Minggu, 20 Desember 2009

Hikmah Sebuah Perjalanan

Hari demi hari, bulan demi bulan telah kita lalui, tak terasa kita sudah memasuki tahun baru hijriah. Entah kebaikan apa saja yang sudah kita lakukan, ataukah malah keburukan yang lebih banyak kita kumpulkan? Namun harapan kita sebagai insan muslim, mudah-mudahan tahun ini lebih baik dari tahun-tahun yang lalu, agar kita bukan termasuk ke dalam kategori orang yang merugi, atau bahkan orang yang dilaknat oleh Allah Swt.

Tahun hijriah adalah merupakan identitas umat Islam yang sudah seharusnya kita berbangga dengan keberadaannya. Sejarah tahun baru hijriah tak lepas dari peristiwa besar yang terjadi pada awal-awal perkembangan Islam, yakni peristiwa hijrahnya Nabi bersama dengan sahabat-sahabatnya dari kota Mekah, kota kelahiran mereka, menuju kota Yatsrib yang kemudian dinamakan dengan kota Madinah.

Diperintahkannya hijrah dari Mekah ke Madinah sebenarnya bukan hanya sekedar solusi yang diberikan Allah kepada kaum muslimin Mekah dari siksaan kaum kafir Quraisy. Namun ada makna lain di balik itu semua. Hijrah merupakan ujian tahap kedua bagi kaum muslimin Mekah. Setelah lolos dari ujian pertama, yakni sabar dan tabah dalam mempertahankan agama Allah meskipun mendapat siksaan yang pedih dari kaum kafir Quraisy, maka kaum muslimin Mekah diuji dengan diperintahkan untuk hijrah dari tanah kelahiran mereka seraya meninggalkan semua harta kekayaan yang mereka miliki.

Hijrah bukan suatu yang mudah bagi mereka, tapi demi agama, mereka rela melakukannya. Merekapun lulus dalam ujian tahap kedua ini. Allah menjadikan sakralitas agama dan akidah di atas segalanya. Tumpukan harta, kedudukan tinggi, bahkan tanah kelahiran pun tidak berarti sama sekali jika akidah dan agama terancam dengan penindasan dan pemusnahan. Oleh karena itu, Allah mewajibkan untuk berkorban dengan segalanya –jika diperlukan– untuk kepentingan akidah dan agama Islam.

Dalam bukunya al-Sîrah al-Nabawiyah, Dr. Ramadhan al-Bouthy mengatakan bahwa sudah merupakan hukum alam yang tidak bisa dipungkiri, bahwasanya sebuah kekuatan spiritual yang termanifestasi dalam akidah dan agama yang benar akan menimbulkan sebuah kekuatan materi yang termanifestasi dalam kekuatan dan kekayaan duniawi. Karena itu, jika semakin kuat kekuatan spiritual suatu kaum, semakin kuatlah kekuatan materinya. Begitu juga sebaliknya, semakin lemah kekuatan spiritual suatu kaum, maka semakin lemah pula kekuatan materinya, bahkan mudah terancam dengan kelenyapan.

Kita boleh percaya atau tidak dengan tesis di atas, namun lembaran sejarah yang membuktikan kebenarannya. Hal ini bisa kita lihat pada kisah perjalanan hijrah Nabi dan sahabat dari Mekah ke Madinah. Jika kita lihat sekilas, hijrah dari Mekah menuju Madinah seakan-akan hanya meningalkan tanah kelahiran beserta harta kekayaan sekedar untuk lari dari penindasan kaum kafir Quraisy. Tetapi kenyataannya lain, Nabi beserta sahabat meninggalkan Mekah untuk kembali lagi menguasainya. Ini terbukti beberapa tahun setelah hijrah. Berkat kekuatan akidah dan agama yang matang, kaum muslimin kembali ke Mekah dengan kekuatan pasukan yang sulit dibayangkan oleh kaum kafir Mekah, sehingga kaum mislimin memasuki kota Mekah tanpa ada perlawanan sedikitpun. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan peristiwa “Fathu Makkah”. Ini adalah bukti bahwa kekuatan spiritual yang termanifestasi dalam kekuatan akidah dan agama akan menimbulkan kekuatan materi.

Adapun hikmah hijrah Nabi yang menarik untuk kita ketengahkan disini adalah perbedaan antara hijrah Nabi dengan Umar bin Khottob. Sudah kita ketahui bersama bahwa Nabi berhijrah secara sembunyi-sembunyi bersama Abu Bakar, bahkan beliau pernah berlindung di gua Tsur selama tiga hari bersama Abu Bakar untuk menghindari kejaran kaum kafir Quraisy. Hal ini berbeda dengan Umar bin Khottob, beliau hijrah secara terang-terangan di hadapan mata kaum kafir Quraisy. Bahkan Umar bin Khottob berkata kepada kaum kafir yang hendak menghalanginya, “Barangsiapa yang ingin anaknya menjadi yatim, atau ingin isterinya menjadi janda, maka temuilah (hadapilah) aku di belakang lembah ini.”

Lantas, di sini muncul pertanyaan, mengapa Umar bin Khottob hijrah secara terang-terangan, bahkan menantang kaum kafir tanpa rasa takut sedikitpun, sedangkan Nabi berhijrah secara sembunyi-sembunyi? Apakah Umar bin Khottob lebih pemberani dibanding Nabi? Bukankah Nabi adalah pemimpin sekaligus panglima perang?

Jawabnya adalah, bahwa apa yang dilakukan Umar bin Khottob atau orang lain selain Nabi, perbuatannya hanyalah sekedar perbuatan manusia biasa yang tidak ada sedikitpun unsur syariat dan hukum. Maka, boleh saja mereka melakukan apa yang mereka suka sesuai dengan kemampuan mereka. Hal ini berbeda dengan Nabi, segala perbuatan beliau yang berhubungan dengan agama memuat unsur syariat dan hukum. Oleh karena itu, sunnah beliau (segala perbuatan, perkataan, sifat dan diamnya Nabi yang berhubungan dengan masalah agama) adalah sumber kedua daripada hukum Islam setelah al-Qur’an.

Oleh karena itu, jika beliau melakukan sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khottob, maka kaum muslimin akan mengira bahwa hal semacam itu adalah wajib bagi mereka, dan tidak boleh mengantisipasi sebuah bahaya dengan jalan sembunyi. Padahal mengantisipasi bahaya adalah sebuah keharusan agar tidak terjerumus dalam kerusakan atau bahkan kemusnahan. Hal ini sebagaimana yang telah disinggung dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 195, “Janganlah biarkan diri kalian (musnah) dalam kerusakan (bahaya)” 

Oleh sebab itulah, Nabi mengambil jalan antisipasi yang kiranya bisa diambil suri tauladan oleh akal sehat manusia, yang dalam hal ini sembunyi dari kejaran musuh. Padahal, waktu itu Nabi sudah mengetahui bahwa beliau akan dilindungi Allah Swt. Ini terbukti ketika beliau keluar dari gua Tsur setelah perginya kaum kafir dari tempat itu. Nabi bersama Abu Bakar melanjutkan perjalanannya menuju Madinah. Namun pada suatu tempat yang sepi, beliau diikuti oleh Suroqoh, seorang kafir Quraisy yang ingin membunuh beliau. Ketika Suroqoh mendekati Nabi dan Abu Bakar seraya menghunuskan pedangnya, tiba-tiba kaki kudanya terperosok ke pasir, dan jatuhlah dia ke tanah. Sehingga rencana pembunuhan pun gagal. Ini adalah bukti bahwa Allah Swt selalu melindungi Nabi.

Dari sini kita bisa ambil kesimpulan, bahwa Nabi berhijrah secara sembunyi-sembunyi bukanlah semata-mata karena takut, melainkan lebih merupakan realisasi tuntunan sebuah wahyu ilahi yang nantinya bisa diambil tauladan bagi kaum muslimin. Sehingga ajaran Islam dapat sesuai dengan akal sehat manusia. Dari sini pula nampak bahwa ajaran Islam datang untuk kemaslahatan umat manusia, bukan malah menjerumuskannya. Wallâhu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar