Senin, 07 Januari 2013

Jadilah Garam

Sebagai seorang muslim, kita adalah garda terdepan dan harakah islamiyah, yang harus tampil sebagai pemenang dalam medan kehidupan. Namun untuk merealisasikannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini hanya mungkin terjadi, apabila setiap muslim mampu mengoptimalkan dua potensi utama yang dimiliki, yakni potensi dzikir dan fikir.

Dalam potensi dzikir, kita tancapkan kalimah thoyyibah sebagai pondasi utama dan pertama yang membahana di relung dada. Dalam arti lain, menggalakkan potensi dzikir adalah upaya menguatkan akidah kita sebagai muslim sejati. Sedang dengan potensi fikir, kita arungi keajaiban alam semesta sebagai bukti nyata kekhalifahan kita di muka bumi. Hal ini berarti kita harus mengeksplorasi ayat-ayat yang terhampar di alam ini, karena itu semua diciptakan untuk kepentingan manusia.

Konsep hidup dalam Islam bukanlah konsep parsial, dalam arti meraih yang satu dan mencampakkan yang lain. Namun ia merupakan konsep proporsional. Dunia dan akhirat, iman dan amal sholeh harus dibaca dengan satu tarikan nafas. Bagaikan dua sisi mata uang, maka demikianlah yang satu mengesahkan yang lain. Setiap gerakan dari dua sisi ini harus bermutu pada satu kutub yaitu hasil yang diiringi dengan keikhlasan. Itulah sebabnya, setiap muslim yang menghayati kalimat syahadat harus menunjukkan profesionalismenya sebagai muslim sejati yang punya harga dan wawasan dalam bertindak.

Setiap insan muslim wajib memiliki cita-cita hidup. Dan tentu saja tidak ada satu cita-cita pun yang dapat diwujudkan, kecuali dengan tindakan dan keinginan yang kuat untuk meraih hasil. Cita-cita adalah kemauan yang diperjuangkan, maka tanpa ada keinginan dan semangat, serta hidayah Allah, mustahil Islam ini mampu ditegakkan oleh umatnya. Apabila ini tidak ada pada dada setiap muslim, maka cita-cita itu hanya sebuah impian yang indah. Manis diucapkan tapi hampa dalam perbuatan. Jadilah garam! Cita-cita yang ditancapkan oleh semua muslim adalah cita-cita yang dilumuri dengan cahaya keikhlasan mencari ridho Allah semata.

Apabila kita mampu meraih hasil, segeralah tundukkan kepala untuk bertafakkur dan bersyukur bahwa hasil ini pada hakekatnya adalah semata-mata datang dari Allah. Maka, tidak ada alasan bagi setiap muslim untuk menjadi tipe manusia yang sombong. Biarlah pujian dan tepukan itu ditujukan kepada kita, namun itu hanya sekedar side effect, bukan tujuan utama.

Maka falsafah pergaulan kita hendaknya harus ditanamkan dalam filsafat ‘garam’. Lihatlah sayur, dia menjadi terasa sedap karena adanya garam. Dan bukan main, garam yang memberi citra sedapnya sayur tersebut, tidak pernah kelihatan wujudnya, dia membaur dalam cita rasa. Inilah ikhlas. Sikap seperti inilah yang dikehendaki pada setiap muslim bercita-cita, berprestasi, tetapi tetap tawadhu’ dan ikhlas. Sifat ikhlas harus selalu tetap tertanam dalam jiwa kita.

Setiap ikhlas ini akan memberikan energi vital pada rohani setiap muslim. Dia akan tampil menjadi menusia yang tangguh, tidak gampang goyah. Cita-cita yang dikibarkan pada tiang-tiang keikhlasan, menyebabkan setiap muslim keluar sebagai pemenang. Pemenang dalam setiap kehidupan dan tidak akan mudah menyerah pada godaan sang durjana. Sehingga dari sini kita bisa selamat di kehidupan dunia dan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar