Sabtu, 05 Februari 2011

Islam, Valentine’s Day dan Cinta

Setiap bulan Februari, kita selalu menyaksikan media massa, pusat-pusat hiburan, serta beberapa fasilitas umum lainnya bersibuk-ria berlomba menarik perhatian para remaja dengan menghiasi tempat mereka dengan nuansa warna pink (merah muda). Bahkan tidak jarang yang dengan bangga menggelarpesta perayaan yang terkadang berlangsung hingga larut malam bahkan hingga dini hari. Semua pesta tersebut bermuara pada satu hal yaitu Valentine’s Day.

Bagi sebagian masyarakat, Valentine’s Day merupakan peringatan “cinta kasih” yang sangat ditunggu-tunggu, sebagai moment istimewa untuk menyatakan kasih sayangnya terhadap sang kekasih. Biasanya mereka saling mengucapkan “Selamat Hari Valentine”, berkirim kartu dan bunga, saling curhat, menyatakan sayang atau cinta karena anggapan saat itu adalah “hari kasih sayang”.

Sebenarnya, hari yang dianggap “istimewa” bagi para remaja ini adalah hari-hari biasa yang kemudian diformalkan untuk mengenang sebuah peristiwa kematian seorang pendeta yang meninggal dalam sebuah penjara yang kala itu bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari. Peristiwa ini yang kemudian diabadikan oleh gereja lewat tangan Paus Gelasius. Maka merupakan sebuah kurang cerdas jika kaum muslim, dan secara khusus kalangan remajanya ikut melestarikan budaya yang sama sekali tidak memiliki ikatan historis, emosioal dan religius dengan mereka. Keikut sertaan remaja muslim dalam huru-hura ini merupakan refleksi kekalahan mereka dalam sebuah pertarungan mempertahankan identitas dirinya.

Tidak jarang di antara para remaja itu kemudian bertanya: Mengapa memperingati sebuah tragedi cinta itu tidak diperbolehkan? Apakah Islam melarang cinta kasih? Bukankah Islam menganjurkan umatnya untuk saling kasih sayang terhadap sesama?

Tak seorang pun yang menyangkal bahwa Islam tidak melarang cinta kasih. Islam sendiri adalah agama kasih dan menjunjung cinta pada sesama. Dalam Islam cinta demikian dihargai dan menempati posisi sangat terhormat dan sakral. Islam sama sekali tidak phobi terhadap cinta. Islam mengakui fenomena cinta yang tersembunyi dalam jiwa manusia, karena hal itu merupakan fitrah yang diberikan Allah kepada manusia. Namun demikian Islam tidak menjadikan cinta sebagai komoditas yang rendah dan murahan yang bisa diobral melalui berbagai macam kegiatan yang menyimpang dari ajaran Islam itu sendiri.

Cinta yang merupakan perasaan jiwa dan gejolak hati yang mendorong seseorang untuk mencintai kekasihanya dengan penuh gairah, lembut dan kasih sayang dalam Islam dibagi menjadi tiga tingkatan sebagaiman yang telah disinggung dalam ayat Al-Quran: “Katakanlah: Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, isteri-isterimu, kerabat-kerabatmu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kami khawatirkan kerusakannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu senangi lebih kau cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta jihad di jalan-Nya, maka tunggulah hingga Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (Q.S. At-Taubah: 24)

Sesuai dengan ajaran Al-Qur’an di atas, maka sangat jelas bahwa cinta di dunia ini terbagi menjadi tiga tingkat. Cinta tingkat pertama adalah cinta kepada Allah, Rasul-Nya dan jihad di jalan-Nya yang kemudian disebut sebagai cinta hakiki. Cinta tingkat kedua adalah cinta kepada orang tua, isteri, kerabat, dan seterusnya. Sedangkan cinta tingkat ketiga adalah cinta yang mengedepankan cinta harta, keluarga dan anak isteri melebihi cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan Allah.

Cinta hakiki akan melahirkan cahaya (nur) iman. Cinta hakiki yang dilahrikan iman akan senantiasa memberikan kenikmatan-kenikmatan nurani. Cinta hakiki akan melahirkan jiwa rela berkorban dan mampu menundukkan hawa nafsu. Cinta akan menjadi berbinar tatkala orang yang memilikinya mampu menaklukkan segala gejolak dunia. Cinta Ilahi akan menuntun manusia untuk hidup menjadi berarti dan menunjukkan jalan ke arah kebahagiaan sejati.

Islam memandang cinta kasih itu sebagai rahmat. Maka seorang mukmin tidak dianggap beriman sebelum dia berhasil mencintai saudaranya sebagaimana dia mencinta dirinya sendiri. Perumpamaan kasih sayang dan kelembutan seorang mukmin adalah bagaikan kesatuan tubuh; jika salah satu anggota tubuh terasa sakit, maka akan merasakan pula tubuh yang lainnya: tidak bisa tidur dan demam, sebagaimana yang pernah diriwayatkan sebuah hadits (HR. Bukhari Muslim). Dalam Al-Qur’an pun disebutkan bahwa seorang mukmin harus memiliki ikatan keimanan sehingga mereka menjadi laksana saudara (Q.S. Al-Hujarat: 13).

Di mata Islam mencinta dan dicinta itu adalah sebuah “risalah suci” yang harus ditumbuhsuburkan dalam dada setiap pemeluknya. Makanya Islam menghalalkan perkawinan dan bahkan pada tingkat mewajibkan bagi mereka yang mampu dan takut terjerumus dalam kemaksiatan. Islam tidak menganut “selibasi” yang mengebiri fitrah manusia seperti yang terjadi pada beberapa ajaran agama lain yang dikenal dengan kependetaan. Sebab memang tidak ada rahbaniyah dalam Islam.

Jadi, kesimpulannya adalah bahwa cinta kasih dalam Islam sangat dianjurkan, namun tidak terbatas pada hari-hari tertentu saja. Kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun, cinta kasih harus tetap dijaga untuk melestarikan fitrah manusia yang dihiasi dengan perasaan kasih dan sayang.

Valentine’s Day bukan merupakan bagian dari agama Islam, karena ia sebenarnya hanya sekedar peringatan kematian seorang pendeta. Apalagi, saat ini sering dirayakan dengan menonjolkan aksi-aksi permisif yang jauh dari ajaran agama Islam. Peniruan pada perilaku agama lain dan sekaligus melegalkan pergaulan non-Islami inilah yang tidak dibenarkan dalam pandangan Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar