Dalam Al-Qur’an, Allah menerangkan dengan tegas bahwa tujuan diciptakan kehidupan dan kematian bagi umat manusia adalah untuk diuji agar tahu siapa diantara hamba Allah yang terbaik amalannya. Dunia adalah ajang segala ujian, yang mana dari hasil ujian tersebut diharapkan manusia mampu mendapatkan siapa hakekat dirinya di hadapan Allah, Sang Khaliq Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa. Dari sinilah kemudian diketahui siapa yang benar-benar sebagai yang taat yang nantinya mendapatkan predikat sebagai insan kamil, manusia yang sempurna.
Suatu ketika, Sulthon Auliya, Syeikh Abdul Qodir al-Jailani bertutur: “Apabila seorang hamba Allah mengalami kesulitan hidup, maka hal pertama yang ia lakukan adalah mencoba mengatasi kesulitan tersebut dengan upayanya sendiri. Bila gagal, ia mencari pertolongan kepada sesamanya, khususnya kepada raja, penguasa, hartawan atau kepada siapa saja yang ia anggap mampu; atau bila dia sakit, kepada sorang dokter.
Bila hal inipun gagal, maka ia berpaling kepada Khaliqnya, Tuhan Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan berdo’a kepada-Nya dengan pujian dan kerendah-hatian. Bila ia mampu mengatasinya sendiri, maka ia takkan berpaling kepada sesamanya, demikian pula bila ia berhasil karena sesamanya, maka ia takkan berpaling kepada Sang Khaliq.
Kemudian bila tak juga memperoleh pertolongan dari Allah, maka dipasrahkannya dirinya kepada Allah, dan terus demikian, mengemis, berdo’a, merendah diri, memuji, memohon dengan harap-harap cemas. Namun Allah Yang Maha Besar dan Maha Kuasa membiarkan ia letih dalam berdo’a dan tak mengabulkannya, hingga ia sedemikian terkecewakan terhadap segala sarana duniawi. Maka, kehendak-Nya mewujud melaluinya, dan hamba Allah ini berlalu dari segala sarana duniawi, segala aktivitas dan upaya duniawi, dan bertumpu pada ruhaninya.
Pada peringkat ini, tiada terlihat olehnya, selain kehendak Allah Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa, dan sampailah dia tentang keesaan Allah, pada peringkat haqqul yaqin, (yakni tingkat keyakinan tertinggi yang diperoleh setelah menyaksikan dengan mata kepala dan mata hati). Bahwa pada hakikatnya, tiada yang melakukan segala sesuatu kecuali Allah, tak ada penggerak, tak pula penghenti, selain Dia; tak ada kebaikan, kejahatan, tak pula kerugian dan keuntungan, tiada faedah, tiada memberi, tiada pula menahan, tiada awal, tiada akhir, tak ada kehidupan dan kematian, tiada kemuliaan dan kehinaan, tak ada kelim-pahan dan kemiskinan, kecuali karena Allah.
Maka di hadapan Allah, ia bagai bayi di tangan perawat, bagai mayat dimandikan, dan bagai bola di tongkat pemain polo, berputar dan bergulir dari keadaan ke keadaan, dan ia merasa tak berdaya. Dengan demikian ia lepas dari dirinya sendiri, dan melebur dalam kehendak Allah. Maka tak dilihatnya kecuali Tuhannya dan kehendak-Nya, tak didengar dan tak dipahaminya, kecuali Dia.
Jika melihat sesuatu, maka sesuatu itu adalah kehendak-Nya; bila ia mendengar atau mengetahui sesuatu, maka ia mendengar firman-Nya, dan mengetahui lewat ilmu-Nya. Maka terkaruniailah ia dengan karunia-Nya, dan beruntung lewat kedekatan dengan-Nya, dan melalui kedekatan ini, ia menjadi mulia, ridha, bahagia, dan puas dengan janji-Nya, dan bertumpu pada firman-Nya. Ia merasa enggan dan menolak selain Allah, ia rindu dan senantiasa mengingat-Nya; makin mantaplah keyakinannya pada-Nya, Yang Maha Besar lagi Maha Kuasa.
Ia bertumpu pada-Nya; memperoleh petunjuk dari-Nya, berbusana nur ilmu-Nya, dan termuliakan oleh ilmu-Nya. Yang didengar dan diingatnya adalah dari-Nya. Maka segala syu-kur, puji, dan sembah tertuju kepada-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar