Setiap bulan Februari, kita selalu menyaksikan media massa, pusat-pusat hiburan, serta beberapa fasilitas umum lainnya bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menghiasi tempat mereka dengan nuansa warna pink (merah muda). Bahkan tidak jarang yang dengan bangga menggelarpesta perayaan yang terkadang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine’s Day.
Bagi sebagian masyarakat, Valentine’s Day
merupakan peringatan “cinta kasih” yang sangat ditunggu-tunggu, sebagai moment
istimewa untuk menyatakan kasih sayangnya terhadap sang kekasih. Biasanya
mereka saling mengucapkan “Selamat Hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling
curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “hari kasih
sayang”.
Sebenarnya, hari yang dianggap “istimewa” bagi
para remaja ini adalah hari-hari biasa yang kemudian diformalkan untuk
mengenang sebuah peristiwa kematian seorang pendeta yang meninggal dalam sebuah
penjara yang kala itu bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari. Peristiwa ini yang
kemudian diabadikan oleh gereja lewat tangan Paus Gelasius. Maka merupakan
sebuah kurang cerdas jika kaum muslim, dan secara khusus kalangan remajanya ikut
melestarikan budaya yang sama sekali tidak memiliki ikatan historis, emosioal
dan religius dengan mereka. Keikut sertaan remaja muslim dalam huru-hura ini
merupakan refleksi kekalahan mereka dalam sebuah pertarungan mempertahankan
identitas dirinya.
Tidak jarang di antara para remaja itu
kemudian bertanya: Mengapa memperingati sebuah tragedi cinta itu tidak
diperbolehkan? Apakah Islam melarang cinta kasih? Bukankah Islam menganjurkan
umatnya untuk saling kasih sayang terhadap sesama?
Tak seorang pun yang menyangkal bahwa Islam
tidak melarang cinta kasih. Islam sendiri adalah agama kasih dan menjunjung
cinta pada sesama. Dalam Islam cinta demikian dihargai dan menempati posisi
sangat terhormat dan sakral. Islam sama sekali tidak phobi terhadap cinta. Islam
mengakui fenomena cinta yang tersembunyi dalam jiwa manusia, karena hal itu
merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Namun demikian Islam
tidak menjadikan cinta sebagai komoditas yang rendah dan murahan yang bisa
diobral melalui berbagai macam kegiatan yang menyimpang dari ajaran Islam itu
sendiri.
Cinta yang merupakan perasaan jiwa dan gejolak
hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihanya dengan penuh gairah,
lembut dan kasih sayang dalam Islam dibagi menjadi tiga tingkatan sebagaiman
yang telah disinggung dalam ayat Al-Quran: “Katakanlah: Jika bapak-bapakmu,
anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kerabat-kerabatmu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kami khawatirkan kerusakannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu senangi lebih kau cintai daripada Allah
dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah
mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada
orang-orang yang fasik.” (Q.S. At-Taubah: 24)
Sesuai dengan ajaran Al-Qur’an di atas, maka
sangat jelas bahwa cinta di dunia ini terbagi menjadi tiga tingkat. Cinta
tingkat pertama adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya
yang kemudian disebut sebagai cinta hakiki. Cinta tingkat kedua adalah cinta
kepada orang tua, isteri, kerabat, dan seterusnya. Sedangkan cinta tingkat
ketiga adalah cinta yang mengedepankan cinta harta, keluarga dan anak isteri
melebihi cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan Allah.
Cinta hakiki akan melahirkan cahaya (nur) iman.
Cinta hakiki yang dilahrikan iman akan senantiasa memberikan
kenikmatan-kenikmatan nurani. Cinta hakiki akan melahirkan jiwa rela berkorban
dan mampu menundukkan hawa nafsu. Cinta akan menjadi berbinar tatkala orang
yang memilikinya mampu menaklukkan segala gejolak dunia. Cinta Ilahi akan
menuntun manusia untuk hidup menjadi berarti dan menunjukkan jalan ke arah
kebahagiaan sejati.
Islam memandang cinta kasih itu sebagai
rahmat. Maka seorang mukmin tidak dianggap beriman sebelum dia berhasil
mencintai saudaranya sebagaimana dia mencinta dirinya sendiri. Perumpamaan
kasih sayang dan kelembutan seorang mukmin adalah bagaikan kesatuan tubuh; jika
salah satu anggota tubuh terasa sakit, maka akan merasakan pula tubuh yang
lainnya: tidak bisa tidur dan demam, sebagaimana yang pernah diriwayatkan
sebuah hadits (HR. Bukhari Muslim). Dalam Al-Qur’an pun disebutkan bahwa seorang
mukmin harus memiliki ikatan keimanan sehingga mereka menjadi laksana saudara
(Q.S. Al-Hujarat: 13).
Di mata Islam mencinta dan dicinta itu adalah sebuah
“risalah suci” yang harus ditumbuhsuburkan dalam dada setiap pemeluknya.
Makanya Islam menghalalkan perkawinan dan bahkan pada tingkat mewajibkan bagi
mereka yang mampu dan takut terjerumus dalam kemaksiatan. Islam tidak menganut
“selibasi” yang mengebiri fitrah manusia seperti yang terjadi pada beberapa
ajaran agama lain yang dikenal dengan kependetaan. Sebab memang tidak ada
rahbaniyah dalam Islam.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa cinta kasih
dalam Islam sangat dianjurkan, namun tidak terbatas pada hari-hari tertentu
saja. Kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun, cinta kasih harus tetap dijaga
untuk melestarikan fitrah manusia yang dihiasi dengan perasaan kasih dan sayang.
Valentine’s Day bukan merupakan bagian dari
agama Islam, karena ia sebenarnya hanya sekedar peringatan kematian seorang
pendeta. Apalagi, saat ini sering dirayakan dengan menonjolkan aksi-aksi
permisif yang jauh dari ajaran agama Islam. Peniruan pada perilaku agama lain
dan sekaligus melegalkan pergaulan non-Islami inilah yang tidak dibenarkan
dalam pandangan Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar