Alkisah, seorang ulama besar terserang sakit dan mendekati ajal. Tidak ada yang diperbolehkan berkunjung, kecuali satu orang yang terkenal bakhil. Hal ini membuat orang-orang heran, dan membuat si bakhil berbangga diri. Karena menurutnya, ini merupakan bukti bahwa penilaian orang-orang di sekelilingnya selama ini adalah salah besar.
Namun setelah si bakhil masuk ke dalam kamar sang alim, barulah semuanya terjawab. Dalam pembaringannya, sang alim berkata kepada si bakhil, “Lihatlah kaca jendela itu! Apa yang kau lihat?” Si bakhil melihat ke kaca jendela lalu berkata: “Saya melihat langit biru dan awan berarak-arak di sana.”
“Apalagi?” kata sang alim. “Saya melihat juga pepohonan dan burung-burung berterbangan”.“Apalagi?” ”Saya melihat orang lalu lalang di jalan”. Sang tokoh tersenyum, dan berkata, “Ya, melalui kaca jendela itu kau bisa melihat apa saja yang ada di balik kaca itu. Sekarang tengoklah cermin di sampingmu itu! Apa yang kau lihat?” “Aku hanya melihat wajahku sendiri,” ujar si bakhil.
“Nah, kau lihat sendiri, kaca jendela maupun cermin adalah sama-sama kaca. Bedanya, hanya lapisan tipis dibelakang cermin, yang menyebabkan kau tidak bisa melihat apa-apa selain sosok dirimu sendiri. Kalau kau kikis lapisan itu sampai bersih, cermin itupun akan seperti kaca”. Sang alim berhenti sejenak, baru kemudian melanjutkan. “Begitu pula dengan kau. Bila kau membiarkan hal-hal duniawi terus melekat pada dirimu, kau tidak dapat melihat kebenaran dan keindahan hakiki. Untuk dapat melihat itu semua, kau harus membersihkan lapisan yang menempel pada dirimu”. Si bakhil pun tertunduk, meresapkan dawuh sang tokoh, kemudian dia bertanya “Tuanku, mengapa tuanku mengizinkan aku sendiri menengok tuanku?” Sang tokoh pun menjawab: “Sebab, setelah kematianku, aku akan bertemu mereka di Hari Hisab. Tetapi, aku tidak akan melihatmu lagi, kecuali kau merubah sikap dan perangaimu.” Mendengar penuturan sang tokoh, si bakhil pun menangis dan seketika menyatakan taubat.
Egois, cinta dunia dan bakhil merupakan perangai yang sering kita jumpai pada diri manusia. Pada zaman akhir ini, sifat-sifat tersebut justru dominan di kalangan kita. Kebahagiaan dan konsep hidup hanya dinilai dengan materi. Bukankah tidak selamanya kita hidup di dunia ini? “urip ing donya iku ibarate namung mampir ngombe”. Kehidupan dunia hanyalah sebentar dan di sana ada kehidupan yang lebih hakiki, di mana kita akan bertanggung jawab atas segala yang kita perbuat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar