Kepada siapakah kami harus mengadu, ketika mereka yang membawa panji cinta, bahkan menutup penyembahan kepada-Mu dengan salam, kini berudah menjadi rombong-an yang mengibarkan bendera permusuhan, menabuh genderang nafsu angkara, mengguncang jiwa manusia tanpa dosa.
Masih pantaskah kami menerima cinta-Mu, sedangkan bayangan hidup kami penuh dengan kebencian dan nyala api permusuhan? Mulut kami berbusa mendendangkan amanah langit, menyebar rahmat seru sekalian alam, tapi nyatanya kami terpuruk di balik jubah kesombongan, membusungkan dada menebar caci maki kebencian.
Bagaikan singa lapar, kami menjarah dan mencabik siapa saja, memercikkan nyala api menggelar fasad. Padahal di lub uk hati kami, pesan suci para ustadz masih akrab terngiang dan mengetuk kalbu “Wahai hamba nan disayang, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah tak mencintai orang yang berbuat kerusakan.”
Ah...tangan bagaimana yang harus kami pakai untuk menutupi rasa malu dan luka hati yang sembilu. Kebanggaan apa lagi yang tersisa untuk menampakkan wajah seorang yang beriman. Bahasa apakah yang paling pantas kami ucapkan untuk melukiskan akhlak bangsa yang ramah tamah, lemah lembut dan sopan santun, sementara tepat di hadapan kami beberapa pelajar dan mahasiswa kembang harum harapan bangsa telah menjadi duri yang menyakitkan. Tanpa rasa malu mereka mengacungkan tinju yang beringas, saling mencengkeram dalam tawuran yang rusuh, mengaum dan tak segan membunuh.
Pikiran dan otak seperti apa yang harus kami pakai untuk memahami prilaku manusia yang mengaku menyembah-Mu dengan penuh cinta, tapi hatinya compang-camping menjadi budak sahaya kedholiman dan berpaling dari cinta-Mu, untuk menyembah nafsu amarah yang sarat dengan rasa curiga yang terus memburu.
Tuhanku...kami menapaki kehidupan dengan jiwa gelisah dan waswas. Koran-koran yang kami baca berwarna hitam menyajikan daftar kriminalitas, krisis identitas, dan mabuk miras. Generasi tripping yang asyik menenggak ekstasi, pemerkosaan para pembantu di depan televisi, kemudian serial pembunuhan para sopir taksi, berita korupsi dan kolusi. Dan saat ini orang limbung dan bingung karena berebut kursi dan suksesi.
Tuhanku...dengan siapa kami harus bertegur sapa, sedangkan persaudaraan dan kerukunan ternyata hanya fatamorgana pemanis bahan retorika semata-mata.
Tuhanku...jangan jadikan kami sampah konsumsi yang memabukkan diri dalam godaan kemewahan penuh gengsi, merajut mimpi dan fantasi, hobi berdemonstrasi, kemudian sakit hati karena frustasi.
Tuhanku...jadikan negeri kami adalah surga yang nyata, bangsa yang merekah senyum menebar semerbak bunga cinta, ataukah hanya derita, lukadan air mata yang kami terima, karena Engkau telah memaling-kan muka dan bosan dengan kata-kata.
Tuhanku...maafkanlah hamba, manusia dunia yang sering lupa. Betapa di setiap pori-pori hamba, adalah keringat penuh dosa yang sering berkata atas nama surga, padahal Engkau Maha Tahu, hamba adalah debu-debu, yang menderu diburu nafsu, akar yang tercerabut dari batangnya, diamuk badai kebodohan dan kesombongan.
Tuhanku...cintailah kami. Sang Pengasih dari segala terkasih, jadikanlah kami bangsa yang saling menyinta, karena kami tahu betapa kami tak pernah akan masuk dalam golongan orang yang beriman bila tak mnyintai sesama, sebagaimana kami mencintai diri sendiri.
Tuhanku...jadikanlah di negeri kami, di mana amarah dan angkara tak pernah menyala, dimana senjata tiada guna, pagar dan pintu-pintu rumah terbuka, penghuninya mendendangkan tembang cinta, tegur sapa, senyum dan tawa adalah surga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar