Senin, 01 Februari 2010

Ibnu al-Nafîs: Penemu Sistem Peredaran Darah

Bila menilik sejarah peradaban manusia, kita sebagai umat Islam, patut berbangga dengan apa yang telah dicapai ilmuwan-ilmuwan muslim dahulu kala. Betapa tidak, kemajuan dan perkembangan ilmu dan teknologi zaman modern, pada realitanya merupakan perpanjangan dari hasil inovasi dan kreativitas mereka, terutama dalam bidang ilmu falak, kedokteran, kimia, fisika dan sebagainya.

Salah satu cendekiawan muslim yang telah banyak memberikan sumbangsihnya untuk umat manusia, khususnya dalam bidang medis, adalah Ibnu al-Nafîs. Nama Ibnu al-Nafis nampaknya agak sedikit asing dan kurang populer di telinga kita. Karena itulah, terasa urgen bagi kita untuk mengetahui seluk-beluk serta latar belakang yang memotivasi Ibnu al-Nafis untuk berkutat dan memberdalam ilmu dalam bidang kedokteran.

Nama lengkapnya adalah Abu al-Hasan Alâ’uddîn Ibn Abî al-Hazm, namun populer dengan sebutan Ibnu al-Nafîs al-Qurasyi. Ia dilahirkan di kota Damaskus sekitar tahun 607 H. Ia besar di kota itu dan belajar ilmu kedokteran dari Muhadzibuddîn al-Dakhour, seorang dokter terkenal kala itu. Tak puas belajar ilmu dari orang Islam, beliau juga menimba ilmu, khususnya yang bersifat kedokteran, dari tangan orang Yahudi.

Pada masa kekuasaan dinasti al-Ayyûbi, tepatnya ketika dipimpin oleh Sultan al-Kamil, Ibnu Nafîs hijrah ke Kairo, yang waktu itu menjadi sentral ilmu pengetahuan dan seni. Ia membuka praktek kedokteran di kota ini, yang kemudian Sultan Bybers mengangkatnya sebagai dokter pribadi, dan menjadikannya sebagai kepala rumah sakit di kota itu.

Postur tubuh Ibnu al-Nafîs tinggi, agak kurus. Hidup sekitar delapan puluh tahun, dan beliau wafat di kota Kairo. Ia terkenal memiliki ingatan yang cukup kuat. Inilah yang membuatnya tidak puas jika hanya menguasai ilmu kedokteran saja. Beliau mampu menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan lainnya, seperti mantiq, filsafat, hadis, bahasa Arab, bahkan ilmu ushûl al-fiqh.

Ibnu al-Nafîs terkenal dengan keotentikan pendapatnya serta kebebasan berpikirnya. Dalam menentukan hakekat sesuatu, ia lebih bersandar pada metode empirisme, melalui riset, eksperimen, komparasi, yang kemudian diakhiri dengan konklusi. Dalam memberi pengobatan terhadap pasien, Ibnu al-Nafîs lebih mengutamakan penyuluhan terhadap pengaturan sistem makanan, daripada memberikan obat-obatan kepada pasien tersebut. Ia juga tidak segan-segan memberikan kritik terhadap apa yang dilakukan oleh beberapa ulama kedokteran terdahulu, seperti Galenos, Ibnu Sina dan lainnya. Di samping itu, ia juga terkenal dengan kemahirannya melakukan terapi pengobatan dengan metodologi yang tepat, sehingga banyak orang menyebutnya sebagai “ensiklopedia hidup”.

Ibnu al-Nafîs mengamati peredaran darah melalui keringat manusia, kemudian menelitinya dalam tubuh manusia. Ia menjadi penemu pertama peredaran darah dalam tubuh manusia sebelum Servetus, ilmuwan Spanyol, dan Harvey, ilmuwan Inggris. Ibnu al-Nafîs menekankan bahwasanya darah akan menjadi jernih di paru-paru. Adapun kontribusi dan inovasi Ibnu Nafîs yang paling urgen dapat disimpulkan ke dalam beberapa poin, di antaranya: Pertama, kontribusi pengetahuan akan susunan paru-paru dan pembuluh darah kapiler, serta penjelasan mengenai hal terkecil yang diproduksi paru-paru. Kedua, berupa pemahaman mengenai fungsi paru-paru dan pembuluh darah yang terdapat antara jantung dan paru-paru. Statemen ini, sesungguhnya bertentangan dengan apa yang dituturkan Ibnu Sina dan Aristoteles. Ketiga, berupa penemuan sirkulasi darah kecil. Keempat, memberikan pemahaman mengenai fungsi-fungsi pembuluh darah mahkota, serta mengoreksi kesalahan yang memaparkan bahwa, pensuplaian jantung berasal dari bilik kanan jantung. Kelima, menerangkan hakikat pembaruan darah melalui darah dari paru-paru, di mana hal ini bertentangan dengan opini Galenos yang sempat berkembang pada saat itu. Keenam, menemukan adanya relasi antara produksi paru-paru dan pembuluh darahnya. Ketujuh, Ibnu al-Nafîs juga menetapkan bahwa, pembuluh darah yang berada di paru-paru mengandung darah. Kedelapan, ia menekankan tidak adanya celah antara dua bilik jantung. Kesembilan, memberikan pemahaman akan hubungan mata dengan otak, bahwa mata merupakan alat penglihat.

Sebelum wafat, ia sempat meninggalkan buah karya dalam bidang kedokteran, di antaranya, Asy-Syâmil fi al-Thibb yang terdiri dari 80 bagian. Penjelasan serta ringkasan al-Qânun, karya Ibnu Sina dan sebagainya. Dari sosok Ibnu al-Nafîs, kita mendapatkan sebuah bukti tidak adanya kontradiksi antara ilmu dan agama. Ia dapat menyatukan antara kewajibannya sebagai hamba Allah yang beragama dengan profesi duniawi sebagai dokter yang senantiasa melayani masyarakat. Dari sini dapat kita tarik kesimpulan bahwa, untuk menyempurnakan keilmuan dan kemulyaan kita, maka dua sisi ilmu tidak boleh diabaikan, yakni ilmu duniawi dan ilmu agama. Wallahu a’lam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bisa diambil untuk referensi makalah., sip..

Posting Komentar