Sebagai seorang muslim, kita adalah garda terdepan dan harakah islamiyah,
yang harus tampil sebagai pemenang dalam medan kehidupan. Namun untuk
merealisasikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini hanya
mungkin terjadi, apabila setiap muslim mampu mengoptimalkan dua potensi utama
yang dimiliki, yakni potensi dzikir dan fikir.
Dalam potensi dzikir, kita tancapkan kalimah thoyyibah sebagai pondasi
utama dan pertama yang membahana di relung dada. Dalam arti lain, menggalakkan
potensi dzikir adalah upaya menguatkan akidah kita sebagai muslim sejati. Sedang
dengan potensi fikir, kita arungi keajaiban alam semesta sebagai bukti nyata
kekhalifahan kita di muka bumi. Hal ini berarti kita harus mengeksplorasi
ayat-ayat yang terhampar di alam ini, karena itu semua diciptakan untuk
kepentingan manusia.
Konsep hidup dalam Islam bukanlah konsep parsial, dalam arti meraih yang satu
dan mencampakkan yang lain. Namun ia merupakan konsep proporsional. Dunia dan
akhirat, iman dan amal sholeh harus dibaca dengan satu tarikan nafas. Bagaikan
dua sisi mata uang, maka demikianlah yang satu mengesahkan yang lain. Setiap
gerakan dari dua sisi ini harus bermutu pada satu kutub yaitu hasil yang
diiringi dengan keikhlasan. Itulah sebabnya, setiap muslim yang menghayati
kalimat syahadat harus menunjukkan profesionalismenya sebagai muslim sejati
yang punya harga dan wawasan dalam bertindak.
Setiap insan muslim wajib memiliki cita-cita hidup. Dan tentu saja tidak
ada satu cita-cita pun yang dapat diwujudkan, kecuali dengan tindakan dan
keinginan yang kuat untuk meraih hasil. Cita-cita adalah kemauan yang
diperjuangkan, maka tanpa ada keinginan dan semangat, serta hidayah Allah,
mustahil Islam ini mampu ditegakkan oleh umatnya. Apabila ini tidak ada pada
dada setiap muslim, maka cita-cita itu hanya sebuah impian yang indah. Manis
diucapkan tapi hampa dalam perbuatan. Jadilah garam! Cita-cita yang ditancapkan
oleh semua muslim adalah cita-cita yang dilumuri dengan cahaya keikhlasan
mencari ridho Allah semata.
Apabila kita mampu meraih hasil, segeralah tundukkan kepala untuk
bertafakkur dan bersyukur bahwa hasil ini pada hakekatnya adalah semata-mata
datang dari Allah. Maka, tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk menjadi tipe
manusia yang sombong. Biarlah pujian dan tepukan itu ditujukan kepada kita,
namun itu hanya sekedar side effect, bukan tujuan utama.
Maka falsafah pergaulan kita hendaknya harus ditanamkan dalam filsafat
‘garam’. Lihatlah sayur, dia menjadi terasa sedap karena adanya garam. Dan
bukan main, garam yang memberi citra sedapnya sayur tersebut, tidak pernah
kelihatan wujudnya, dia membaur dalam cita rasa. Inilah ikhlas. Sikap seperti
inilah yang dikehendaki pada setiap muslim bercita-cita, berprestasi, tetapi
tetap tawadhu’ dan ikhlas. Sifat ikhlas harus selalu tetap tertanam dalam jiwa
kita.
Setiap ikhlas ini akan memberikan energi vital pada rohani setiap muslim.
Dia akan tampil menjadi menusia yang tangguh, tidak gampang goyah. Cita-cita
yang dikibarkan pada tiang-tiang keikhlasan, menyebabkan setiap muslim keluar
sebagai pemenang. Pemenang dalam setiap kehidupan dan tidak akan mudah menyerah
pada godaan sang durjana. Sehingga dari sini kita bisa selamat di kehidupan
dunia dan akhirat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar