Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa. Ia juga merupakan
penjelmaan daripada jiwa yang bersangkutan dari abad ke abad. Karena itu, tiap
bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang mana satu dengan
yang lainnya tidak sama. Dan justeru oleh ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan
bahwa merupakan salah satu unsur terpenting yang memberikan identitas kepada
bangsa yang bersangkutan.
Tingkatan peradaban maupun cara kehidupan yang modern, ternyata tidak mampu
untuk menghilangkan adat dan kebiasaan hidup di dalam masyarakat. Pengaruh
terjauh proses kemajuan zaman alias arus modernisasi terhadap adat yang kita
lihat hanyalah bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan kehendak keadaan
zaman yang semakin modern, dan bukan menghilangkannya. Hal ini menunjukkan
bahwa adat menjadi kekal dan tetap segar.
Di dalam negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh daerah,
suku sangat majemuk, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu, yakni
keindonesiaan. Di Jawa Timur, khususnya di
desa Balongdowo kecamatan Candi kabupaten Sidoarjo, ada suatu upacara adat yang
sangat menarik untuk dibahas dan di kaji secara mendalam, yakni upacara ritual
Nyadran. Lebih-lebih sebentar lagi, yakni pada bulan Sya'ban ini akan dilaksanakan Nyadran di daerah tersebut.
Dari segi bahasa, kata Nyadran berasal dari kata bahasa Jawa sadran yang
berarti Ruwah, Sya’ban. Lambat laun, kata tersebut kemudian didefinisikan sebagai
upacara kenduri yang diadakan di tempat tertentu, misalnya di tempat keramat,
masjid, rumah, atau tempat yang lainnya. Di daerah Sidoarjo, Nyadran di artikan
upacara ritual selamatan petik laut ke makam Dewi Sekardadu di dusun Kepetingan
desa Sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Upacara ini juga di sebut sebagai
tasyakuran atau selamatan dari para nelayan setempat.
Biasanya, ritual ini di laksanakan dengan didahului ziarah ke makam leluhur,
mengadakan tumpengan (selamatan) di masing-masing rumah nelayan dan juga
menyiapkan makanan dan sesajen berupa ayam panggang, nasi, pisang, dan kue di
masukkan ke dalam tomblok (tempat makanan yang terbuat dari bambu) untuk dibawa
ke pesta Nyadran di selat Madura. Kegiatan Nyadran ini sudah menjadi tradisi
masyarakat Balongdowo dari abad ke abad, bahkan seakan sudah menjadi kewajiban
bagi mereka.
Nyadran sejatinya adalah upacara ritual selamatan petik laut ke makam Dewi
Sekardadu (ibunda Sunan Giri) yang terletak di dusun Kepetingan desa Sawohan
kecamatan Buduran Sidoarjo. Sebagian masyarakat mengartikan Nyadran adalah
tradisi ziarah ke makam Dewi Sekardadu yang dipercaya oleh masyarakat
Balongdowo, dan sudah dilakukan dari abad ke abad.
Asal-usul ritual Nyadran
Adapun asal-usul mengenai Nyadran ini, tidak seorangpun dari masyarakat
Balongdowo yang mengetahui persis tentang sejarah asal-usulnya. Bahkan sesepuh
dan tokoh masyarakat sekitar pun tidak mengetahuinya. Mereka menganggap bahwa Nyadran
ini merupakan suatu adat atau tradisi yang dilakukan nenek moyang dan terus
dilaksanakan oleh generasai sesudahnya.
Memang asal-usul Nyadran secara pasti tidak diketahui, namun masyarakat menganggap bahwa
Nyadran ini suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap setahun, karena ritual
ini merupakan selamatan para nelayan, juga diyakini sebagai hari ulang tahun
masyarakat nelayan Balongdowo. Mereka pun percaya bahwa jika tidak dilakukan ritual
Nyadran, maka hasil laut terutama yang berupa ‘kupang’ tidak akan mendapat
hasil yang berlimpah.
Konon, pada sekitar sepuluh tahun yang silam, ada kejadian yang cukup aneh.
Setelah masyarakat melakukan upacara Nyadran, namun penghasilan para nelayan
tidak berlimpah (hasil kupangnya sedikit). Kemudian para nelayan berinisiatif
untuk mengadakan upacara Nyadran lagi. Aneh bin ajaib, keesokan harinya
mendapat kupang yang berlimpah, para nelayan pun gembira. Hal ini menunjukkan
bahwa upacara Nyadran merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh nelayan
kupang.
Dalam perkembangannya, upacara ritual Nyadran ini mengalami perubahan-perubahan.
Dahulu kala, nenek moyang masyarakat Balongdowo melakukan upacara Nyadran
dengan penuh pemahaman dan penghayatan ziarah ke makam Dewi Sekardadu untuk
mendo’akan ahli kubur dan juga ngalap (tawassul) barokah do’a untuk keselamatan
para nelayan. Tentunya juga dengan harapan agar diberi rizki yang banyak (hasil
kupang yang berlimpah) oleh Yang Maha Kuasa dengan lantaran do’a tersebut.
Tetapi seiring dengan perubahan zaman, juga perubahan pelaku ritual Nyadran
dari generasi ke generasi, maka upacara adat inipun mengalami perubahan, bahkan
perubahan yang sangat drastis. Mereka, terutama anak-anak muda melakukan Nyadran
dengan hanya sekedar ikut-ikutan, tanpa mengetahui makna yang terkandung di
dalamnya. Sehingga mereka menyalahgunakan acara ritual itu dengan hanya
berpesta. Sekarang kita dapati upacara ritual Nyadran tidak lebih dari menghias
perahu, parade sound system, pesta di atas perahu sambil berjoget-joget, makan
bersama di atas perahu, bahkan ironisnya lagi ada yang memanfaatkan momen ini
dengan pesta miras. Hanya segelintir orang yang tahu makna yang terkandung di
dalam upacara ritual Nyadran ini.
Proses pelaksanaan ritual Nyadran
Adapun proses pelaksanaan Nyadran, biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah
(Sya’ban). Nyadran di Sidoarjo berbeda dengan acara Petik Laut di Banyuwangi
maupun Labuhan Malang. Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri.
Kegiatan ini dilakukan pada malam hari. Namun pada siang harinya, masyarakat
nelayan tersebut disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meskipun
puncak acaranya pada tengah malam.
Laki-laki, perempuan, besar, kecil semuanya melakukan pekerjaannya sesuai
tugas masing-masing. Ada yang menghias perahu dan sebagainya. Khusus ibu-ibu,
mereka melakukan kegiatan menyiapkan makanan yang akan dibawa ke pesta upacara
Nyadran di selat Madura (pantai timur Sidoarjo), serta menyiapkan sesajen. Sesajen
yang disiapkan berupa ayam panggang, nasi dan pisang serta kue yang dimasukkan
ke dalam ‘tomblok’. Kegiatan persiapan ini berlangsung sampai sore hari,
kemudian dilanjutkan kenduri di masing-masing rumah para nelayan kupang.
Pada malam hari, di sepanjang jalan dan tepian sungai Balongdowo,
suasananya sangat ramai dipenuhi oleh masyarakat dan pedagang kaki lima,
sehingga kedengaran hiruk pikuk dibarengi para remaja berjoget ria di atas
perahu. Para pengunjung semakin malam semakin berdesak-desakan untuk
menyaksikan pemberangkatan iring-iringan perahu menuju ke pesta Nyadran di
selat Madura. Pemberangkatan bergantung pada keadaan air sungai. Sekitar pukul
02.00 dini hari saat air laut surut, iring-iringan perahu mulai diberangkatkan.
Perjalanan dimulai dari Bandar Balongdowo. Perjalanan ini melewati sungai
desa Klurak, Kali Pecabean, Kedungpeluk dan Kepetingan. Ketika iring-iringan
perahu sampai di muara Kali Pecabean, perahu yang ditumpangi anak balita
membuang seekor ayam. Konon menurut cerita, dahulu ada orang yang mengikuti
acara ritual Nyadran dengan membawa anak kecil tersebut mengalami kesurupan.
Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut terulang lagi, masyarakat
Balongdowo mempercayai bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke
Kali Pecabean, maka anak kecil yang mengikuti Nyadran akan terhindar dari
malapetaka (kesurupan).
Sekitar pukul 04.30 pagi, peserta ritual Nyadran tiba di dusun Kepetingan.
Rombongan peserta Nyadran langsung menuju makam Dewi Sekardadu untuk mengadakan
makan bersama sambil menunggu fajar tiba. Peserta ritual Nyadran tersebut
berziarah, bersedekah dan berdo’a di makam tersebut agar berkah terus mengalir.
Sekitar pukul 07.00 WIB, mereka menuju selat Madura, sekitar 3 Km dari tempat
tersebut. Dan sekitar pukul 10.00 WIB, iring-iringan perahu tersebut mulai meninggalkan
selat Madura, kemudian mereka kembali ke desa Balongdowo.
Nyadran, yang merupakan upacara ritual selamatan Petik Laut ke makam Dewi
Sekardadu yang dilakukan oleh masyarakat Balongdowo dan sudah ditradisikan dari
masa ke masa. Dari sekian tahun, masyarakat tidak pernah meninggalkan upacara Nyadran.
Karena mereka (masyarakat nelayan) menganggap jika tidak melakukan Nyadran,
maka akan mengakibatkan kupangnya tidak berlimpah dan jika tidak dilakukan Nyadran,
akan mendapat kritikan keras atau protes dari masyarakat nelayan yang sangat
mempercayai ritual tersebut sebagai hal yang cukup keramat.
Namun bagaimanapun juga, upacara semacam ini hanyalah sekedar kegiatan adat
yang boleh dilakukan atau ditinggalkan. Karena hukum adat adalah hukum sebagai
kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan
bersifat paksaan. Hukum adat ini, seperti halnya ritual Nyadran bisa mempunyai
sanksi dan akibat hukum dikarenakan upacara ritual Nyadran sangat dipercayai
oleh masyarakat nelayan Balongdowo dan mereka menganggap apabila tidak
melakukan upacara tersebut, akan terjadi akibat hukum yakni hasil kupangnya
tidak melimpah.
· Tulisan ini disusun oleh Sdr. Anang
Ma’ruf, S.HI, berdasar pada beberapa referensi, serta penuturan beberapa
sesepuh dan tokoh masyarakat desa Balongdowo - Candi - Sidoarjo, melalui
wawancara yang pernah dilakukannya pada tahun 2004 ketika masih berstatus
mahasiswa Universitas Al-Khoziny Sidoarjo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar