Selasa, 24 November 2009

Perbedaan Pendapat dalam Islam

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk Allah yang paling sempurna. Dihiasi berbagai macam watak, tabi’at, kemahiran sampai pola pikir yang berbeda. Setiap manusia mempunyai kepribadian khusus dalam menjalani dan menentukan gaya hidupnya untuk maju ke depan. Karena kemajemukannya ini, Allah memerintahkan manusia untuk bersatu tidak bercerai berai seperti dalam firmannya, “Dan berpegang teguhlah kalian pada tali agama Allah, dan janganlah kalian bercerai berai.” Namun dengan demikian, kita tidak menyangkal bahwa perbedaan dan perceraian di antara manusia pasti akan terjadi. Karena sikap pro dan kontra adalah merupakan fitrah manusia sebagai makhluk yang bersifat plural.

Setelah Islam menyebar ke berbagai belahan dunia, maka masyarakat sedikit demi sedikit –melalui da’i-da’i– mulai memahami apa itu sebenarnya Islam. Dari perbedaan letak geografis inilah muncul berbagai macam persoalan baru tentang masalah agama yang mungkin belum terjadi sebelumnya. Maka dari sinilah timbul rasa ingin keluar dan menjari solusi dari permasalahan yang ada.

Kewajiban untuk berijtihad
Islam adalah agama universal, agama yang bisa mengitkui perkembangan zaman, agama yang bisa memberikan solusi dalam setiap permasalahan yang menimpa umatnya dan tidak bersifat temporal. Allah Swt telah menyempurnakan agama ini dan memberikan dua pegangan khusus yang jika kita berpegang teguh kepadanya kita tidak akan tersesat selamanya, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah (segala perbuatan, perkataan dan ketetapan Nabi). Keduanya adalah referensi utama umat Islam dalam menghadapi problematika yang muncul di setiap zaman.

Namun bukan berarti bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah mempunyai nash (teks) khusus untuk menyelesaikan semua permasalahan yang ada dari zaman dahulu hingga hari akhir nanti. Tetapi al-Qur’an dan as-Sunnah datang dengan nash-nash global sehingga untuk mencari solusi dari masalah furu’ (cabang) diperlukan sebuah riset khusus yang oleh ulama biasa disebut dengan ijtihad. Hasil dari sebuah ijtihad, seseorang bisa menjadikannya sebagai solusi. Tapi ironisnya, tidak semua mujtahid (orang yang berijtihad) mengeluarkan hukum yang sama meskipun yang dibahas adalah persoalan yang sama. Maka seorang mujtahid di daerah A berbeda pendapat dengan mujtahid yang ada di daerah B. Semua mengetengahkan dalil-dalil yang dianggap sesuai dan menguatkan pendapatnya.

Perbedaan pendapat bukan muncul dan berkembang setelah wafatnya Rasulullah, bahkan ketika beliau masih hidup, telah terjadi diantara para sahabat. Mereka berusaha sebisa mungkin untuk tidak saling berbeda pendapat. Namun seperti yang telah kita katakan, ikhtilaf (perbedaan) adalah bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Hanya waktu itu suasana kenabian masih menyelimuti semua sektor kehidupan mereka, Nabi pun masih hidup. Sehingga setiap ada perbedaan pendapat, secepat mungkin mereka mengembalikannya ke kitab Allah dan Rasul-Nya. Disamping itu Rasulullah sebagai penengah dan penunjuk jalan bagi mereka, langsung memberikan jalan keluar tanpa menunggu sampai terjadinya perdebatan dan perpecahan.

Setelah wafatnya Rasulullah Saw, perbedaan di antara sahabat tentang permasalahan agama muncul bagai jamur di musim hujan, begitu pula di masa tabi’in, tabi’it tabiin dan seterusnya. Ketika dunia Islam mulai berkembang seiring dengan perkembangan zaman, berkembang pula problematika umat Islam karena muncul permasalahan-permasalahan baru. Tentunya semua itu memerlukan solusi yang tepat untuk mengatasinya. Sudah tidak dapat disangkal lagi ijtihadlah solusi utamanya. Dalam syariat Islam hukum ijtihad adalah fardhu kifayah, dengan arti bahwa dalam setiap komunitas masyarakat Islam harus ada minimal seorang yang mampu melakukan ijtihad. Sehingga umat Islam bisa berjalan seiring dengan perkembangan zaman tanpa harus keluar dari ajaran agamanya.

Hikmah perbedaan
Seperti yang telah kita katakan bahwa ijtihad adalah masyru’ (disyariatkan) dan perbedaan adalah merupakan suatu kelaziman. Dari banyaknya mujtahid dikalangan masyarakat Islam, maka banyak pula anggapan pendapat yang paling benar dalam satu permasalahan. Tetapi perlu diketahui, mayoritas ulama berpendapat bahwa kebenaran hanyalah satu. Lantas, bagaimana yang lainnya...?

Dalam sebuah hadits disebutkan yang artinya jika seorang hakim berijtihad untuk menghukum sesuatu kemudian dia benar, maka dapat dua pahala. Tetapi jika dia salah, maka dapat satu pahala. Dari hadits tersebut, dapat kita pahami bahwa seorang mujtahid jika ijtihadnya salah, maka tetap dihormati selama dia telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh ulama untuk menjadi seorang mujtahid dan dia diperbolehkan untuk melaksanakan apa yang diyakininya benar. Begitu pula orang lain, diperbolehkan untuk mengikuti pendapat tersebut.

Nah, di sini kita temukan semacam toleransi dari Allah kepada hambanya selama sang hamba mau berusaha. Inilah yang dimaksud dengan rahmat seperti yang disinyalir dalam hadits Nabi “Perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat”. Seperti yang dikatakan sebagian ulama, makna rahmat yang terkandung dalam hadits bukanlah semua pendapat yang dikatakan para mujtahid –meskipun berbeda-beda dalam satu masalah– adalah benar. Tetapi yang benar hanyalah satu, namun yang lainnya bisa diterima dan berpahala jika kita laksanakan. Dan yang sangat perlu ditekankan di sini, bukan semua permasalahan agama bisa menerima perbedaan pendapat. Karena yang boleh berbeda hanyalah masalah furu’iyah (cabang-cabang ibadah). Sedangkan masalah yang menyangkut akidah (al-ashl), tidak ada toleransi perbedaan di dalamnya. Karena perbedaan masalah akidah akan menimbulkan kemusyrikan, dan ini yang dilarang oleh agama.

Sebab-sebab perbedaan pendapat
“Jika ada asap, tentu ada apinya.” Begitulah kata orang-orang bijak yang mereka artikan bahwa jika ada akibat, tentu ada sebabnya. Begitu pulalah yang terjadi pada pembicaraan kita kali ini. Sangat tidak mungkin rasanya para ulama’ yang dijuluki sebagai pewaris para Nabi berbeda pendapat begitu saja tanpa ada suatu hal serius yang menyebabkannya. Dapat kita simpulkan sebab-sebab perbedaan pendapat di antara ulama’ adalah sebagai berikut :

1. Perbedaan bacaan teks al-Al-Qur’an (qiro’at)
Setelah tentara Islam melakukan ekspansi sehingga Islam menyebar dan dianut di berbagai negeri yang dahulunya bukan Arab, maka terjadilah pembauran antara Arab dan ‘ajam (non-Arab). Begitu pula ulama’nya disebar ke seluruh pelosok negara Islam untuk mengajarkan hakekat syari’at Islam kepada masyarakat yang baru masuk Islam. Seiring dengan berputarnya sang waktu, terjadilah sedikit demi sedikit perbedaan bacaan ayat al-Qur’an dari tempat ke tempat yang lain. Hal ini sangat fatal akibatnya, yaitu merubah hukum yang terkandung dalam al-Qur’an. Sebagai contoh, membasuh kaki ketika berwudlu. Ulama’ berbeda pendapat antara membasuh dan mengusap.

2. Pengetahuan terhadap hadits.
Para sahabat Nabi semua tidak sama dalam memperoleh atau mendengar apa yang dikatakan Nabi Saw. Tidak sedikit di antara mereka yang hanya mendengarkan satu dua hadits saja seumur hidupnya. Ada juga sebaliknya yang mendengarkan sampai beribu-ribu hadits. Yang demikian ini menyebabkan perbedaan pendapat di antara sahabat. Seperti yang terjadi pada Abu Hurairah r.a. beliau mengatakan bahwa siapa yang sampai pagi masih junub, maka tidak boleh berpuasa. Beliau tidak tahu ternyata ada hadits Nabi yang membolehkan hal tersebut.

3. Perbedaan dalam pemahaman nash dan penafsirannya.
Tidak jarang pandangan ulama’ terhadap arti sebuah nash baik dari al-Qur’an maupun hadits saling berbeda. Hal ini merupakan perkara yang wajar, karena taraf kejeniusan ulama’ tidaklah sama. Faktor kefasihan dan pemahaman terhadap bahasa juga sangat mempengaruhi berbedanya pendapat di antara ulama’. Hal ini dapat kita lihat pada perbedaan hukum zakat harta dari dua pemilik yang sudah mencapai nishob.

4. Satu kata mempunyai lebih dari satu makna (isytirok al-lafzh)
Telah terbukti bahwa bahasa Arab adalah bahasa yang mempunyai kosakata paling banyak dibanding dengan bahasa-bahasa lainnya. Meskipun demikian, ada juga dalam bahasa Arab satu kata yang mengandung beberapa arti. Hal ini tidak sedikit kita temui dalam al-Qur’an, sehingga menimbulkan perbedaan di antara ulama’-ulama’ salaf. Sebagai contoh, masalah masa iddah wanita yang dicerai suaminya apabila masih berhaid.

5. Kontradiksi antar dalil.
Sebenarnya, mustahil terjadi kontradiksi antar dalil. Karena semua dalil berasal dari satu sumber yaitu Allah Swt, baik dalil di al-Qur’an maupun hadits. Tetapi yang dimaksud dengan kotradiksi di sini adalah dalam segi dhohirnya saja. Hal ini mempunyai pengaruh besar dalam perbedan pendapat. Misalnya perbedaan batas sedikitnya yang boleh dijadikan mahar dalam nikah.

6. Tidak adanya nash dalam suatu masalah.
Hal ini merupakan salah satu penyebab utama berbedanya pendapat para ulama’. Rasul telah wafat, sedangkan masih ada sedikit masalah yang hukumnya belum terbahas oleh al-Qur’an maupun hadits. Kadang di antara masalah yang muncul ada yang hampir sama dengan yang muncul di waktu Nabi masih hidup, tetapi tidak jarang pula muncul masalah baru yang belum pernah ada sebelumnya bahkan belum pernah ada yang hampir sama hukumnya. Seperti warisan untuk kakek jika masih ada saudara laki-laki.

Adab berbeda pendapat
Sudah merupakan suatu kewajiban bagi seseorang yang berbeda pendapat untuk menunjukkan sikap toleransinya kepada pihak lain agar tidak sampai terjadi perpecahan di kalangan umat Islam sendiri. Untuk itu, setiap mujtahid dianjurkan saling menghormati pendapat lain meskipun sangat berbeda dengan pendapatnya. Bagi mereka juga dianjurkan untuk mempelajari pendapat yang dikatakan oleh ulama’ lainnya yang berbeda pendapat dengannya. Yaitu dengan cara mempelajari apa dasar mereka mengatakan pendapat mereka dengan tidak menjatuhkannya jika terbukti bahwa pendapat mereka salah. Dengan demikian persatuan dan kesatuan umat Islam akan tetap terjaba tidak tergoyahkan karena masalah yang sepele.

Perbedaan umat masa kini
Sekitar abad keempat Hijriyah, para ulama mengalami depresi yang sangat hebat sehingga muncul tradisi taqlid di kalangan komunitas masyarakat sosial Islam. Tetapi di antara sebagian ulama masih ada yabng mengaktifkan intelektualitas dan kemampuan mereka untuk mencari solusi terhadap masalah-masalah trandensental yang menyelimuti umat waktu itu. Di antaranya dengan cara mengadakan studi komparatif antar pendapat dan mengambil tarjih dari sekian pendapat yang ada.

Seiring dengan jalannya waktu, datanglah imprealis Barat ke negara-negara Islam Timur. Merekapun mengelabuhi umat Islam dengan melarang kegiatan keagamaan, sehingga masyarakat Islam semakin terbuai oleh tradisi taqlid yang meninabobokkan suasana ijtihad di kalangan ulama’. Masa-masa kejayaan ijtihad ulama’ Islam hanya tinggal kenangan dan cerita untuk pengantar tidur.

Dalam keadaan yang demikian ini, ulama’ Islam berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan masa kejayaan yang telah hilang dari mereka dengan cara mengadakan proyek yang diberi nama ‘shohwah islamiyah’. Namun hal ini tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mereka menemui kendala yang cukup serius, yakni ikhtilaf di antara mereka sendiri. Di antara umat Islam ada yang mengatakan dirinya sebagai kelompok salaf, ada yang ahlu al-hadits, ada yang menganut madzhab tertentu, bahkan ada yang memproklamirkan diri sebagai kelompok anti madzhab. Di antara mereka saling melempar tuduhan, dari tuduhan pengkafiran, fasik, ahli bid’ah, sampai tuduhan sebagai mata-mata dan antek Barat. Semua itu tidak lain hanya disebabkan karena kebodohan umat Islam terhadap ajaran-ajaran agamanya, dan terpengaruh oleh westernisasi negara-negara Barat yang berhasil menguasai negara-negara Islam sebagai jajahan mereka.

Sebagai penutup, kita sarankan kepada kaum muslimin yang berkecimpung dalam bidang dakwah untuk memilih pemuda muslim yang ‘tahan banting’ dan menyediakan bagi mereka jalan terbaik untuk belajar tentang syari’ah Islam dari segelintir ulama’-ulama’ yang masih tersisa saat ini. Di samping itu, kita juga harus memfilter pemikiran-pemikiran yang datang dari luar, karena kita sekarang membutuhkan pemikiran Islam yang sehat dan berdasar pada al-Qur’an dan as-Sunnah. Sehingga kembalilah masa kejayaan yang telah hilang dan muncullah ulama’-ulama’ baru yang mampu menyelesaikan permasalahan umat yang selalu datang dengan hal baru.

Daftar pustaka:
1. Adab al-Ikhtilaf Fi al-Islam, Toha Ja bir al-‘Ulwani.
2. Adab al-Khilaf Wa Asbabu al-Ikhtilaf Fi al-Ahkam al-Fiqhiyah, Prof. Dr. Su’ad Ibrahim Saleh.
3. Muqoronatu al-Madzahib al-Islamiyah, Prof. Dr. Muhammad Ro’fat Utsman dan Prof. Dr. Ali Ahmad Mur’iy.
4. Atsar Atsar al-Lughoh Fi Ikhtilaf al-Mujtahidin, Abdul Wahab Abdussalam Thowilah.
5. Ushul al-Fiqih al-Islami, Dr. Wahbah al-Zuhaili.
6. Atsar al-Ikhtilaf Fi Qowa’id al-Ushuliyah Fi Ikhtilaf al-Fuqoha’, Dr. Mustafa Said al-Khinn.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar