Jumat, 27 Januari 2012

Sayyid Quthb dan Gerakan Ikhwanul Muslimin

Ikhwanul Muslimin adalah gerakan Islam yang didirikan oleh Hasan al-Banna yang mana salah satu tujuannya adalah menegakkan kalimat Islam di belahan bumi ini. Gerakan ini sering dianggap sebagai gerakan Islam kanan berhaluan keras, sehingga kerap dianggap oleh pemerintah Mesir sebagai ancaman bagi kedaulatan negara. Gerakan ini pula yang pada akhirnya mengantarkan Sayyid Quthb ke tiang gantungan di akhir hayatnya sebagai hukuman atas tuduhan rencana kudeta yang dilontarkan oleh presiden Mesir kala itu, Jamal Abdul Naser.

Abdul Baqi Muhammad Husein dalam bukunya Min A’lam al-Harakah al-Islamiyah al-Mu’ashirah mengatakan suatu saat ketika Sayyid Quthb masih berada di Amerika, beliau heran melihat masyarakat Amerika bergembira karena meninggalnya Hasan al-Banna. Ketika ditanya sebab kegembiraan tersebut, mereka menjawab, “Bahaya laten bagi Barat dan Amerika telah terbunuh di Mesir, yaitu Hasan al-Banna, pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin.”

Sayyid Quthb takjub akan kebesaran nama Hasan al-Banna di Amerika. Padahal, beliau yang orang Mesir asli tidak begitu banyak tahu tentangnya. Setelah mempelajari karakteristik sang tokoh lebih jauh serta gerakan yang dipimpinnya, akhirnya Sayyid Quthb memutuskan untuk merubah haluan hidup dan bergabung dengan gerakan Ikhwanul Muslimin setelah selesai masa tugasnya di Amerika. Pada tahun 1953 beliau menjadi anggota resmi gerakan Ikhwanul Muslimin.

Dengan bekal semangat keislaman, ditambah pengetahuan baru yang didapat dari Amerika menjadikan Sayyid Quthb mencapai masa keemasannya di bidang sastra. Melalui majalah Ikhwanul Muslimin beliau banyak menulis karya dengan aliran baru yang diyakininya, terlepas dari aliran Abbas Mahmud al-Aqqad. Kritik-kritik sastranya yang terkenal dengan istilah Nazhariyah al-Suwar wa al-Zhilal, yang tergolong fenomena baru di dunia sastra. Bukan itu saja, sejak tahun 1947 berbagai buku yang sarat dengan nilai Islam lahir dari sentuhan penanya. Puncaknya beliau berhasil menciptakan tafsir “Fi Zhilal al-Qur’an” sebagai karya monumental di bidang tafsir.

Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an pada awalnya adalah makalah-makalah yang ditulis oleh Sayyid Quthb di majalah al-Muslimun ketika dipegang oleh Sayyid Ramadhan al-Buthi pada akhir tahun 1951. Hanya berselang selama tujuh edisi kemudian beliau memutuskan untuk menerbitkannya dalam sebuah buku. Jilid pertama berhasil diterbitkan pada tahun 1952, kemudian setelah itu berturut-turut beberapa jilid sesudahnya sampai lengkap berjumlah enam jilid. Opini yang selama ini beredar bahwa Sayyid Quthb menulis tafsirnya tanpa referensi. Namun setelah diteliti, sejatinya beliau memakai beberapa referensi dalam penulisannya sekalipun ketika itu beliau dipenjara.

Sejak bergabung dengan Ikhwanul Muslimin, karya-karyanya menitikberatkan ke dalam beberapa hal;
Pertama; kebutuhan manusia akan akidah islami yang murni yang langsung bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Beliau mengajak masyarakat memahami akidah secara universal tanpa ada batasan-batasan geografis yang melingkupinya. Sayyid Quthb meyakini dengan berpegang kepada akidah yang murni maka setiap muslim akan mampu menghadapi problematika hidup, ia akan selamat di dunia dan bahagia di akhirat. Dalam tafsir Fi Zhilal al-Qur’an beliau menjelaskan, “Sesungguhnya tugas kita bukan untuk menghukumi manusia ini kafir dan ini mu’min. Tetapi tugas kita adalah mengenalkan hakekat kalimat laa ilaha illa Allah (tiada Tuhan selain Allah). Karena manusia tidak mengetahui konsekwensi dasar kalimat tersebut yaitu menerapkan hukum Islam dalam seluruh dimesi kehidupan.”

Kedua; langkah yang harus ditempuh untuk membuat masyarakat muslim sebagaimana masyarakat yang telah dibentuk oleh Rasulullah Saw di Madinah. Hal ini terlihat dari beberapa karya beliau, seperti Nahwa Mujtama’ al-Islami (Menuju Masyarakat yang Islami), al-‘Adalah al-Ijtima’iyah fi al-Islam (Keadilan Sosial dalam Islam), dll.

Ketiga; keuntungan yang didapat oleh manusia bila menjadikan Islam sebagai manhaj hidup. Hal ini dituangkan balam buku-buku beliau, seperti al-Islam wal Musykilah al-Hadharah (Islam dan Problematika Kebudayaan), al-Salam al-‘Alami wal Islam (Islam dan Perdamaian Dunia), dll.

Pada tahun 1954 Sayyid Quthb bersama ribuan anggota gerakan Ikhwanul Muslimin ditangkap pemerintah Mesir dengan tuduhan rencana pembunuhan terhadap presiden Mesir waktu itu, Jamal Abdul Naser. Kejadian ini terkenal dengan sebutan peristiwa Mansyiyah. Padahal waktu itu Sayyid Quthb adalah termasuk dalam jajaran penasehat Jamal Abdul Naser.

Melalui keputusan sidang militer, Sayyid Quthb dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara. Sementara ada beberapa anggota Ikhwanul Muslimin lainnya yang dijatuhi hukuman mati, termasuk Hasan al-Hudhaibi, salah satu tokoh dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Selama dalam penjara, aktifitas menulisnya tidak pernah berhenti. Banyak buku yang dihasilkannya selama di penjara, termasuk merampungkan tafsir Fi Zhilal al-Qur’an.

Pada tahun 1964 Sayyid Quthb menerbitkan bukunya Ma’alim fi al-Thoriq setelah keluar dari penjara. Buku ini merupakan hasil renungan Sayyid Quthb selama di penjara. Bagi orang yang membacanya hanya sekilas, buku ini terkesan sangat radikal, namun sebenarnya tidak demikian yang dimaksudkan oleh Sayyid Quthb. Beliau hanya mengkritisi aturan-aturan selain aturan Allah Swt yang berlaku di masyarakat sebagai aturan jahiliyah. Ketika buku ini dibaca oleh Abul A’la al-Maududi, ia berkomentar seolah-olah ia yang mengarang buku tersebut. Struktur ide yang ada dalam buku Ma’alim fi al-Thoriq menurut al-Maududi sejalan dengan ide yang dikembangkannya selama ini.

Pada tahun 1965 turun perintah dari Jamal Abdul Naser yang sedang berada di Moskow, Rusia untuk menangkap Sayyid Quthb. Setelah menjalani pemeriksaan selama tiga hari Sayyid Quthb dijatuhi hukuman mati karena bergabung dengan Ikhwanul Muslimin yang dituduh merencanakan kudeta. Pada pagi dini hari tanggal 29 Agustus 1966 Sayyid Quthb meninggal di tiang gantungan.

Penutup
Membaca perjalanan hidup Sayyid Quthb ibarat mengulang kembali perjuangan Nabi Ibrahim melawan raja zhalim Namrudz. Sebagaimana Nabi Ibrahim, Sayyid Quthb berjuang untuk menemukan prinsip hidup yang benar dan ternyata hal itu beliau dapatkan dalam gerakan Ikhwanul Muslimin. Bahkan beliau rela mati demi mempertahankan prinsip tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar