Jumat, 11 Desember 2009

Haji, Madrasat el-Hayat

Pada hakikatnya, ibadah haji merupakan perjalanan suci menuju Tuhan yang memerlu-kan pengerahan segenap kemampuan baik fisik ataupun materi, untuk sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Oleh karena itu, haji tidak diwajibkan kepada setiap hamba, namun hanya diperioritaskan bagi mereka yang mampu, baik dalam segi materi maupun yang lainnya, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 97.

Ibadah haji sebagai salah satu sisi dan fondasi bangunan ajaran Islam, mengandung nilai-nilai religius dan filosofis yang sangat tinggi. Jika nilai-nilai tersebut mampu difaha-mi dan direalisasikan oleh seorang muslim, maka akan terciptalah individu muslim yang mampu mengkombinasikan antara kesalehan zhahiri dan bathini. Dari sinilah seorang men-dapatkan kesiapan sebagai anggota masyarakat dalam menghadapi segala tantangan guna menciptakan sebuah keamanan dan ketentra-man kolektif dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga tercipta suatu komunitas masyarakat yang saleh demi membangun suatu negeri yang baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.

Dan yang terpenting, konsep-konsep untuk mewujudkan hal semacam itu semua sudah tersirat dalam amalan-amalan ibadah haji mulai dari awal hingga akhir. Marilah kita mencoba untuk merenungkan sebentar nilai-nilai filosofis religius tersebut;

Ihrâm. Dengan memakai pakaian ihrâm yang hanya terdiri dari dua helai kain putih, yakni ridâ’ (selendang untuk menutup bagian atas) dan izâr (sarung penutup bagian bawah), seorang muslim dituntut untuk memahami bahwa dari tempat dan saat inilah ia berniat untuk meninggalkan segala atribut yang berbau duniawi. Di sini nampak tak ada perbedaan antara seorang dengan yang lainnya kecuali pada ketakwaannya. Inilah hakikat hidup, sebagaimana yang disinyalir dalam al-Qur’an “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah yang paling bertakwa”. Dengan pakaian ihrâm yang serba putih itu juga, manusia diingatkan kepada kematian yang mana setiap insan tidak akan bisa lari dari cengkeramannya. Semua yang bersifat duniawi akan ditinggalkan dan hanya berteman dua helai kain kafan putih sebagai-mana kain ihrâm.

Setelah memakai pakaian ihrâm dan berniat haji, kemudian dilanjutkan dengan thawâf, yakni berjalan mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali sebagai penghormatan terhadap keagungan dan kesucian ka’bah. Semua jama’ah haji berjalan mengelilingi ka’bah pada satu arah yang sama, yakni bermula dari titik Hajar Aswad dan diakhiri di tempat itu pula. Tidak ada seorangpun yang boleh menyimpang dari arah yang telah ditentukan. Hal ini melambangkan kesatuan visi dan misi umat Islam. Apapun dan bagai-manapun profesi manusia, maka hendaknya fokus amal mereka adalah agama Allah, karena manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”

Dalam thawâf, disunatkan untuk mencium Hajar Aswad yang sebenarnya tidak membawa manfaat atau mendatangkan bahaya. Namun ini melambangkan betapa ta’atnya seorang muslim terhadap perintah-perintah Allah. Hajar Aswad adalah simbol dari kebaikan di dalam kehidupan ini. Begitu juga tugu batu yang menjadi sasaran dalam melempar jumrah adalah sebuah simbol dari keburukan dan kejahatan di dunia ini. Itu maknanya, jika kita menemukan kebaikan dalam kehidupan ini, maka kita dekati bahkan kita cium, sebagai-mana kita mencium Hajar Aswad. Begitu pula sebaliknya, jika kita temukan kejahatan atau keburukan, maka kita jauhi atau bahkan kita lempari sebagaimana kita melempar jumrah.

Dari thawâf, dilanjutkan dengan melak-sanakan sa’i (lari-lari kecil) antara bukit Shofa dan Marwah. Hal ini melambangkan nasyâth (semangat) dalam beribadah, dan menjauhkan diri dari sifat malas. Sifat ini pulalah yang dibutuhkan insan muslim dalam menjalani aktifitas kehidupan secara keseluruhan. Dunia adalah waktu yang amat pendek, sedangkan kewajiban jauh lebih banyak jika dibanding dengan waktu yang tersedia.

Dan rukun haji yang terpenting adalah wukuf di Arafah, sebagaimana hadits Nabi “Haji adalah (wukuf) di Arafah”. Wukuf di padang Arafah merupakan jihad bagi insan muslim. Di mana mereka berusaha mengingat segala nikmat Allah Swt yang telah diberikan kepadanya, serta mengingat semua dosa yang pernah dilakukannya, yang kemudian diakhiri dengan permohonan ampun dari Yang Maha Kuasa. Di sini manusia sadar bahwa hidup tidak terlepas dari kesalahan dan dosa, namun harus diakhiri dengan taubat dan istighfâr sebagai permohonan ampun.

Dari Arafah kemudian dilanjutkan ke Muzdalifah, lalu ke Mina. Semua perjalanan inipun tidak lepas dari hikmah. Ini adalah bukti bahwa Islam selalu menganjurkan nizhâm, yaitu sistem yang tertib dalam menjalankan segala sesuatu, baik itu yang bersifat duniawi ataupun ukhrowi.

Begitu juga dalam penyembelihan hewan kurban, adalah merupakan bukti rasa syukur seorang hamba terhadap nikmat Allah Swt, khususnya nikmat panggilan-Nya untuk menu-naikan ibadah haji. Kurban juga merupakan ajang latihan bagi insan muslim untuk tidak takut terhadap peperangan yang biasanya dihiasi oleh aliran darah, serta membiasakan-nya untuk selalu berkorban demi menegakkan kalimat Allah Swt.

Sebenarnya masih banyak lagi hikmah dan nilai-nilai filosofis maupun religius dalam amalan-amalan ibadah haji yang mampu membentuk manusia muslim untuk menjadi muslim yang hakiki, sehingga bisa mencapai kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat. Namun terlepas dari itu semua, ada satu hal paling mendasar yang harus kita perhatikan, bahwa hikmah dan pelajaran di atas sangat mudah untuk difahami, bahkan bagi kita yang belum pernah menunaikan ibadah haji sama sekali pun mampu memahami dan mengerti pelajaran dan nilai-nilai religius yang terkandung dalam amalan ibadah haji. Namun untuk merealisasikannya dalam kehi-dupan sehari-hari, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan tidak lebih mudah dari perjuangan untuk menunaikan ibadah haji itu sendiri.

Meski demikian, setidaknya kita berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani amalan-amalan ibadah haji walaupun banyak di antara kita yang belum melaksanakan ibadah haji. Karena meneladani hikmah dari suatu pekerjaan, bukan berarti kita harus melakukan pekerjaan tersebut terlebih dahulu. Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberi perlindungan kepada kita dalam melaksanakan segala kewajiban, sehingga kita termasuk orang yang selamat dunia dan akhirat.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

sip, sip, masuk..
bisa diambil pelajaran

Posting Komentar