Orientalis dalam penelitian dan observasinya mengenai Islam, tidak akan
pernah obyektif dan tidak akan mengatakan kebenaran Islam secara jujur. Hal ini
disebabkan mereka sangat memegang teguh doktrin-doktrin yang tidak boleh
dikritisi, bahkan sampai kepada tingkat fanatik buta. Di antara doktrin mereka
adalah bahwa al-Qur’an dalam pandangan dan pengamatan mereka bukanlah kalam
Ilahi, dan Nabi Muhammad Saw bukanlah utusan Allah. Doktrin ini sudah lebih
dahulu tertanam pada diri mereka sebelum mengadakan penelitiannya mengenai
Islam. Sehingga penelitian mereka tidak lebih hanya untuk mendukung asumsi
mereka saja, dan bukan untuk mencari kebenaran secara obyektif.
Dalam menyusupkan misinya, orientalis menempuh berbagai macam cara. Ada
yang mengkritik Islam secara frontal dan terang-terangan, seperti Ignaz Goldziher,
Alfred Geom, John Maynard dan lain-lainnya. Namun ada juga yang menempuh jalan
agak halus dengan cara menampakkan sikap yang agak manis. Dalam tulisan mereka,
Islam dan kejayaannya di masa silam sengaja dipresentasikan secara obyektif,
tetapi ada satu atau dua poin konsep yang begitu berbahaya yang sengaja mereka
selipkan dalam tulisannya. Pujian dan sanjungan di awal penulisan mereka memang
sengaja untuk menggiring pembaca agar menganggap tulisan mereka adalah benar
dan obyektif. Metode ini digunakan oleh salah satu orientalis Inggris Noel J.
Coulson.
Coulson berpendapat bahwa hukum Islam adalah sistem hukum yang dinamis
‘applicable’ bisa digunakan dan sudah melekat dalam sanubari umat Islam. Namun
di balik sanjungan itu, Coulson mempunyai pendapat yang irrasional tentang
landasan hukum Islam. Di antaranya adalah pendapatnya tentang ushul fiqih,
dengan mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menemukan dan
merintis ushul fiqih.
Dalam pernyataannya ini, Coulson terkesan menyanjung kehebatan Imam Syafi’i
dalam bidang itu. Akan tetapi ada suatu kesan terselubung di balik ungkapan
Coulson, yaitu bahwa sebelum Imam Syafi’i, ushul fiqih tidak ada. Ia sengaja
mengangkat ketokohan beliau dengan tujuan untuk menghancurkan eksistensi ushul
fiqih sebelum beliau. Pendapat ini mengesankan bahwa sebelum datangnya Imam
Syafi’i, para fuqoha’ dalam berijtihad, tidak mempunyai kerangka acuan yang
disepakati bersama. Maka dengan begitu, segala hukum Islam yang ditetapkan
sebelum datangnya Imam Syafi’i adalah hukum yang tidak tsabit dan perlu
dipertanyakan.
Padahal jika kita menilik kembali sejarah pertumbuhan dan perkembangan
ushul fiqih, rentang waktu dua abad itu (antara munculnya agama Islam hingga
masa Imam Syafi’i) justru merupakan fondasi bagi berdirinya ilmu ushul fiqih
pada fase-fase berikutnya. Memang pada generasi pertama Islam, ilmu ushul fiqih
belum terformat sebagai disiplin ilmu yang independen, namun bukan berarti ilmu
ini tidak ada pada masa itu. Secara de jure, para sahabat sebenarnya telah
mengenal ilmu ini, bahkan mempraktekkannya dalam menentukan hukum suatu
permasalahan (istinbath al-ahkam). Ketika menentukan suatu hukum mereka juga
memperhatikan nasikh-mansukh dan ‘illat yang ada dalam al-Qur’an. Mereka juga
menganalogikan permasalahan yang belum ada dengan yang telah ada, dan lain
sebagainya. Sedangkan Imam Syafi’i adalah orang yang pertama kali
mengkodifikasikannya dalam bukunya al-Risalah. Jadi, Imam Syafi’i bukanlah
perintis kaidah-kaidah tersebut.
Tidak hanya itu, untuk menjauhkan umat Islam dari kitab suci dan sunnah
rasulnya, maka ijma’ yang merupakan sumber hukum ketiga dalam Islam, tidak
lepas dari pujian orientalis. Mereka sengaja menyanjung ijma’ untuk mengalihkan
perhatian umat Islam dari kedua sumber hukum utamanya, yaitu al-Qur’an dan
Sunnah. Hal ini seperti yang diutarakan salah seorang orientalis Juliet T.
“Suatu saat akan terlihat dengan jelas bahwa ijma’ akan menghasilkan sebuah
kekuatan besar yang akan membuat Islam berkembang dan maju.” Pernyataan ini
memberikan kesan bahwa ijma’ berada di atas segala-galanya dengan menafikan
keutamaan nash-nash syar’i yang pada dasarnya di atas ijma’.
Nampaknya, kita memang harus berhati-hati –tanpa harus kehilangan obyektifitas– dengan sanjungan dan ‘pujian’ yang dikemukakan orientalis dalam tulisan-tulisan mereka. Oleh karena itu, untuk mengetahui maksud dan misi tersembunyi mereka, maka karya mereka sewajarnya kita sikapi dengan penuh kecermatan sebagaimana halnya kita membaca kitab Syarah al-Badakhsyi dalam ushul fiqih atau kitab Qalyubi wa ‘Umairah dalam fiqih Syafi’i. Bila orientalis bersikap kritis terhadap karya-karya ulama Islam terdahulu, maka kita pun harus mengkritisi karya mereka. Wallahu a’lam.
Nampaknya, kita memang harus berhati-hati –tanpa harus kehilangan obyektifitas– dengan sanjungan dan ‘pujian’ yang dikemukakan orientalis dalam tulisan-tulisan mereka. Oleh karena itu, untuk mengetahui maksud dan misi tersembunyi mereka, maka karya mereka sewajarnya kita sikapi dengan penuh kecermatan sebagaimana halnya kita membaca kitab Syarah al-Badakhsyi dalam ushul fiqih atau kitab Qalyubi wa ‘Umairah dalam fiqih Syafi’i. Bila orientalis bersikap kritis terhadap karya-karya ulama Islam terdahulu, maka kita pun harus mengkritisi karya mereka. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar