Sabtu, 10 Juli 2010

Upacara Ritual Nyadran di Sidoarjo

Adat merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa. Ia juga merupakan penjelmaan daripada jiwa yang bersangkutan dari abad ke abad. Karena itu, tiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang mana satu dengan yang lainnya tidak sama. Dan justeru oleh ketidaksamaan inilah kita dapat mengatakan bahwa merupakan salah satu unsur terpenting yang memberikan identitas kepada bangsa yang bersangkutan.

Tingkatan peradaban maupun cara kehidupan yang modern, ternyata tidak mampu untuk menghilangkan adat dan kebiasaan hidup di dalam masyarakat. Pengaruh terjauh proses kemajuan zaman alias arus modernisasi terhadap adat yang kita lihat hanyalah bahwa adat tersebut menyesuaikan diri dengan kehendak keadaan zaman yang semakin modern, dan bukan menghilangkannya. Hal ini menunjukkan bahwa adat menjadi kekal dan tetap segar.

Di dalam negara Republik Indonesia ini, adat yang dimiliki oleh daerah, suku sangat majemuk, meskipun dasar serta sifatnya adalah satu, yakni keindonesiaan. Di  Jawa Timur, khususnya di desa Balongdowo kecamatan Candi kabupaten Sidoarjo, ada suatu upacara adat yang sangat menarik untuk dibahas dan di kaji secara mendalam, yakni upacara ritual Nyadran. Lebih-lebih sebentar lagi, yakni pada bulan Sya'ban ini akan dilaksanakan Nyadran di daerah tersebut.

Dari segi bahasa, kata Nyadran berasal dari kata bahasa Jawa sadran yang berarti Ruwah, Sya’ban. Lambat laun, kata tersebut kemudian didefinisikan sebagai upacara kenduri yang diadakan di tempat tertentu, misalnya di tempat keramat, masjid, rumah, atau tempat yang lainnya. Di daerah Sidoarjo, Nyadran di artikan upacara ritual selamatan petik laut ke makam Dewi Sekardadu di dusun Kepetingan desa Sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Upacara ini juga di sebut sebagai tasyakuran atau selamatan dari para nelayan setempat.

Biasanya, ritual ini di laksanakan dengan didahului ziarah ke makam leluhur, mengadakan tumpengan (selamatan) di masing-masing rumah nelayan dan juga menyiapkan makanan dan sesajen berupa ayam panggang, nasi, pisang, dan kue di masukkan ke dalam tomblok (tempat makanan yang terbuat dari bambu) untuk dibawa ke pesta Nyadran di selat Madura. Kegiatan Nyadran ini sudah menjadi tradisi masyarakat Balongdowo dari abad ke abad, bahkan seakan sudah menjadi kewajiban bagi mereka.

Nyadran sejatinya adalah upacara ritual selamatan petik laut ke makam Dewi Sekardadu (ibunda Sunan Giri) yang terletak di dusun Kepetingan desa Sawohan kecamatan Buduran Sidoarjo. Sebagian masyarakat mengartikan Nyadran adalah tradisi ziarah ke makam Dewi Sekardadu yang dipercaya oleh masyarakat Balongdowo, dan sudah dilakukan dari abad ke abad.

Asal-usul ritual Nyadran
Adapun asal-usul mengenai Nyadran ini, tidak seorangpun dari masyarakat Balongdowo yang mengetahui persis tentang sejarah asal-usulnya. Bahkan sesepuh dan tokoh masyarakat sekitar pun tidak mengetahuinya. Mereka menganggap bahwa Nyadran ini merupakan suatu adat atau tradisi yang dilakukan nenek moyang dan terus dilaksanakan oleh generasai sesudahnya.

Memang asal-usul Nyadran secara pasti tidak diketahui, namun masyarakat menganggap bahwa Nyadran ini suatu kewajiban yang harus dilakukan setiap setahun, karena ritual ini merupakan selamatan para nelayan, juga diyakini sebagai hari ulang tahun masyarakat nelayan Balongdowo. Mereka pun percaya bahwa jika tidak dilakukan ritual Nyadran, maka hasil laut terutama yang berupa ‘kupang’ tidak akan mendapat hasil yang berlimpah.

Konon, pada sekitar sepuluh tahun yang silam, ada kejadian yang cukup aneh. Setelah masyarakat melakukan upacara Nyadran, namun penghasilan para nelayan tidak berlimpah (hasil kupangnya sedikit). Kemudian para nelayan berinisiatif untuk mengadakan upacara Nyadran lagi. Aneh bin ajaib, keesokan harinya mendapat kupang yang berlimpah, para nelayan pun gembira. Hal ini menunjukkan bahwa upacara Nyadran merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh nelayan kupang.

Dalam perkembangannya, upacara ritual Nyadran ini mengalami perubahan-perubahan. Dahulu kala, nenek moyang masyarakat Balongdowo melakukan upacara Nyadran dengan penuh pemahaman dan penghayatan ziarah ke makam Dewi Sekardadu untuk mendo’akan ahli kubur dan juga ngalap (tawassul) barokah do’a untuk keselamatan para nelayan. Tentunya juga dengan harapan agar diberi rizki yang banyak (hasil kupang yang berlimpah) oleh Yang Maha Kuasa dengan lantaran do’a tersebut.

Tetapi seiring dengan perubahan zaman, juga perubahan pelaku ritual Nyadran dari generasi ke generasi, maka upacara adat inipun mengalami perubahan, bahkan perubahan yang sangat drastis. Mereka, terutama anak-anak muda melakukan Nyadran dengan hanya sekedar ikut-ikutan, tanpa mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Sehingga mereka menyalahgunakan acara ritual itu dengan hanya berpesta. Sekarang kita dapati upacara ritual Nyadran tidak lebih dari menghias perahu, parade sound system, pesta di atas perahu sambil berjoget-joget, makan bersama di atas perahu, bahkan ironisnya lagi ada yang memanfaatkan momen ini dengan pesta miras. Hanya segelintir orang yang tahu makna yang terkandung di dalam upacara ritual Nyadran ini.

Proses pelaksanaan ritual Nyadran
Adapun proses pelaksanaan Nyadran, biasanya dilaksanakan pada bulan Ruwah (Sya’ban). Nyadran di Sidoarjo berbeda dengan acara Petik Laut di Banyuwangi maupun Labuhan Malang. Nyadran di Sidoarjo mempunyai ciri khas tersendiri. Kegiatan ini dilakukan pada malam hari. Namun pada siang harinya, masyarakat nelayan tersebut disibukkan dengan kegiatan persiapan pesta upacara meskipun puncak acaranya pada tengah malam.

Laki-laki, perempuan, besar, kecil semuanya melakukan pekerjaannya sesuai tugas masing-masing. Ada yang menghias perahu dan sebagainya. Khusus ibu-ibu, mereka melakukan kegiatan menyiapkan makanan yang akan dibawa ke pesta upacara Nyadran di selat Madura (pantai timur Sidoarjo), serta menyiapkan sesajen. Sesajen yang disiapkan berupa ayam panggang, nasi dan pisang serta kue yang dimasukkan ke dalam ‘tomblok’. Kegiatan persiapan ini berlangsung sampai sore hari, kemudian dilanjutkan kenduri di masing-masing rumah para nelayan kupang.

Pada malam hari, di sepanjang jalan dan tepian sungai Balongdowo, suasananya sangat ramai dipenuhi oleh masyarakat dan pedagang kaki lima, sehingga kedengaran hiruk pikuk dibarengi para remaja berjoget ria di atas perahu. Para pengunjung semakin malam semakin berdesak-desakan untuk menyaksikan pemberangkatan iring-iringan perahu menuju ke pesta Nyadran di selat Madura. Pemberangkatan bergantung pada keadaan air sungai. Sekitar pukul 02.00 dini hari saat air laut surut, iring-iringan perahu mulai diberangkatkan.

Perjalanan dimulai dari Bandar Balongdowo. Perjalanan ini melewati sungai desa Klurak, Kali Pecabean, Kedungpeluk dan Kepetingan. Ketika iring-iringan perahu sampai di muara Kali Pecabean, perahu yang ditumpangi anak balita membuang seekor ayam. Konon menurut cerita, dahulu ada orang yang mengikuti acara ritual Nyadran dengan membawa anak kecil tersebut mengalami kesurupan. Oleh karena itu, untuk menghindari hal tersebut terulang lagi, masyarakat Balongdowo mempercayai bahwa dengan membuang seekor ayam yang masih hidup ke Kali Pecabean, maka anak kecil yang mengikuti Nyadran akan terhindar dari malapetaka (kesurupan).

Sekitar pukul 04.30 pagi, peserta ritual Nyadran tiba di dusun Kepetingan. Rombongan peserta Nyadran langsung menuju makam Dewi Sekardadu untuk mengadakan makan bersama sambil menunggu fajar tiba. Peserta ritual Nyadran tersebut berziarah, bersedekah dan berdo’a di makam tersebut agar berkah terus mengalir. Sekitar pukul 07.00 WIB, mereka menuju selat Madura, sekitar 3 Km dari tempat tersebut. Dan sekitar pukul 10.00 WIB, iring-iringan perahu tersebut mulai meninggalkan selat Madura, kemudian mereka kembali ke desa Balongdowo.

Nyadran, yang merupakan upacara ritual selamatan Petik Laut ke makam Dewi Sekardadu yang dilakukan oleh masyarakat Balongdowo dan sudah ditradisikan dari masa ke masa. Dari sekian tahun, masyarakat tidak pernah meninggalkan upacara Nyadran. Karena mereka (masyarakat nelayan) menganggap jika tidak melakukan Nyadran, maka akan mengakibatkan kupangnya tidak berlimpah dan jika tidak dilakukan Nyadran, akan mendapat kritikan keras atau protes dari masyarakat nelayan yang sangat mempercayai ritual tersebut sebagai hal yang cukup keramat.

Namun bagaimanapun juga, upacara semacam ini hanyalah sekedar kegiatan adat yang boleh dilakukan atau ditinggalkan. Karena hukum adat adalah hukum sebagai kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi dan bersifat paksaan. Hukum adat ini, seperti halnya ritual Nyadran bisa mempunyai sanksi dan akibat hukum dikarenakan upacara ritual Nyadran sangat dipercayai oleh masyarakat nelayan Balongdowo dan mereka menganggap apabila tidak melakukan upacara tersebut, akan terjadi akibat hukum yakni hasil kupangnya tidak melimpah.

·  Tulisan ini disusun oleh Sdr. Anang Ma’ruf, S.HI, berdasar pada beberapa referensi, serta penuturan beberapa sesepuh dan tokoh masyarakat desa Balongdowo - Candi - Sidoarjo, melalui wawancara yang pernah dilakukannya pada tahun 2004 ketika masih berstatus mahasiswa Universitas Al-Khoziny Sidoarjo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar