Manusia diciptakan oleh Allah Swt., sebagai makhluk yang paling sempurna di
muka bumi ini. Begitu pula ia diturunkan sebagai khalifah-Nya yang dibebani
untuk memelihara, membangun dan memanfaatkan bumi dengan sebaik-baiknya. Manusia juga
diciptakan sebagai makhluk yang bersifat plural dengan berbagai perbedaan
antara yang satu dengan lainnya. Dimulai dari perbedaan watak, pemikiran,
bahasa hingga perbedaan suku dan bangsa.
Meskipun demikian, semua manusia di mata Allah adalah sama, tak ada perbedaan antara seseorang dengan yang lainnya kecuali pada ketakwaannya. Hal ini seperti yang disinyalir al-Qur’an, “Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Nabi pun pernah bersabda bahwa, manusia itu bagaikan gigi sisir yang rata. Semua manusia adalah sama tidak ada perbedaan antara bangsa Arab dengan non-Arab, atau yang lainnya. Namun penganut Yahudi beropini lain. Mereka berpendapat bahwa merekalah bangsa yang terbaik di sisi Tuhan. Kemudian mereka mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Tuhan (The chosen people).
Setelah terjadi pendistorsian terhadap Taurat, maka rasialisme adalah unsur utama pokok pemikiran ajaran Yahudi. Dari sini kita dapatkan gambaran yang aneh dari para hakhâm, pemuka agama Yahudi tentang konsep harkat dan martabat manusia. Balance tinggi rendahnya derajat manusia—menurut mereka—adalah tergantung pada relasinya seseorang dengan agama Yahudi, bukan amal dan ketakwaan seperti yang telah disinyalir oleh al-Qur’an dan Hadis di atas.
Pemikiran teologi kaum Yahudi ‘agak’ berbeda dengan pemikiran teologi agama samawi lainnya. Mereka berkeyakinan bahwa, agama bisa berubah sesuai dengan maslahat mereka. Sebagai dampaknya, Yahudi yang ada sekarang ini berbeda dengan Yahudi zaman dahulu ketika di bawah pimpinan Nabi Musa, Daud ataupun Sulaiman.
Keyakinan “bangsa pilihan” yang didengungkan Yahudi ini, juga didukung penuh oleh teori Charles Darwin yang menjadikan penganut Yahudi sebagai satu ras tertinggi dalam sejarah derajat manusia. Darwin, membagai manusia menjadi lima belas bagian. Bagian terendah ditempati oleh bangsa kulit hitam Afrika, sedangkan bagian tertinggi ditempati bangsa kulit putih Eropa. Namun menurut Darwin, di atas lima belas kelompok tersebut, masih ada satu kelompok bangsa lagi yang dikatakan sebagai manusia super, mereka adalah bangsa Yahudi.
Tidak sedikit yang berpendapat bahwa Yahudi adalah ras, mengingat banyak tulisan yang membenarkan pendapat itu. Tetapi tesis ini membawa sebuah ironi yang tidak akan terlupakan bagi umat Yahudi. Ketika Jerman di bawah rezim Nazi yang dipimpin oleh Adolf Hitler, melakukan eksterminasi besar-besaran terhadap orang-orang Yahudi dengan alasan bahwa mereka adalah ras yang hina. Menurut catatan Holocaust, sekitar enam juta orang Yahudi, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak mati terbunuh di kamp-kamp Konsentrasi Jerman dan Polandia selama perang dunia kedua.
Namun yang perlu digarisbawahi di sini bahwa, Yahudi sejatinya bukanlah suatu ras, ia hanya sekadar aliran agama yang terdistorsi dan dianut oleh beberapa ras yang ada di dunia ini. Pada zaman Nabi Musa, ajaran Yahudi masih murni berasal dari wahyu ilahi. Namun setelah beberapa abad, khususnya setelah masa penawanan Bani Israil oleh Nebukhad Nezzar, raja Babilonia, banyak terjadi pendistorsian terhadap kitab dan ajaran Yahudi. Bahkan kitab suci mereka yang berisikan al-washâyâ al-‘asyar (sepuluh wasiat Nabi Musa yang merupakan inti ajaran Yahudi) pun dikabarkan lenyap akibat penyerbuan kerajaan Babilonia tersebut terhadap kota-kota Yahudi.
*****
Dengan merujuk pada beberapa teks agama dan
sejarah kuno Yahudi (Bani Israil), dengan bangga kaum Yahudi memproklamirkan
diri sebagai bangsa pilihan Tuhan (sya‘bullâh al-mukhtâr). Memang, jika
kita flash back kepada awal perkembangan Bani Israil dan syariat Musa,
terutama ketika keluarnya Bani Israil dari tanah Mesir, kita temukan
seakan-akan Allah memanjakan mereka dengan mengabulkan semua permintaan mereka.
Anehnya, mayoritas ahli sejarah—terutama non-muslim—mengamini kebenaran tesis bahwa, Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan, lebih khususnya Bani Israil. Mereka selalu menutup mata tentang sejarah Bani Israil ketika hendak memasuki tanah Palestina. Di sini Bani Israil melakukan kekufuran yang tak pantas dilakukan oleh hamba Allah yang mengaku sebagai bangsa pilihan. Mereka kembali kepada paganisme dan meninggalkan Allah.
Awal legenda bangsa pilihan ini kembali kepada cerita yang terdapat dalam kitab Perjanjian Lama (PL), yang menceritakan tentang terkutuknya anak cucu Kan’an (cucu Nabi Nuh a.s.). Kaum Yahudi menganggap diri mereka adalah keturunan Sem (al-jinsu al-sâmi), sedangkan mayoritas penduduk bumi—termasuk bangsa Arab—adalah keturunan Kan’an. Dalam PL disebutkan, “Nuh menjadi petani; dialah yang mula-mula membuat kebun anggur. Setelah ia minum anggur, mabuklah ia dan ia telanjang dalam kemahnya. Maka Ham, bapak Kan’an itu, melihat aurat ayahnya, lalu diceritakannya kepada kedua saudaranya di luar. Sesudah itu Sem dan Yafeth mengambil sehelai kain dan membentangkannya pada bahu mereka berdua, lalu mereka berjalan mundur; mereka menutupi aurat ayahnya sambil berpaling muka, sehingga mereka tidak melihat aurat ayahnya. Setelah Nuh sadar dari mabuknya dan mendengar apa yang dilakukan anak bungsunya kepadanya, berkatalah ia: “Terkutuklah Kan’an, hendaklah ia menjadi hamba yang paling hina bagi saudara-saudaranya.” Lagi katanya: “Terpujilah Tuhan, Allah Sem, tetapi hendaklah Kan’an menjadi hamba baginya. Allah meluaskan kiranya tempat kediaman Yafeth, dan hendaklah ia tinggal dalam kemah-kemah Sem, tetapi hendaklah Kan’an menjadi hamba baginya.”
Terlepas dari terdistorsi atau tidaknya teks di atas, di sini muncul pertanyaan. Dalam teks di atas disebutkan, yang melihat aurat Nabi Nuh adalah Ham, lalu mengapa yang dikutuk adalah Kan’an? Meskipun Kan’an adalah anak Ham, namun anak Ham bukan hanya Kan’an, dalam arti Kan’an bukanlah satu-satunya anak Ham, karena ia mempunyai empat orang anak, dan Kan’an adalah anak yang terakhir.
Dr. Muhammad al-Huseini Ismâ‘îl menjawab pertanyaan ini dengan mudah. Ia mengatakan bahwa dalam PL disebutkan Nabi Nuh mengutuk Kan’an hanya karena Kan’an adalah nenek moyang bangsa Kan’an, dan keturunan Kan’an sekarang menghuni di berbagai penjuru bumi, termasuk bangsa Arab. Kemudian dengan dalih ini, Yahudi ingin menguasai tanah mereka. Oleh karena itu, Nabi Nuh tidak mengutuk semua anak Ham, tidak pula mengutuk Ham sendiri. Meski demikian, hal ini berarti bahwa Nabi Nuh telah mengutuk tidak sedikit dari penduduk bumi, hanya karena anaknya tanpa sengaja melihat auratnya. Di sini muncul pertanyaan lagi. Apakah manusia—meskipun dia seorang Nabi—mempunyai hak untuk mengutuk manusia sesamanya, apalagi hanya sekadar karena melihat aurat tanpa sengaja. Dan yang melihat aurat Nabi Nuh adalah Ham, bukan Kan’an. Lantas, apa dosa Kan’an? Jelas, ini adalah pemikiran manusia yang hanya bersandar pada khurafat. Dalam PL disebutkan, “Jiwa yang bersalah ia akan mati, seorang anak tidak membawa dosa bapaknya, dan seorang bapak tidak membawa dosa anaknya.”
Dari cerita di atas, dapat kita tarik dua kesimpulan; pertama, jelas terdapat gambaran tentang kepalsuan kitab suci mereka, karena bagaimana mungkin seorang Nabi utusan Allah mengutuk orang yang tak berdosa. Kedua, cerita terkutuknya Kan’an mengandung unsur politis, yakni kaum Yahudi ingin menguasai tanah yang mereka katakan sebagai tanah perjanjian yang terletak antara sungai Nil dan Furat.
*****
Setiap agama yang ada di bumi ini, selalu
mengagungkan ‘bangsanya’ dengan dalih bahwa, Tuhan yang dipercayai dalam agama
tersebut telah memilih mereka sebagai umat terbaik di dunia. Hal ini wajar,
karena semua pengikut agama tertentu mengaku bahwa agama yang diikutilah yang
paling benar. Sebenarnya bukan kaum Yahudi saja yang mengaku sebagai bangsa
pilihan Tuhan, bahkan kaum Indian Amerika yang menganut paham paganisme pun
mengaku demikian.
Namun dalam pandangan Islam —begitu pula sebenarnya menurut pandangan ajaran Alkitab—, Tuhan tidak mengkhususkan suatu bangsa ataupun ras untuk dijadikan pilihannya sebagai umat terbaik, melainkan memilih pribadi manusia itu sendiri dengan beberapa persyaratan yang ditentukan melalui kitab-Nya. Dan persyaratan tersebut tercermin dalam amalan manusia yang berhubungan dengan makna iman, amal shaleh, dan semua amalan yang diridhai Tuhan. Jika persyaratan ini dipenuhi oleh seorang hamba, maka ia termasuk dalam kategori ‘bangsa pilihan’, tanpa memandang dari bangsa atau ras mana ia berasal. Oleh karena itu, sebagian ulama berpendapat bahwa, al-sya‘b al-mukhtâr lebih tepat jika ditujukan kepada umat Islam. Dan hal ini sudah tersinyalir dalam al-Qur’an, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.”
Dalam Alkitab pun disebutkan bahwa, untuk mencapai martabat sya‘bullâhi al-mukhtâr, diperlukan beberapa persyaratan, di antaranya harus konsisten dengan syariat Musa a.s., yang termaktub dalam sepuluh wasiatnya (al-washâyâ al-‘asyar). Juga melakukan khitan sebagaimana yang disyariatkan Allah, begitu pula harus selalu bertasbih dan ingat kepada Allah. Intinya, tidak boleh keluar dari syariah Tuhan yang diturunkan melalui nabi Musa a.s. Namun kaum Yahudi (Bani Israil) malah berpaling dari Allah, dan menyembah berhala. Ini artinya, mereka menolak tawaran Allah untuk menjadi kaum pilihan.
*****
Dalam perjalanan sejarahnya, kaum Yahudi selalu
menjadi fenomena kontroversial. Sejarah tentang kaum Yahudi, atau tepatnya
sejarah tentang Bani Israil, adalah sejarah tentang kesombongan, keras kepala,
pemberontakan, provokasi, anarkis, monopoli. Seandainya kita melihat sejarah
Yahudi sebagai kesadaran sejarah pragmatis maka kita hanya menemukan sejarah
itu dalam arsip, dokumen, buku dan lainnya yang tidak hidup. Namun jika kita
mencoba melihatnya sebagai kesadaran sejarah filosofis, maka tentunya kita akan
menemukan nilai-nilai abadi di tubuh mereka. Karena memang semua itu dalam
skenario Tuhan yang tidak mungkin didekati dengan akal dan nalar. Barangkali
yang bisa kita lakukan adalah penyadaran secara total tentang makna penciptaan
dan tujuan penciptaan. Wallâhu a‘lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar