Kamis, 14 Januari 2010

Angin dan Sang Surya

Alkisah, pada suatu malam, datang badai topan yang Sangat dahsyat di bumi ini. Sang angin kencang itu menghancurkan semua yang ada di atas bumi. Baik tumbuhan, ataupun bangunan semuanya hancur, kecuali beberapa batang pohon saja yang masih mampu bertahan hidup. Pemandangan bumi pun porak-poranda. Ungtungnya masih ada segelintir manusia yang masih hidup, karena mereka bisa menyelamatkan diri. Entah apa sebabnya badai itu terjadi, mungkin Sang Angin sudah kesal dengan apa yang diperbuat manusia selama ini. Karena akhir-akhir ini manusia sering melampaui batas. Mereka melakukan apa yang seharusnya tidak mereka lakukan.

Ketika pagi datang, Sang Surya pun muncul dari ufuk timur. Sang Surya terkejut ketika melihat keadaan bumi yang porak poranda. Ia tak habis pikir mengapa ada oknum yang tega melakukan perbuatan semacam ini. Ia pun berpikir keras kira-kira siapa yang melaku-kannya. “Ah, mungkin ini pekerjaan Si Angin,” gumam Sang Surya.

Tak salah sangka, memang perbuatan biadab itu dilakukan oleh Sang Angin tanpa ada alasan yang jelas. “Akan saya cari dia sampai ketemu,” kata Sang Surya dengan nada geram.
Tak lama setelah Sang Surya mencari, Sang Angin pun datang. Dengan sombongnya, ia berputar-putar mengangkat debu-debu sisa bangunan yang runtuh. “Hei... ke mana saja kau wahai Angin?” tanya Sang Surya. “Hahaha... ada apa kau mencariku wahai Sang Surya?” Sang Angin balik bertanya.
“Kenapa kau tega menghancurkan bumi, padahal bumi adalah tempat tinggal manusia yang juga makhluk Allah seperti kita?” tanya Sang Surya lagi.

“Persetan dengan kau. Ini adalah urusanku, ini adalah mauku, aku sudah bosan melihat bumi,” jawab Sang Angin dengan sombongnya. “Jika kau menentang kemauanku, berarti kau melawanku. Kalau kau benar-benar melawanku, mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang paling berkuasa di antara kita,” lanjut Sang Angin sambil menantang Sang Surya.
“Baiklah, kalau begitu maumu, mari kita bertanding,” sahut Sang Surya.
“Kau lihat orang tua itu?” tanya Sang Surya. “Yang mana..?” tanya Sang Angin. “Yang berpeci yang sedang duduk di bawah pohon itu,” jawab Sang Surya sambil menunjukkan. “Ya, aku melihatnya,” jawab Sang Angin.

Memang, di bawah pohon yang selamat dari ganasnya badai topan tadi malam itu, ada seorang tua renta yang sedang istirahat mengambil nafas dari perjalanan jauh yang telah ia tempuh. Di atas kepalanya, bertengger sebuah peci hitam lusuh yang kadang ia gunakan untuk mengipasi badannya yang kegerahan.
Sang Surya berkata kepada Sang Angin, “Sekarang kita bertanding. Jika kau mampu melepas peci yang dipakai oleh orang tua itu, maka kau menang dan aku harus tunduk kepadamu. Tapi jika kau tidak mampu melepaskannya, sedangkan aku bisa, maka kau harus tunduk kepadaku dan aku berhak menguasai bumi. Bagaimana..?”
“Baiklah, mari kita buktikan siapa yang berhak untuk berkuasa,” kata Sang Angin.
“Kau saja dulu tunjukkan kebolehanmu.” Kata Sang Surya. “Baiklah,” sahut Sang Angin.

Sang Angin mulai menunjukkan kebolehannya. Sebagai langkah pertama, ia menghembuskan Angin sepoi-sepoi kepada oarang tua itu. Setelah tidak ada reaksi dari orang tua itu, Sang Angin menghembuskan lebih kencang lagi. Namun peci yang ada di kepala orang tua itu tidak juga terhempas oleh tiupan Sang Angin. Orang tua itu malah memegang erat pecinya agar tidak terhempas. Sang Angin pun lebih mengencangkan hembusannya sampai batas akhir kemampuannya. Orang tua itu pun memegang pecinya lebih erat lagi sambil berlindung memegang pohon yang ada di sampingnya, agar ia tidak terhempas oleh tiupan Angin. Namun akhirnya orang tua itu jatuh bersamaan dengan tumbangnya pohon yang dipegangnya. Anehnya, orang tua itu jatuh sambil memegang erat peci dan pohon tersebut.

“Sudah cukup wahai Angin. Kau tidak berhasil, sekarang giliranku untuk beraksi,” Kata Sang Surya. Sang Angin hanya diam saja, ia tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengisyaratkan agar Sang Surya memulai menunjukkan kebolehannya.
Sang Surya melihat orang tua itu mulai bangun dari tempat ia jatuh. Orang tua itu merangkak bangun sambil memperbaiki peci yang dikenakannya. Sang Surya pun mulai menunjukkan kebolehannya. Ia mulai beraksi dengan menambah panas sinarannya, sehingga orang tua itu mulai kegerahan. Terlihat orang tua itu mulai sedikit membuka kancing bajunya sambil mengipasi badannya yang mulai kegerahan dengan telapak tangannya.

Meskipun sudah mulai kegerahan, namun orang tua itu belum melepas pecinya. Sang Surya pun mulai menambah lagi pancaran panas sinarannya, sehingga orang tua itu tak tahan menahan gerah badannya. Akhirnya, orang tua itu melepas peci yang sejak tadi bertengger di atas kepalanya itu untuk mengipasi badannya yang kegerahan. Orang tua itu bergumam dalam hatinya, “Ah, kenapa hari ini kok panas sekali ya..? Tadi banyak angin, kok sekarang tidak ada lagi. Ada apa ini?” Sang Surya pun berhasil melepas peci orang tua itu.

Setelah Sang Surya menyaksikan orang tua itu melepas pecinya, Sang Surya hanya tersenyum. Sedangkan Sang Angin hanya melirik cemberut sambil menahan amarah akibat kekalahannya. Sang Surya menghampiri Sang Angin sambil berkata, “Wahai Angin, ingatlah bahwa kekuatan tidak selalu identik dengan kekerasan. Bahkan ia akan lebih terasa jika muncul dari kelembutan.”
Sang angin hanya diam tak mampu berkata sama sekali. Ia mengakui keunggulan Sang Surya dari padanya. Bahkan ia sangat salut dengan kata-kata bijak yang keluar dari mulut Sang Surya tadi. Sambil pergi menyingkir dari Sang Surya, Sang Angin bergumam dalam hatinya, “Betul juga kata Sang Surya, tapi apakah manusia juga faham dengan kata-kata filsafat Sang Surya tadi...?”

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Gimana kalau filsafat kekerasan dibalas dengan kekerasan...??

Posting Komentar