Kamis, 07 Maret 2013

Euthanasia dalam Perspektif Islam

Tak dapat disangkal lagi, bahwa manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, manusia mempunyai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Ia diciptakan dengan ‘tangan Tuhan’ sendiri tanpa perantara, ditiupkan dari ruh-Nya. Malaikat pun diperintahkan untuk sujud kepadanya, bahkan hanya untuknyalah diciptakan semua yang ada di dunia ini agar manusia –sebagai khalifah Tuhan– mampu mencapai kesempurnaan materi dan spiritual demi kemakmuran bumi.

Namun agaknya mustahil bagi manusia untuk merealisasikan semua tujuannya jika tidak memanfaatkan hak-haknya secara sempurna. Karena hak-hak itulah yang memberi kesempatan bagi manusia untuk berbuat. Di antara hak-hak tersebut adalah hak untuk hidup, dan ini adalah hak yang paling asasi bagi manusia. Oleh karena itu, dalam agama-agama samawi, disyariatkan qishash sebagai hukuman bagi siapa saja yang merampas hak tersebut. (Q.S. al-Baqarah; 178)

Namun akhir-akhir ini ada permasalahan pelik yang menyangkut hak paling asasi tersebut, lebih khususnya bagi mereka yang sedang sakit yang mana tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Yaitu dengan munculnya sebuah taktik baru untuk menyelesaikan penderitaan si sakit dengan cara membunuh secara perlahan atau yang biasa disebut dengan euthanasia (qatlu al-rahmah).

Mula-mula, istilah membunuh secara perlahan ini muncul di kalangan para dokter Barat, khususnya di Perancis. Oleh karena itu, muncullah istilah euthanasia dalam ilmu kedokteran. Namun di mata masyarakat Barat, makna yang terkandung dalam istilah ini masih terlalu kelihatan abstrak. Sehingga dalam perjalanan zaman makna istilah ini selalu berubah di kalangan mereka dari merawat orang sakit dan menjaga dari kematian hingga sampai pada makna yang cukup kontradiksi dengan makna pertamanya, yaitu membunuh sang pasien untuk menyelesaikannya dari penderitaan.

Menurut Dr. Yusuf Qardhâwi, pengertian qatlu al-rahmah atau taysîr al-maut adalah suatu tindakan untuk memudahkan kematian seseorang dengan sengaja dan tanpa merasakan sakit, dikarenakan kasih sayang, dengan tujuan meringankan penderitaan si pasien, baik dengan cara positif maupun negatif.

Islam datang sebagai agama yang menghormati hak-hak manusia, maka Islam tidak mengabaikan hak manusia walau sekecil apapun. Tentunya ini karena ta‘âlîm Islam bukan terlahir dari akal manusia semata, namun dari sang khaliq yang mengetahui keadaan hambanya kapan dan di manapun mereka hidup. Dalam bukunya “al-Thibb al-Islâmy”, Dr. Ahmad Taha mengatakan bahwa Islam tidak mengakui pembunuhan dengan segala bentuknya meskipun dengan dalih kasihan, baik kasihan terhadap pasien maupun kasihan terhadap keluarganya. Karena syariah melarang manusia meskipun hanya mengharap kematian, sebab hal ini adalah merupakan salah satu dari bentuk kufur nikmat.

Menurut Islam, membunuh atau mempercepat kematian adalah bukan satu-satunya solusi untuk menghilangkan beban sakit seseorang. Agama, meskipun tidak mewajibkan untuk berobat, namun menganjurkan sabar dalam menghadapi sakit.
Sedangkan Dr. Yusuf Qardhâwi dalam memandang permasalahan ini, beliau melihatnya secara mendetail dan menilik kronologinya, agar lebih pas dalam menghukuminya. Beliau membagi euthanasia menjadi dua; euthanasia positif dan euthanasia negatif. Yang dimaksud euthanasia positif ialah tindakan memudahkan kematian si sakit karena kasih sayang yang dilakukan oleh dokter dengan menggunakan instrumen, misalnya seseorang menderita kanker ganas yang sakitnya luar biasa, dan dokter yakin bahwa yang bersangkutan akan mati. Kemudian dokter memberinya obat overdosis untuk menghilangkan rasa sakitnya sekaligus menghentikan pernafasannya.

Sedangkan dalam euthanasia yang kedua, euthanasia negatif, tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan sebagaimana mestinya untuk memperpanjang hayatnya. Misalnya orang sakit yang sudah dalam keadaan koma disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh, dan jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan mempercepat kematiannya.

Menurut Qardhâwi, memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia positif) seperti pada contoh di atas tidak diperkenankan olah syara’. Sebab, yang demikian itu berarti dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis. Maka dalam hal ini dokter telah melakukan pembunuhan dengan sengaja dan termasuk dosa besar. Perbuatan demikian itu tidak dapat lepas dari kategori pembunuhan meskipun didorong oleh rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan penderitaannya. Karena bagaimanapun juga, dokter tidaklah lebih pengasih dan penyayang daripada Dzat yang menciptakannya. Karena itu, serahkanlah urusan tersebut kepada-Nya, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan Dia pula yang mengambilnya kembali jika tiba ajal yang telah ditetapkan.

Adapun euthanasia negatif (pasif) menurut Qardhawi, berkisar pada ‘menghentikan pengobatan’ atau tidak memberikan pengobatan. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah dan hukum sebab-akibat.

Jumhur fuqaha mengatakan, bahwa berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya. Bahkan menurut mereka, hukum berobat hanya mubah, dan sebagian ulama yang lain menganggapnya mustahab (sunnah). Jika demikian, tindakan pasif ini adalah jâ’iz (boleh) dan dibenarkan syara’ dengan syarat keluarga penderita mengizinkannya. Maka, memudahkan proses kematian semacam ini tidak seyogyanya diembel-embeli dengan istilah qatlu al-rahmah (membunuh karena kasih sayang), karena dalam kasus ini tidak ada tindakan aktif dari dokter. Tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang tidak dianggap wajib, sehingga tidak ada sanksi baginya.

Pada bulan Januari 1981, para dokter yang tergolong dalam Ikatan Dokter Muslim berkumpul di Kuwait dalam sebuah konferensi internasional tentang kedokteran Islam. Konferensi tersebut telah menghasilkan sebuah undang-undang yang mengatur tentang profesi kedokteran menurut Islam. Di bab ketujuh dalam undang-undang tersebut disebutkan beberapa point yang menerangkan profesi kedokteran dalam Islam, di antaranya:

• Diharamkan bagi dokter menghabisi nyawa pasien meskipun dengan dalih kasih sayang, karena hal ini di luar nash-nash yang mewajibkan seseorang untuk membunuh.
• Diharamkan menghilangkan nyawa manusia kecuali dalam momen-momen yang diperbolehkan oleh syara’ –misalnya dalam hudud atau membunuh orang kafir dalam perang–, dan ini jelas di luar bidang profesi kedokteran.
• Membunuh dengan dalih kasih sayang tidak memiliki dasar yang kuat, kecuali dari logika atheisme yang hanya menjadikan dunia sebagai akhir kehidupan mereka dan tidak mempercayai adanya kehidupan akhirat.
• Nyawa manusia adalah merupakan jauhar suci yang terhormat. Kewajiban menjaga nyawa ini dimulai dari sejak manusia masih berbentuk embrio. Oleh karena itu, diharamkan praktek aborsi kecuali dalam keadaan yang amat sangat darurat.
• Jika sang pasien bertanya kepada dokter tentang penyakit yang dideritanya, maka dokter harus mengatakan terus terang kepadanya.

Meskipun hasil konferensi ini bukan merupakan konsensus ulama yang sifatnya lâzim (mengikat), namun kiranya kita bisa mengambilnya sebagai pertimbangan dalam menentukan suatu hukum. Wallâhu a‘lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar