Selasa, 19 Februari 2013

Metodologi Ijtihad ‘Umar bin al-Khatthab

‘Umar bin al-Khatthab adalah seorang sahabat Nabi Saw, yang dikenal paling berani dalam menetapkan hukun secara transaparan, sehingga terkadang nampak menyimpang dari ketetapan nash-nash al-Qur’ān. Namun yang patut ditegaskan bahwa, ‘Umar sangat disiplin dalam mengaplikasikan teks-teks syara‘, disamping juga disiplin dalam merealisasikan kemaslahatan umum dalam kapasitasnya sebagai khalifah, pemimpin negara yang dipilih oleh rakyat.

Pada dasarnya ‘Umar bin al-Khatthab adalah orang yang cukup disiplin dalam berpegang terhadap al-Qur’ān dan hadits. Hal ini terlihat dari pembelaan dalam memerangi orang-orang yang menyimpang dari syarī‘ah Islam. Adapun bila ada ketetapan ‘Umar yang tampaknya menyimpang dari nash, sejatinya pertimbangan aplikasi (tathbīq) suatu hukum untuk merealisasikan tujuan-tujuan syara‘ (maqāshid al-syarī‘ah).

Pertimbangan tathbīq artinya, bahwa dalam berijtihad untuk menentukan hukum, tidak hanya memperhatikan nash-nash al-Qur’ān dan hadits, akan tetapi yang terpenting adalah memperhatikan tujuan-tujuannya. Sedang tujuan dari pada syara‘ adalah mewujudkan kemaslahatan manusia dengan mempertimbangkan kemaslahahan, baik yang berupa dharūrī, hājjī, maupun tahsīnī, lebih-lebih dalam bidang dharūrī yang termanifestasi dalam dharūrīyāt al-khamsah. Jadi, setiap aksi yang dilakukan ‘Umar bukan bermaksud meninggalkan nash-nash syara‘, tetapi justeru didasari keinginan untuk mengaplikasikannya.

Dari sini, dapat diketahui bahwa dasar yang digunakan ‘Umar dalam menetapkan sebuah hukum adalah al-Qur’ān, Sunnah dan ijtihad yang termanifestasi dalam Qiyas. Dalam metode ijtihad, ‘Umar mempunyai variasi dalam mengaplikasikan nash-nash baik al-Qur’ān maupun hadits;

Pertama, penetapan hukum yang berdasarkan al-Qur’ān. Walaupun mengambil dari teks al-Qur’ān, namun dalam bentuk aplikasinya terhadap masalah, bagi ‘Umar masih dimungkinkan untuk bervariasi. Seperti ‘Umar tidak memberikan zakat kepada Mu’allaf Qulūbuhum (orang yang baru masuk Islam), walaupun jelas diterangkan dalam al-Qur’ān, begitu juga dengan masalah pemotongan tangan bagi pencuri yang melakukan pencurian pada musim paceklik.

Kedua, penetapan yang berdasarkan sunnah Rasul. Dalam aplikasinya, beliau melakukan seleksi ketat terhadap sunnah Rasul. Oleh sebab itu ‘Umar melarang meriwayatkan hadits, karena beliau khawatir akan adanya pendustaan terhadap sunnah Rasul. Beliau tidak mau menerima hadits tanpa didatangkan saksi bagi perawinya.

Contoh ijtihad ‘Umar bin al-Khatthab:
1. Hukuman meminum khamr
Hukum minum khamr adalah haram sebagaimana yang telah disinggung dalam al-Qur’ān, namun dalam al-Qur’ān tidak disebutkan secara jelas hukuman bagi yang meminumnya. Karena itu, hukuman peminum ini hanya diambil dari sunnah Nabi. Menurut suatu riwayat, Rasul pernah mendera orang yang meminum khamr dengan empat puluh kali cambukan, begitu juga Abū Bakar. Namun lain dengan ‘Umar, beliau menghukum peminum khamr dengan melipatgandakan, yakni delapan puluh cambukan. Dengan demikian, beliau menyalahi apa yang dicontohkan oleh Rasul yang hanya menghukum dengan empat puluh kali cambukan.

Sebenarnya, ‘Umar tidak pernah berfikir untuk menambah hukuman peminum khamr dengan melipatgandakan dari apa yang pernah dicontohkan oleh Rasul. Tetapi ketika ‘Umar menghukum peminum hanya dengan empat puluh kali, para peminum tidak jera, bahkan menghina hukuman ini dengan tidak menghentikan meminum khamr. ‘Umar khawatir jika meminum khamr akan semakin menyebar dan berkembang. Akhirnya ‘Umar mencegahnya dengan melipat gandakan hukuman.

‘Umar, tidak melaksanakan dera delapan puluh kali, kecuali terlebih dahulu bermusyawarah dengan pembesar sahabat yang mempunyai kapabelitas dalam hal fiqih. Hal ini diqiyaskan dengan hukuman qadzaf (menuduh orang lain berzina) dan juga membual. Maka ‘Ali memberikan isyarat untuk menambah hukuman demi kemaslahatan agama dan umat. Karena jika tidak dilakukan, maka kerusakan akhlak akan menyebar kemana-mana. Usulan ‘Umar inipun disepakati sahabat meskipun melalui ijma‘ sukūtī.

Dari sini jelas, ra’yu yang diformasikan melalui qiyas selalu dipegang oleh ‘Umar dalam istinbath ataupun aplikasi suatu hukum, sehingga hukum itu bisa mencapai targetnya, yakni kemaslahatan umat.

2. Masalah talak tiga
Dalam Al-Qur’an Allah telah menyebutkan, bahwa talak yang boleh rujuk kembali adalah dua kali. Kemudian jika jatuh talak ketiga, maka si suami tidak boleh rujuk kembali kepada isterinya kecuali dengan akad nikah baru, dengan catatan isterinya harus menikah terlebih dahulu dengan orang lain dan telah di talak pula oleh suami kedua tersebut. Tiga talak ini tidak jatuh secara sekaligus. Artinya, apabila menalak isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka hanya jatuh satu talak. Inilah hukum yang telah ditetapkan oleh Nabi Saw. Begitupun yang terjadi ketika masa Abu Bakar. Namun tidak demikian pada masa ‘Umar. Beliau berijtihad, jika seorang suami menalak isterinya dengan talak tiga sekaligus, maka jatuh pula tiga talak.

Adapun alasan ‘Umar berpendapat demikian, karena beliau melihat munculnya gejala lain dalam masyarakat, di mana banyak sekali orang menjatuhkan dan mempermainkan talak tiga sekaligus kepada isterinya. Menurutnya, hal itu adalah sikap masyarakat yang menyepelehkan urusan talak. Padahal talak adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah. Mereka mempermainkan hukum Islam dengan menalak isteri-isteri mereka dengan cara yang tidak sesuai dengan syara‘.

Intinya, ‘Umar menjatuhkan talak tiga dalam satu lafadz ini dijadikan semacam hukuman bagi orang-orang yang melanggar dan mempermainkan ajaran Allah. Lagi-lagi, ‘Umar melakukan demikian adalah untuk merealisasikan maslahat umum dan mencegah kezhaliman yang dilakukan oleh suami terhadap isteri-isterinya. Sebenarnya, pertimbangan inilah yang mendasari segala bentuk ijtihad ‘Umar.

3. Menggugurkan hukuman zina
Hukum zina bagi orang Muslim yang muhshon, adalah rajam. Hukum ini disepakati oleh ulama salaf dan khalaf meskipun dalam al-Qur’ān tidak diterangkan dengan jelas. Namun hukuman ini ditetapkan melalui sunnah Nabi. Meskipun demikian, suatu riwayat menerangkan bahwa ‘Umar pernah menggugurkan hukuman zina bagi seorang perempuan muhshon.

Ternyata setelah diteliti, ‘Umar menggugurkan hukuman zina ini karena beberapa sebab, yaitu: Pertama, adanya unsur paksaan. Karena diketahui bahwa wanita tersebut ditindih oleh seorang laki-laki yang tidak ia ketahui ketika ia sedang tidur terlelap dalam kegelapan. Kedua, ‘Umar menggugurkan hukuman zina ini karena ketidaktahuan pelaku akan keharaman zina.

Dua sebab di atas dijadikan ‘Umar sebagai syubhat untuk menggagalkan hukuman bagi perempuan tersebut. Dari sini diketahui bahwa, ‘Umar tidak gampang mengaplikasikan hukuman, melainkan harus sesuai dengan prosedur yang ada dan terlepas dari syubhat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar