Hamparan di tepi pantai itu seolah berubah warna keperakan disapu jingga
surya di perbata-an cakrawala. Sebentar lagi kegagahan surya akan menjemput
bulan yang senantiasa malu-malu. “Maha Besar Tuhan Pencipta keindahan tiada
tara ini,” anganku. Entahlah, aku begitu menikmati pemandangan senja di pantai
ini. Duduk berlama-lama sambil menatap kagum.
“Cantik...”, entahlah kata-kata itu ditujukan untuk siapa, tapi yang jelas
suara itu mengusikku. “Cantik yah....?!!” aku menoleh. Seorang cowok berambut
pendek berdiri dibelakangku. Sekali lagi aku menoleh ke kanan kiri memastikan
tak ada orang lain yang diajaknya bicara. “Ya, aku menikmatinya,” jawabku. “Aku
juga”. Kami bertemu pandang. “Senja,” dia mengulurkan tangan. “Rara,” balasku. Lucu
nama itu seolah memberi tema tentang keindahan sore ini. Kami menjadi cepat
akrab hingga tak segan dia bercerita bahwa senja itu menjadi saksi hal-hal
terakhir bersama kekasihnya sebelum Sang Leo menjemput gadis tercintanya itu.
Jarum Alba di pergelangan tanganku menun-jukkan pukul 17.20, saat itu aku
baru saja selesai kuliah. Sehabis salaman dengan teman-teman, akupun memacu
Shogun tungganganku. Aku tak ingin Maghrib mendahuluiku. Tiba-tiba HP di saku
celanaku berbunyi, “Ada tamu Mbak Rara cepat pulang,” SMS dari Tari, adikku.
Sesaat kemudian aku sudah di depan rumah.
“Assalamualaikum...!” ucapku sambil melepas helm. “Wa’alaikum salam...!”
jawab mereka bersamaan, bapak, ibu, Tari dan... Senja. Aku tak menyangka Senja
benar-benar main ke rumah. Memang, tempatnya agak sedikit jauh dari rumahku. Sore-sore
selanjutnya, keakrabanku dengan Senja kian terjalin manis. Senja juga kerap
menelponku, kirim SMS, bahkan tak jarang dia menjemputku di kampus hanya untuk
menemani makan mie ayam kesukaannya.
Senja memang menawan. Orang-orang di sekitarku mengakui itu, tinggi tegap,
berkepribadian tegas dan santun. Cowok ideal persis dalam hayalanku ketika
masih SMU dulu. Tak hanya aku, bapak, ibu, apalagi Tari begitu menikmati
kehadirannya. Aku ingat waktu panen mangga di kebun belakang rumahku dulu.
Senja tak segan-segan membantu bapak memanjat pohon. Setelah itu Tari dengan
kemanjaannya mengajari membuat rujak kopyor. Yang jelas, keadaan ini
menciptakan keanehan dalam diri. Entahlah, aku tak ingin GR, Senja seakan telah
menjadi bagian dari diriku. Mungkin juga seisi rumahku.
Hingga suatu siang perempuan separuh baya mencariku di kampus. Dari
dandanan necisnya aku bisa menebak. Aku kaget sekali sewaktu beliau
memperkenalkan diri sebagai ibu Senja dan menanyakan perihal keakraban kami.
Aku dihujani berbagai macam pertanyaan. Beliau menyarankan agar aku tak
mendekati Senja lagi. Alasannya simpel, Senja telah dijodohkan dengan gadis
kerabatnya.
Aku seakan berhenti bernafas, sakit dan luka itu masih terasa perih hingga
hari ini. Anehnya sejak kedatangan perempuan itu, Senja tidak lagi ke rumah,
lenyap bagai ditelan bumi. Memang kami tidak pernah membuat suatu komitmen,
tapi sikapnya, perilakunya, telah menumbuhkan harapan-harapan liar. Kucoba
untuk menghu-bungi di HPnya tapi tak pernah diaktifkan. Susahnya, aku harus
berbohong setiap kali bapak, ibu atau Tari bertanya soal Senja. Sampai kemudian
datang telegram untukku, To: Radhika “MAAFKAN AKU ATAS SEGALA DAN SEMUA YANG
TERJADI.” Ttd Senja.
“Buggg..” tiba-tiba sebuah bola menghan-tamku. Aku tersadar, aku menoleh.
Sekelompok bocah sedang bermain sepak bola tak jauh dari sini. Dua bocah kecil
menghampiriku. “Maaf Mbak..!” ucapnya polos. Aku tersenyum sambil mengembalikan
bola mereka. Duduk di hamparan pasir tepi pantai ini tak pernah membuatku
bosan. Entah berapa banyak senja yang pernah kulalui bersamanya. Sebentar lagi
senja juga akan tenggelam. Ah...senja memang tak pernah nyata, hanya ada di
batas cakrawala. Mungkin senja memang untuk dinikmati bukan dimiliki. Aku berdiri
sambil mengibaskan celanaku, membetulkan jilbabku dan beranjak pergi.
Persembahan dari Risty Sang Mantan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar