Selasa, 02 Desember 2014

Di Balik Sanjungan Orientalis

-->Tidak asing lagi bagi telinga kita sebuah perbendaharaan kata “orientalis”, yang sering dimaknai dengan sebutan ‘orang-orang Barat yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan dunia Timur, baik yang berkaitan dengan agama atau kebudayaannya’. Lebih dari itu, sebagian ulama Islam yang lain melontarkan istilah “orientalis” khusus bagi mereka orang-orang Barat yang mempelajari Islam dengan tujuan untuk merongrong Islam itu sendiri dari dalam.

Orientalis dalam penelitian dan observasinya mengenai Islam, tidak akan pernah obyektif dan tidak akan mengatakan kebenaran Islam secara jujur. Hal ini disebabkan mereka sangat memegang teguh doktrin-doktrin yang tidak boleh dikritisi, bahkan sampai kepada tingkat fanatik buta. Di antara doktrin mereka adalah bahwa al-Qur’an dalam pandangan dan pengamatan mereka bukanlah kalam Ilahi, dan Nabi Muhammad Saw bukanlah utusan Allah. Doktrin ini sudah lebih dahulu tertanam pada diri mereka sebelum mengadakan penelitiannya mengenai Islam. Sehingga penelitian mereka tidak lebih hanya untuk mendukung asumsi mereka saja, dan bukan untuk mencari kebenaran secara obyektif. 

Dalam menyusupkan misinya, orientalis menempuh berbagai macam cara. Ada yang mengkritik Islam secara frontal dan terang-terangan, seperti Ignaz Goldziher, Alfred Geom, John Maynard dan lain-lainnya. Namun ada juga yang menempuh jalan agak halus dengan cara menampakkan sikap yang agak manis. Dalam tulisan mereka, Islam dan kejayaannya di masa silam sengaja dipresentasikan secara obyektif, tetapi ada satu atau dua poin konsep yang begitu berbahaya yang sengaja mereka selipkan dalam tulisannya. Pujian dan sanjungan di awal penulisan mereka memang sengaja untuk menggiring pembaca agar menganggap tulisan mereka adalah benar dan obyektif. Metode ini digunakan oleh salah satu orientalis Inggris Noel J. Coulson. 

Coulson berpendapat bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang dinamis ‘applicable’ bisa digunakan dan sudah melekat dalam sanubari umat Islam. Namun di balik sanjungan itu, Coulson mempunyai pendapat yang irrasional tentang landasan hukum Islam. Di antaranya adalah pendapatnya tentang ushul fiqih, dengan mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menemukan dan merintis ushul fiqih. 

Dalam pernyataannya ini, Coulson terkesan menyanjung kehebatan Imam Syafi’i dalam bidang itu. Akan tetapi ada suatu kesan terselubung di balik ungkapan Coulson, yaitu bahwa sebelum Imam Syafi’i, ushul fiqih tidak ada. Ia sengaja mengangkat ketokohan beliau dengan tujuan untuk menghancurkan eksistensi ushul fiqih sebelum beliau. Pendapat ini mengesankan bahwa sebelum datangnya Imam Syafi’i, para fuqoha’ dalam berijtihad, tidak mempunyai kerangka acuan yang disepakati bersama. Maka dengan begitu, segala hukum Islam yang ditetapkan sebelum datangnya Imam Syafi’i adalah hukum yang tidak tsabit dan perlu dipertanyakan. 

Padahal jika kita menilik kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan ushul fiqih, rentang waktu dua abad itu (antara munculnya agama Islam hingga masa Imam Syafi’i) justru merupakan fondasi bagi berdirinya ilmu ushul fiqih pada fase-fase berikutnya. Memang pada generasi pertama Islam, ilmu ushul fiqih belum terformat sebagai disiplin ilmu yang independen, namun bukan berarti ilmu ini tidak ada pada masa itu. Secara de jure, para sahabat sebenarnya telah mengenal ilmu ini, bahkan mempraktekkannya dalam menentukan hukum suatu permasalahan (istinbath al-ahkam). Ketika menentukan suatu hukum mereka juga memperhatikan nasikh-mansukh dan ‘illat yang ada dalam al-Qur’an. Mereka juga menganalogikan permasalahan yang belum ada dengan yang telah ada, dan lain sebagainya. Sedangkan Imam Syafi’i adalah orang yang pertama kali mengkodifikasikannya dalam bukunya al-Risalah. Jadi, Imam Syafi’i bukanlah perintis kaidah-kaidah tersebut. 

Tidak hanya itu, untuk menjauhkan umat Islam dari kitab suci dan sunnah rasulnya, maka ijma’ yang merupakan sumber hukum ketiga dalam Islam, tidak lepas dari pujian orientalis. Mereka sengaja menyanjung ijma’ untuk mengalihkan perhatian umat Islam dari kedua sumber hukum utamanya, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Hal ini seperti yang diutarakan salah seorang orientalis Juliet T. “Suatu saat akan terlihat dengan jelas bahwa ijma’ akan menghasilkan sebuah kekuatan besar yang akan membuat Islam berkembang dan maju.” Pernyataan ini memberikan kesan bahwa ijma’ berada di atas segala-galanya dengan menafikan keutamaan nash-nash syar’i yang pada dasarnya di atas ijma’. 

Nampaknya, kita memang harus berhati-hati –tanpa harus kehilangan obyektifitas– dengan sanjungan dan ‘pujian’ yang dikemukakan orientalis dalam tulisan-tulisan mereka. Oleh karena itu, untuk mengetahui maksud dan misi tersembunyi mereka, maka karya mereka sewajarnya kita sikapi dengan penuh kecermatan sebagaimana halnya kita membaca kitab Syarah al-Badakhsyi dalam ushul fiqih atau kitab Qalyubi wa ‘Umairah dalam fiqih Syafi’i. Bila orientalis bersikap kritis terhadap karya-karya ulama Islam terdahulu, maka kita pun harus mengkritisi karya mereka. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar