Jumat, 02 Januari 2015

Pemanfaatan Lingkungan dalam Perspektif Fiqih

Manusia sebagai penduduk bumi telah disediakan bekal oleh penciptanya berupa alam lingkungan yang kaya dengan berbagai jenis kebutuhan primer dan sekunder. Untuk dapat mempertahankan kelangsungan hidup secara hayati, manusia membutuhkan kebutuhannya dalam kuantitas dan mutu tertentu. Faktor inilah yang menjadikan manusia berusaha memanfaatkan lingkungan alam sekitarnya demi kelangsungan hidup.

Perlakuan manusia terhadap lingkungannya sangatlah dominan selaku subyek penentu yang dapat menentukan apakah lingkungan itu akan bermanfaat atau tidak, karena setiap perubahan yang dilakukan manusia terhadap alam memberikan pengaruhnya pula terhadap manusia lainnya. Sikap manusia yang tidak ramah terhadap lingkungan, maka alam lingkungan akan berbalik memusuhi manusia.

Alam lingkungan adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena itu, dalam rangka menggali manfaat dari lingkungan, manusia tidak boleh mengabaikan upaya untuk melestarikan lingkungan itu sendiri. Artinya, hendaklah dijaga keseimbangan ekologi dan dihindari pencemaran serta diupayakan agar kekayaan alam itu dipergunakan sehemat mungkin.

MANUSIA DAN LINGKUNGAN
Manusia, yang diberi kelebihan akal budi, mempunyai kedudukan yang istimewa dalam sebuah lingkungan hidup. Dengan akal dan fikirannya manusia banyak bertindak, sehingga kepentingannya sendiri yang lebih diutamakan daripada kepentingan lainnya. Setiap lingkungan hidup diatur dan dimanfaatkan sesuai dengan kebutuhannya.

Sebagaimana diketahui bahwa sumber alam abiotik (sumber alam yang tidak dapat diperbaharui) penyebarannya tidak merata, ada daerah yang kaya dalam suatu jenis barang mineral, tambang dan di lain tempat ada yang miskin. Kebutuhan-kebutuhan manusia tentang barang-barang tersebut kadang-kadang akan menjadikan manusia bersaing untuk merebutkannya. Akhirnya manusia menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya meskipun konsekwensinya merusak ekosistem. Hal inilah yang menjadikan manusia lambat laun akan menghadapi permasalahan krusial dari lingkungan.

Pada dasarnya sumber yang menimbulkan permasalahan lingkungan adalah ulah manusia yang dalam aktifitasnya tidak mempedulikan keseimbangan lingkungan. Aktifitas berupa eksploitasi yang berlebihan menyebabkan terganggunya keseimbangan dan keserasian lingkungan. Tidak jarang terjadi manusia yang melakukan tindakan over eksploitasi itu didorong oleh motivasi untuk mencari keuntungan material.

Dari tindakan tersebut maka terjadilah kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan adalah timbulnya perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Akibat dari perusakan ini, bencana alam terjadi dimana-mana. Alam kemudian seolah mengamuk sehingga menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia. Sudah tidak terhitung lagi berapa nyawa yang melayang, berapa jumlah harta benda dan properti lain yang lenyap ditelan bencana.

Anehnya, umat beragama (termasuk umat Islam) tidak menganggap masalah lingkungan sebagai masalah penting. Bahkan ironisnya para ulama fiqh tidak menjadikan masalah lingkungan sebagai bagian dari maqāsid al-sharī‘ah, yakni tujuan disyariatkannya Islam, padahal kelestarian lingkungan adalah salah satu jalan untuk melestarikan kemaslahatan umum sebagaimana maqāsid yang lain.
Dari sinilah maka, kita komunitas agama memiliki tanggung jawab untuk berdakwah tentang pentingnya pemeliharaan lingkungan dan bahaya perusakan alam bagi kehidupan ekosistem kita, bukan malah cuci tangan dan menganggapnya sebagai takdir Tuhan.

PENCEMARAN LINGKUNGAN
Ketergantungan manusia yang pada awalnya tertumpu kepada kondisi alam, menimbulkan sikap hidup yang bertumpu pada pandangan bahwa manusia adalah sekadar salah satu dari unsur lingkungan hidup. Pandangan ini mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan lingkungan hidup dalam keadaan alami. Namun pandangan tersebut kemudian tergeser oleh gerakan Renaissance dalam abad ke-17. Gerakan ini kemudian melahirkan revolusi industri yang menelorkan suatu pandangan hidup yang mempersepsikan lingkungan hidup sebagai suatu karunia untuk dinikmati secara maksimal bagi peningkatan kesejahteraan hidup manusia. Sebagai salah satu konsekwensinya adalah eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan, yang bisa menimbulkan bencana, diantaranya pencemaran lingkungan.

Dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan industri pada suatu tempat dapat berupa gangguan, kerusakan, dan bahaya terhadap keselamatan dan kesehatan masyarakat disekelilingnya. Memang, lingkungan mempunyai kemampuan mengabsorpsi limbah yang dibuang ke dalamnya. Kemampuan ini tidak terbatas. Apabila jumlah dan kualitas limbah yang dibuang ke dalam lingkungan melampaui kemampuannya untuk mengabsorpsi, maka dikatakan bahwa lingkungan itu tercemar. Tercemarnya lingkungan akan dapat menimbulkan akibat negatif terhadap derajat kesehatan masyarakat.

SUMBER DAYA TANAH
Dalam era modern, masalah sumber daya tanah menjadi masalah yang cukup rumit, khususnya dalam hal ini kesuburan yang semakin menurun karena meningkatnya pemakaian pupuk dan pestisida. Di samping itu lahan kritis juga semakin meluas sehingga sebagai akibat keseluruhannya adalah penurunan produktifitas lahan. Di samping itu keperluan lahan yang meningkat untuk keperluan industri dan pemukiman, sedangkan usaha-usaha perawatan lahan kritis masih belum memadai. Bisa diperkirakan masalah ini akan lebih kompleks, terutama untuk pulau yang padat penduduknya dan relatif subur kondisinya. Di sana akan terjadi pertentangan kepentingan dalam kaitannya dengan tata guna lahan.

Tak dapat dipungkiri, lahan subur adalah sumber pokok kehidupan manusia, karena dari situlah bahan makanan bisa didapat. Jika lahan subur dikurangi, berarti mengurangi produktifitas lahan sekaligus produktifitas pengguna yang dalam hal ini petani yang bisa mengakibatkan malapetaka, karena jika lahan subur telah habis untuk keperluan industri, maka kebutuhan hidup manusia otomatis terancam.

Dari sini bisa difahami bahwa pemeliharaan lahan subur berarti pemeliharaan kebutuhan manusia, dan hal ini sangat dianjurkan dalam Islam sebagai pemeliharaan maslahah al-‘ām. Dan ini sesuai dengan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘ālamīn. Maka dari itu, harus ada semacam peraturan yang mengatur hal tersebut agar tidak terjadi kerusakan lingkungan. Maka fatwa tentang kewajiban mempertahankan lahan subur untuk pertanian adalah sebuah keharusan untuk melindungi kemaslahatan manusia.

Di zaman yang semakin menyempitnya lahan subur seperti sekarang ini, pengaturan tata ruang pembagian antara tanah pertanian dan tanah untuk industri adalah wajib dilakukan. Karena jika lahan subur di pedesaan tetap dijadikan sebagai tempat industri, maka akan berdampak negatif pada lingkungan tersebut, yakni penggusuran petani demi pengadaan lokasi industri, timbulnya polusi di lingkungan tersebut, serta degradasi lingkungan penduduk setempat yang menjadi tetangga industri-industri tersebut.

Salah satu contoh konkret adalah kasus PT Inalum di Kuala Tanjung, Sumatera Utara. Keberadaan pabrik kilang aluminium ini dengan dukungan aparat keamanan dan godaan rupiah berhasil menggusur petani lingkungan tersebut yang mata pencahariannya hanya tegantung pada ekosistem lokasi yang digusur tersebut. Ini adalah mata rantai pertama dari dampak negatif eksploitasi lahan subur oleh sistem industri. Mungkin sebagian petani ada yang agak beruntung karena dipekerjakan di pabrik tersebut, namun mereka tidak sadar bahwa mereka diperas melalui upah yang rendah dan jam kerja yang cukup panjang. Ternyata lebih dari itu, lingkungan mereka tercemar oleh berbagai zat kimia, dan kebisingan.

TANGGUNG JAWAB TEOLOGIS
Berawal dari kerusakan dan kepunahan yang menimpa lingkungan di muka bumi ini, para praktisi dan pengambil kebijakan kemudian berkumpul untuk membahas solusi dari permasalahan lingkungan ini. Kepala pemerintahan telah mengambil peran penting dengan pertemuan-pertemuan yang kemudian menghasilkan konvensi. Banyak konvensi lingkungan yang telah ditandatangani antar bangsa untuk mengarahkan manusia agar tidak merusak lingkungan dan alam yang mereka miliki.

Bahkan di Indonesia sendiri juga telah diterbitkan beberapa Undang-Undang tentang Lingkungan Hidup. Pada tanggal 11 Maret 1982, presiden Suharto mengesahkan Undang-undang nomor 4 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolahan Lingkungan Hidup. Pada 5 Juni 1986, pemerintah mengesahkan Peraturan Pemerintah nomor 29 tentang Alaisis Mengenai Dampak Lingkungan, dan masih banyak lagi peraturan-peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengolahan alam lingkungan secara proporsional.

Namun dalam realitanya, ternyata konvensi-konvensi ataupun undang-undang tersebut tidaklah cukup memberi solusi terhadap kerusakan yang terjadi di bumi. Bahkan setelah dievaluasi, kerusakan tidak berkurang dan malah bertambah. Jadi, telah terbukti bahwa segala konvensi dan peraturan saja tidaklah mengikat dan dapat mengambil langkah untuk menurunkan tingkat kerusakan bumi.

Setelah dirasakan tidak ada perubahan. Barulah timbul kesadaran baru yang mengkaitkan prinsip agama yang diharapkan berperan dalam menanggulangi krisis ekologi. Bahkan beberapa sarjana barat sering mengatakan bahwa sains dan teknologi memang diperlukan, tetapi itu saja tidak cukup. Kita memerlukan agama untuk terlibat dalam keluar dari krisis lingkungan. Jadi, inisiatif agama diperlukan untuk mengurangi kerusakan tersebut dengan cara yang lembut, yaitu pendekatan religius.

Dalam Islam, kesadaran terhadap pemeliharaan lingkungan bukanlah hal baru, karena al-Qur’an banyak membicarakan tentang pengelolahan lingkungan secara baik dan benar dan melarang berbuat kerusakan di muka bumi. Allah telah berfirman: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi ini setelah Allah memperbaikinya.”

Di sinilah perlunya melakukan restorasi nalar pemikiran keislaman. Tahapan yang mesti ditempuh adalah; pertama, menjelaskan hikmah Islam tentang tatanan dan struktur alam, signifikansi religius dan kaitan eratnya dengan setiap fase kehidupan manusia. Kedua, menumbuhkan dan mengembangkan kesadaran ekologis yang berspektif teologis atau membangun teologi yang berbasis kesadaran dan kearifan ekologis. Dalam konteks ini, maka para ulama fiqh harus berani melakukan terobosan penting mengenai pemahaman keislaman yang digali langsung dari teks-teks keagamaan, Al-Qur’an dan Hadis. Maka, konsep maslahah adalah salah satu rujukan penting dalam pemeliharaan kelestarian lingkungan.

Tanggung jawab teologis dalam hal ini bukan hanya sekadar berkisar pada permasalahan pahala dan dosa, namun lebih jauh dari itu. Al-Qur’an dengan tegas mengatakan:
Sesungguhnya orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-Nya dan berbuat kerusakan di bumi, maka mereka hendaklah dibunuh, atau disalib, atau tangan dan kakinya dipotong secara silang, atau diasingkan dari muka bumi.”

Ayat diatas menjelaskan dengan tegas bahwa orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, mempunyai konsekwensi tegas. Namun meski demikian, banyak pihak yang tidak menghiraukan konsekwensi ini meskipun mereka sebenarnya mengerti konsekwensi ini. Hal ini terjadi karena belum ada peraturan tegas dari pihak yang berwenang yang berani mendengungkan konsekwensi-konsekwensi perusakan lingkungan ke permukaan. Bahkan dalam fiqh Islam sendiripun hal tersebut belum pernah tersentuh.

KESIMPULAN
Alam lingkungan adalah anugerah Allah yang diberikan kepada manusia untuk dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Kerusakan yang terjadi atas lingkungan adalah akibat ulah manusia sendiri. Konvensi-konvensi yang telah dibuat tidak mampu menghalangi perbuatan brutal manusia yang mengakibatkan perusakan alam. Karena itu, agama adalah salah satu jalan untuk menghalangi perusakan tersebut. Ulama fiqh harus berani melakukan terobosan penting melalui fatwa-fatwanya yang mewajibkan untuk memelihara lingkungan demi kemaslahatan umat. Konsekwnsi-konsekwensi perusakan lingkungan yang belum tersentuh sebelumnya, harus dirumuskan dengan jelas agar bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus. Korban-korban Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Husein, Harun M. Lingkungan Hidup: Masalah, Pengelolaan dan penegakan Hukumnya. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.
Khaelany, HD. Islam Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Jakarta: Rineka Cipta, 1996.
Salindeho, John. Undang-undang Gangguan Lingkungan dan Masalah Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Suparni, Niniek. Pelestarian, Pengelolahan dan Penegakan Hukum Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika, 1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar