”
Demikianlah kita sedang berdiri di hadapan dua cara untuk
arti pembunuhan atau keharusannya. Sebuah cara yang memerintahkan untuk
membunuh tanpa melihat kepada rujukan etika apapun. Maka pembunuhan itu adalah
perbuatan legal yang tidak ada batasan aatau aturan mainnya. Diberlakukan
kepada laki-laki dan wanita, kepada pemuda dan anak-anak, kepada orang tua dan
para gadis. Kemudian cara yang kedua adalah pelengkap bagi cara pertama, yaitu
setiap orang non Yahudi mendapatkan pembunuhan. Pembunuhan ini adalah balasan
dan qishas bagi orang kafir, Al Masih beserta para pengikutnya yang inkar.
Kemudian hal itu berkembang dan mencakup setiap penganut
berhalaisme, sampai pada akhirnya kepada setiap manusia yang berdiri diluar
area Yahudi. Maka, menurut mereka, dunia itu terbagi menjadi dua area: pertama
area yang didiami oleh orang Yahudi yang bangga dengan pedangnya. Kedua area
yang didiami oleh non Yahudi yang sedang menunggu pembantaian. Cermin Allah di
atas bumi terlihat oleh orang Yahudi, sehingga ia bisa membedakan batas batasan
iman dan kekufuran. Walaupun yang terlihat itu hanya sebatas naungan Allah atas
bumi. Artinya, bahwa orang Yahudi itu adalah Tuhan yang satu dan yang disatukan
tidak menerima sama sekali eksisitensi orang ain.
Unsur cara ini tidak berbeda dengan unsur konsep “Aria”
dalam falsafah “Resenburg” Hitler yang membagi dunia menjadi hitam dan putih,
terbagi menjadi kerajaan manusia dan kebun binatang. Peran manusia ini adalah
membersihkan bumi seluruhnya dari setiap hewan, atau binatang buas atau manusia
Barbar.Ide teologi Yahudi itu menjadikan pembantaian sebagai keindahan tunggal
di alam dunia ini. Maka orang yang indah (cantik) adalah sebagai pembunuh
karena ia adalah tipe yang baik. Keindahan adalah aktivitas pembunuhan, dan
dunia tidak bisa menjadi indah selain jika dibersihkan oleh pedang Yahudi dari
musuh-musuh Yahudi. Dengan sebab diskusi tentang keindahan ini, “protokolat
pemimpin zionis” mengulang penjelasan pelajaran pertama dengan bahasa yang
lebih lugas dan tegas. Bahwa ia membawa ide tirani itu ke level ajaran-ajaran
gereja yang fulgar sampai kepada realita aktivitas politik yang bersandar pada
ancaman yang menakutkan. Tatkala mayoritas orang sebagai rakyat jelata dan
minoritasnya menjadi orang-orang istimewa, maka jalan yang paling lurus untuk
menguasai dunia adalah denga menegakkan hukum berdasarkan pada asas ancaman dan
kekuasaan bukan hukum yang tegak di atas dasar dialog bersama.
Para pemimpin itu bisa mengomando standarisasi
diskriminasi rasial secara mutlak. Dunia terbagi menjadi rakyat jelata dan
orang-orang super. Bagi orang super punya hak penuh dalam menguasai dunia
seluruhnya. Oleh karena itu, para pemimpin tersebut tidak berbicara kerajaan
Utopia, bumi yang dijanjikan atau kota pilihan. Malah mereka berkata terus
terang dengan ungkapannya ”Jalan yang paling tepat untuk mengausai dunia”.
Orang super ini maunya menguasai dunia seluruhnya dan dengan caranya sendiri
tidak mau menerima dialog, tukar pikiran dan diskusi. Hanya mau menerima hukum
orang super sendiri, yaitu ancaman dan kekerasaan. Maka politik tunggal adalah
pembunuhan, artinya bahwa politik tunggal orang super itu adalah perang. Dan
perang itu bukan peyempurna politik, bahkan ia adalah awal politik dan
akhirnya.
Sebenarnya politik dengan pemahaman yang mau menerima
dialog itu adalah bukti kelemahan dan kelompok rendahan atau murahan.
Sebagaimana dunia itu terbagi menjadi atas dan bawah, begitu juga ia membagi
dunia menjadi perang dan politik. Sedangkan politik itu selalu berkaitan dengan
kelas bawah (rendahan).
Para pemimpin Zionisme berkeyakinan bahwa mereka menggali
pengetahuannya dari sejarah dan dari pengalaman kemanusiaan. Mereka
berkeyakinan bahwa di awal pembentukan masyarakat membuat orang tunduk pada
kekuatan biadab membabi buta. Kemudian tunduk kepada hukum, yang masing-masing
adalah sama (satu).
Zionisme mengekspresikan tiga arti dalam ucapan di atas:
pertama bahwa kekuatan biadab itu bagian dari naluri kemanusiaan yang esensi.
Ia adalah fitrah yang menyertai orang sejak kelahirannya. Hakekat kedua, adalah
Zionisme tidak mau menerima sejarah kemanusiaan, selain dibarengi oleh
kebrutalan. Ia berinteraksi dengan falsafah Yunani tentang keindahan manusia
yang dibekukan, tidak mengakui falsafah cahaya nur yang mengakui seluruh hak
manusia secara adil dan sama. Secara total, tidak mau berdampingan dengan
ideologi kemanusiaan modern yang didengungkan oleh “Russell” atau “Albert
Einstein” atau “Karl Marx”. Malah ia pergi menuju fase manusia sebelum
berperikemanusiaan. Artinya ia menemukan target filosofisnya yang jelas dalam
komunitas “masyarakat homogen” yang menjadi orang natural jauh dari fase perkembangan
manusia berakal.
Zionisme mengakui natural buta dan kembali kepada masa
kuno yang dulu menjadi tawanan bagi naturalis.oleh karena itu, ia tidak
mengakui tentang perkembangan komunitas manusia secara intelektual, moral dan
ilmu pengetahuan.
Hakekat ketiga kembali ke hakekat kedua, bahwa tidak
adanya pengakuan Zionisme terhadap kemajuan pemikiran manusia akhirnya
menyamakan antara undang-undang dalam artian baru dengan undang-undang kekuatan
membabi buta model kuno. Dengan begitu ia menyempurnakan peran penyesatannya.
Ia bersama perang memusuhi politik, bersama kondisi represif melawan dialogis,
bersama dorongan hawa nafsu melawan intelektualitas, bersama model lama melawan
model yang baru dan bersaama Yahudi melawan orang yang tidak tunduk kepada
orang Yahudi. Peneysatan ini sampai pada titik puncaknya saat “para pemimpin”
itu berkata:”Kami adalah sumber teroris yang menakutkan di setiap tempat.
Orang-orang yang loyal terhadap agama-agama dan kepercayaan itu terbaring tidak
berdaya mengabdi kepada kita.” Atau ucapan mereka yang lain:”Sedangkan panji
kami adalah kekuatan dan pamer kekuatan. Dalam masalah-masalah politik,
keberhasilan itu hasil dari kekuatan, terutama saat kekuatan pokok bagi
politikus adalah kekuasaan. Maka tuntutannya adalah dengan kegeniusan yang
didasari pada kekerasan.”
Zionisme tidak hanya mengangkat bendera ancaman, teror,
perang dan kekuatan saja, bahkan melecehkan seluruh standarisasi etika
kemanusiaan. Yang hal itu membuatnya mengagungkan riya’ dan makar, ia juga
melihat bahwa keduanya merupakan ciri dari pada orang yang genius. Apapun
kondisinya, maka falsafah ini meletakkan kemanusiaan seluruhnya dalam area
kejahatan, menghalalkan darahnya dan ia tidak bisa untuk meneriman persamaan
standar kemanusiaan. Bahkan sesungguhnya ia mengingkari pemahaman kemanusiaan
itu sendiri, karena pemahaman ini mengajak kepada kesatuan masyarakat manusia,
mengakui perkembangan intelektualnya dan kemajuan pengetahuan manusia.
Sedangkan ideologi rasialis, ia menolak kemanusiaan, membolehkan penyembelihannya
dan mengeksploitasinya saja. Ia tidak mengakui kemanusiaan kecuali sebagai
orang-orang rendahan dan mengangkat martabatnya lebih tinggi. Mulai mengambil
sifat-sifat Tuhan kemudian menjadi Tuhan bagi kemanusiaan.
Ben Gorion memberikan pondasi logika bagi falsafah teror
dan kedikdayaan. Sebagaimana air itu ada untuk diminum, udara dipakai untuk
bernapas. Begitu juga dengan senjata api itu ada untuk menembakkan pelurunya,
seorang prajurit itu ada untuk melaksanakan tugas pembunuhan, membentuk orang
yang membawa senjata dengan kekuatan penuh yang tidak didapatkan pada orang
lain. Membikin bahaya terhadap khalayak ramai dan terhadap dirinya sendiri,
yang saya maksud tentunya orang-orang yang punya kekuatan lebih dari yang
lainnya. Ketika kekuatan ini tunduk kepada kekuasaan tinggi, maka mereka bisa
membikin bahaya umum. Mereka adalah orang-orang yang kami suplai dengan senjata
api, tugas mereka adalah untuk membunuh atau mencari gara-gara agar bisa
membunuh. Inilah tugas seorang prajurit dan inilah misi anggota “Ahagana”.
Seluruh urusan harus dilihat dalam koridor kekejaman, dan kita jangan lupa
bahwa tidak ada seorang manusia yang mempunyai ciri-ciri malaikat. Setiap orang
terdiri dari daging dan darah. Ia harus menghadapi, dalam kondisi tertentu, untuk
menggunakan kelebihan kekuatannya. Jika hal itu tidak mengikuti satu bingkai,
ia berhak untuk menolak pemanfaatan ini.”
Ben Gorion mengulang ajaran-ajaran “pemimpin Zionisme”
memberinya porsi sebagai hikmah dan prinsip logika. Itu mengharuskan manusia bersenjata
itu adalah fenomena alam yang tercipta dan berkembang, sebagaimana pennciptaan
dan perkembangan seluruh fenomena alam lainnya. Senjata adalah bagian dari
eksistensi, prajurit yang berjuang itu tumbuh seperti tanaman tumbuh. Setelah
bersandar kepada falsafah kehidupan yang selalu mengandung konsep dan
hukum-hukum rimba, ia akan kembali lalu berbicara tentang ekonomi politik bagi
kekuatan. Maka power jika tidak diperdayakan akan berbahaya kepada pemiliknya
dan masyarakat. Oleh sebab itu harus dicari di beberapa stasiun televisi yang
mengatur kekuatan tambahan itu.
Praktek kekerasan adalah sangat urgen bagi stabilitas
manusia dan masyarakat. Bila tanpa praktek ini masyarakat akan menghadapi
kerusakan internal. Unjuk kekerasan ini bagi Ben Gorion seperti “kekuatan
seksual”, jika ditahan (dikekang) ia akan mendatangkan beberapa penyakit
kejiwaan. Menjaga mental dan jasad itu menuntut praktek kekerasan dari waktu ke
waktu. Setelah ide ini sampai kepada alat, ia akan tiba ada undang-undang tata
aturan kekerasan yang mencari sumber dan tempat-tempat penyalurannya. Kemudian
ia temukan alat ini ada dalam kekuasaan tinggi yang tiak melarang (menahan)
kekerasan tersebut. Bahkan mendukungnya agar terbebas dari kekangan-kekangan
internal.
Cara berpikir seperti ini akan menjadikan kekerasan itu
sebagai wataknya dan pembunuhan sebagai kebutuhan alami. Karena manusia itu
berbeda dengan malaikat yang tidak punya keseimbangan kecuali dengan membunuh,
yaitu jika ia menggunakan kemampuan merusaknya. Yang lebih lucu lagi, Ben
Gurion ini dalam analisanya lebih dekat kepada pemahaman sublimasi. Maka
kekuatan potensial itu bisa diwujudkan dengan berbagai bentuk “olah raga, seni
dan amal sosial”. Tapi Ben Gorion ini tidak menemukan sublimasi ini kecuali
pada praktek pembunuhan yang itu satu-satunya sublimasi pembebas
keinginan-keinginan yang terkekang.
Logika “Ben Gorion” ini berjalan dengan lancar karena
beberapa sebab. Ia berbicara tentang tabiat sang prajurit, namun tidak bertanya
tentang siapa yang melatihnya dan memberinya senjata. Ia berbicara tentang
negara sebagai lembaga (organisasi) kekerasan, tapi tidak berbicara tentang
peran negara dalam pembinaan dan perlindungannya terhadap kekerasan. Ia tidak
memberikan banyak bagi kekerasan dan negara dua tugas keanggotaan yang saling
berhubungan dengan ilmu kehidupan. Sedangkan tentara, negara dan kekerasan itu
pada dasarnya berhubungan dengan titik tolak dan sasaran-sasaran falsafah
Zionisme. Alhaghanat itu bukan tumbuhan alami, tapi ia merupakan bikinan
teroris. Ia punya patokan-patokan dasar secara politik, ekonomi dan
strukturisasi.
Dilema Zionisme adalah, bahwa ia tidak bisa membenarkan
falsafah kebuasan (kebrutalan) di dunia yang condong kepada peradaban. Oleh
karena itu ia menyembunyikan wajah buasnya dengan kosa kata-kosa kata modern
yang bisa diterima oleh khalayak ramai.Jika Ben Gurion menyembunyikan fikrah
terorisme di belakang lafal-lafal filosofis saja, maka Egal Aloan dan Arthur
Coaster mengisyaratkan kepada hal-hal biasa. Egal Aloan berkata:”Sesungguhnya
operasi itu berjalan sesuai dengan rencana, maksudnya adalah pembantaian Deir
Yaseen. Landasannya adalah menakut-nakuti hati masyarakat Arab di al Khalil,
kemudian beribu-ribu orang Arab lari dari situ. Peristiwanya sendiri terjadi
lima hari sebelum deklarasi berdirinya negara yahudi.” Arthur Coaster juga
berkomentar: ”Pertumpahan darah di Deer Yaseen itu sebagai unsur psikologis
penting dalam pemindahan masyarakat Arab dari Palestina.” Seorang penulis
Zionis, Michael, berkata:”Pembantaian Deir Yaseen itu sudah direncanakan dan di
atur sedemikian rupa untuk menteror bangsa Arab. Lalu membawanya keluar dari
perkampungan mereka. Maka terorisme sesuai dengan ukurannya sendiri adalah
merupakan refleksi tentang sebuah falsafah dan penghematan waktu serta
aktivitas, juga tentang politik yang paripurna. Berbagai problema tidak bisa
diselesaikan dengan cepat, kecuali jika teror dijadikan dasarnya. Oleh karena
itu sesungguhnya cuci tangan dan kebenaran tidak punya makna, karena yang
dituntut adalah efesiensi teror dan perwujudan sasaran-sasarannya. Sasarannya
adalah menghapus golongan lain tanpa harus memandang sarana (alat) yang dipakai
dalam hal itu.
Walaupun Zionisme berusaha untuk menjadikan falsafah
“power” ini sebagai bagian dari alam atau urgensi alamiah yang tidak bisa ditawar-tawar
lagi, demi untuk kestabilan masyarakat. Maka setiap falsafah, tak lain hanya
sebagai muqaddimah bagi politik kolonial rasial. Orang lain bukan termasuk
manusia, maka ia harus hengkang dari buminya dan menyerahkannya kepada manusia
yang hakiki atau kepada eksistensi hakiki yang membutuhkan kepada sektor
dinamis dan urgensi.
Menahem Begin berkata:”Ketika kita mengarahkan pandangan
ke arah Utara, kita bisa melihat dataran Syiria dan Lebanon yang subur. Ke arah
Timur, kita bisa melihat lembah Dajlah dan Efrat yang indah serta tambang
minyak milik Iraq. Ke arah Barat ada negeri Mesir, kita tidak memiliki
kemampuan yang cukup untuk berkembang. Maka kita harus bisa menyamaratakan
masalah-masalah tanah dengan pusat-pusat kekuatan, dan kita harus memaksa bangsa
Arab untuk menerima ketundukan tanpa reserve.”
Kekerasan dalam pemahaman Zionis itu adalah sebuah
karakter (watak), sedangkan karakter ini terus berkembang. Dan negeri-negeri
Arab adalah sektor penting bagi penerapan keinginan-keinginan ini, walaupun
bangsa Arab berada di buminya. Maka keinginan-keinginan itu tidak bisa
direalisasikan kecuali dengan memakai hukum-hukumnya, yaitu hukum pemaksaan dan
ketaatan. Sehingga orang Zionis itu menerapkan hukum paksa dan bangsa Arab
menerapkan hukum pasrah (taat). Unsur dari dua hukum ini adalah power yang
meratakan bumi, dibentangkannya dan berjalan diatasnya. Seperti menggiring
keinginan keinginan bangsa Arab, lalu menyamakannya dan berjalan diatasnya.
Paham Zionisme selalu mengandung dua unsur, unsur
penjajahan langsung dan unsur ideologi yang menutupinya. Maka negara tidak bisa
melahirkan dua lawan, hanya bisa mengatur kemampuan perlawanannya. Dan
eksisitensi itu tidak bisa meluas disebabkan tabiat (naluri) permusuhannya,
namun ia bisa meluas disebabkan kebutuhannya kepada pertumbuhan. Teroris itu
tidak bertolak belakang dari sistem pendidikan Zionisme, namu
pertolakbelakangan ini untuk memaksa bangsa Arab segera hengkang. Sementara
politik Zionisme selalu menutup-nutupi wajahnya dengan tabir intelektual dan pendidikan.
Tapi bentuk kebuasan dan terbongkarnya
sasaran-sasarannya, membuat pemikiran itu berguguran dan membuka tabir wajah
asli dengan sendirinya. Wajah itu adalah wajah Zionisme yang tidak bergerak,
kecuali jika teror menjadi miliknya dengan satu sasaran, tujuan, cara dan
sarana yang dimilikinya.
EGOISME ABSOLUT
Tidaklah pemahaman egoisme absolut itu sebuah misteri
dalam falsafah teroris, namun ia sebuah hal yang jelas dalam ajaran-ajaran lama
yang mengatakan sebagai “bangsa pilihan Tuhan.”Juga dalam ajaran-ajaran modern
yang mengatakan bahwa ibu kota yang menghimpun anak cucu Hertzl, Kafka dan
Shagal adalah ibu kota yang paling tinggi. Ibu kota yang dimaksud tentunya
adalah Al Quds, Palestina yang terjajah.
Pemahaman egoisme absolut erat sekali dengan kekerasan
dan penyesatan yang selalu mengiringi gerakan Zionisme. Yaitu ketika ia tidak
mengakui hakekat sejarah, perkembangan sumbangsih manusia, hak hidup bangsa di
tanah airnya dengan rasa aman dan supremasi atas diskriminasi rasialis
“bangsaYahudi penggerak tanpa misi alam raya”. Yang kemudian membawanya kepada
pengakuan terhadap orang yahudi sebagai makhluk heterogen yang mencari
keagungannya setelah seribu tahun lamanya. Serta memaksa seluruh manusia untuk
menangis dikeranakan penderitaannya. Oleh karena itu, tidak aneh jika Zionisme
menganggap bahwa sejarah Fasisime adalah sejarah permusuhan kepada mereka.
Perlu diketahui bahwa manusia seluruhnya adalah korban bagi Fasisme. Dan
runtuhnya Fasisme itu bukan hasil dari perlawanan kepada Yahudi, namun itu
adalah hasil dari perlawanan kepada kekuatan demokratis dunia, yang
menghancurkan keinginan-keinginan Yahudi dengan slogan-slogan demokrasi
murahan.
Sesungguhnya subyektif absolut itulah yang menjadikan
Zionisme tidak melihat di dalam sejarah non sejarah Yahudi. Korban-korban
Fasisme adalah orang-orang Yahudi, para korban teroris Arab adalah juga “bangsa
Yahudi”, korban dari masyarakat sosialis, sesuai dengan klaimnya, adalah
orang-orang Yahudi pula. Maka bangsa Yahudi itu adalah awal dan akhir dunia, mereka
adalah standar yang dijadikan ukuran bagi keagungan manusia dan kemundurannya.
Mereka adalah kebenaran yang sempurna, maka barangsiapa yang berbeda dengan
mereka tentu ia berada dalam kesalahan (kebatilan). Sementara orang ynag
sependapat dengannya, ia lebih dekat kepada kebenaran itu. Maka tidak ada
seorangpun, selain dari mereka, yang tahu makna sebuah hakekat itu.
Jabutensky berkata:”Setiap orang selain dari kamu adalah
dalam kesesatan, sementara kamu sendiri-lah yang paling benar. Usahakanlah agar
kamu tidak mendapatkan berbagai alasan (keberatan) demi perjuangan ini. Hal itu
tidak urgen dan tidak benar. Bukan kekuasaanmu bila kamu berkeyakinan dengan
sesuatu apapun di dunia ini, jika anda mengakui, walaupun sekali saja, bahwa
barangkali ia sebagai musuhmu dalam kebenaran. Maka itu bukanlah cara untuk
mewujudkan apapun yang tidak ada di dunia, selain hakekat yang satu yaitu
semuanya adalah milik-mu. Namun jika Anda belum yakin dengan itu, maka
berdiamlah di dalam rumah. Jika sebaliknya, Anda yakin dengan hal itu, jangan
melihat ke belakang, ia akan datang dihadapanmu.”
Orang Yahudi itu bukanlah sebuah hakekat, ia adalah
eksistensi, yang hakekat itu berusaha menuju kepadanya. Tanpa keberadaannya
tidak ada kebenaran suatu hakekat di dunia ini. Mengaitkan sebuah hakekat
dengan satu agama aadalah teroris tingkat tinggi dan menafikan hakekat
tersebut.
Maka hakekat Zionisme tidak membawa ukuran atau
perkembangan atau kerelatifan, namun ia adalah semuanya karena terkait dengan
“ras terbaik”. Berikutnya, ia menjadi dasar bagi pengesahan dan pelarangan.
Sehingga setiap aktivitas yang bertolak belakang darinya bisa dikatakan benar,
baik berupa peperangan, teror, bom dan pembumihangusan. Teror pemikiran ini
adalah dasar ideologi bagi setiap bentuk teror prospektif, selama setiap kritik
atau pengakuan yang bersifat non Yahudi menganggap berlebih-lebihan dan
melampaui batas dari hakekat makro, yaitu hakekat Zionisme.
Bersambung ...