Jumat, 23 Oktober 2015

Al-Qodhi ‘Abd al-Jabbār; Tokoh Mu‘tazilah

Adanya kontak dengan Yunani, yang salah satunya berslangsung melalui penerjemahan buku-bukun Yunani ke dalam bahasa Arab ternyata memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap dunia Islam. Pola pikir yang mereka usung mampu memberikan warna yang berbeda dalam khazanah pemikiran yang ada, yaitu dominasi penggunaan akal.

Salah satu aliran besar yang pernah berkembang dan yang terkenal dengan pengunggulan akal (rasio) adalah Mu‘tazilah. Tetapi sekalipun demikian, tidak berarti bahwa mereka adalah rasionalis murni, karena ada limitasi syara‘ (syarī‘ah) yang dipakai disamping kepercayaan mereka terhadap kekuatan akal, sehingga kemudian mereka disebut rasionalis Islam. 

Kecenderungan penggunaan akal oleh komunitas ini telah menarik sarjana Eropa karena diantara kelompok atau madhhab yang ada, Mu‘tazilah-lah yang paling dekat dengan cara pandang orang Barat dibanding cara berfikir madhhab Sunnī lainnya. Aliran Mu‘tazilah ini dianggap sebagai kelompok yang sangat rasional dalam membaca teks-teks agama sehingga memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Islam secara umum. 

Corak pemikirannya yang rasional terlihat jelas, minimal dalam pandangan-pandangan teologisnya yang terangkum dalam lima prinsip pokok, yakni al-tawhīd (keesaan Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-wa‘d wa al-wa‘īd (janji dan ancaman), al-manzilah bayn al-manzilatayn (posisi diantara dua posisi), dan amar ma’ruf nahi munkar. Penerimaan secara utuh lima prinsip ini merupakan syarat bagi siapapun yang mengaku pengikut aliran Mu‘tazilah dan mereka yang hanya menerima sebagian tidak dianggap sebagi bagian dari mereka. 

Sebagai pandangan umum, al-ushūl al-khamsah (lima prinsip pokok) tersebut tidak membatasi pengikutnya untuk memberikan interpretasi terhadapnya. Siapapun dari pengikut aliran ini,bebas memberikan argumentasi selama tidak keluar dari koridor prinsip tersebut. Sejauh ini, perbedaan penjabaran itu tidak sampai membawa keretakan dalam tubuh Mu‘tazilah, bahkan ia dengan sendirinya memperkaya keilmuan yang ada. 

Salah satu dari pengikutnya yang juga turut membuka dalam masalah ini adalah Al-Qodhi ‘Abd al-Jabbār, seorang penerus aliran Bashrah setelah Abū ‘Alī dan Abū Hāsyim, yang juga dikenal sebagai tokoh terbesar pada periode kebangkitan kedua, yang telah menelorkan banyak karya terutama tentang ‘Pancasila Mu‘tazilah’ ini. 

Perlu difahami, kelompok Mu‘tazilah terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Bashrah dan aliran Baghdad. Kedua aliran ini memiliki perhatian yang berbeda. Aliran Bashrah di bawah kepemimpinan Abū Hindyal al-Allāf (wafat sekitar 840-850 M) memusatkan perhatiannya pada pemikiran-pemikiran pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara aliran Baghdad dengan tokoh utama Bisyr bin al-Mu‘tamir lebih memperhatikan penyebaran dan penerapan prinsip itu dengan memanfaatkan hubungannya yang dekat dengan kekuasaan khalifah ‘Abbāsiyah. 

Pada masa khalifah al-Ma’mūn (813-833 M) Mu‘tazilah mendapati kejayaannya, bahkan ia dijadikan sebagai madzhab resmi negara waktu itu. Adanya Bayt al-Hikmah dan penerjemahan filsafat Yunani kuno ikut mendukung berkembangnya aliran ini. Namun setelah wafatnya al-Ma’mūn, secara perlahan Mu‘tazilah mengalami kemunduran, terutama pada masa al-Mutawakkil (232-274 H) yang tidak memakai prinsip-prinsip Mu‘tazilah sebagai dasar pemerintahannya. Pada masa itu gaung Mu‘tazilah tidak kedengaran lagi. Baru setelah Banī Buwayhī berkuasa pada abad keempat hijriyah, Mu‘tazilah bangkit kembali, terutama di wilayah Persia. Yang terakhir inilah yang disebut periode kebangkitan kedua. 

Biografi Al-Qodhi ‘Abd al-Jabbār 
Nama lengkap beliau adalah Abū al-Hasan ‘Abd al-Jabbār bin Ahmad bin Khalīl bin ‘Abdullāh al-Hamazānī al-Asadabādī. Al-Hamazānī diambil dari nama sebuah kota di Khurāsān, dan al-Asadabādī diambil dari nama salah satu negeri di Khurāsān. Versi lain mengatakan bahwa Asadabādī adalah kota kecil yang juga merupakan tempat kelahirannya, dan termasuk daerah pegunungan Hamazān di wilayah Khurāsān. 

Ada banyak ahal yang tidak terungkap dari ‘Abd al-Jabbār ini, seperti tentang tahun kelahirannya. Sangat sulit untuk menemukan keterangan yang menjelaskan secara pasti kapan ia dilahirkan. Kalaupun ada, mereka hanya memperkirakan berdasarkan tahun meninggalnya serta sepenggal kisah hidupnya. Sebagaimana yang ditulis dalam muqaddimah al-Mughnī, ‘Abd al-Jabbār wafat pada tahun 415 H dikota Rayy, pada usia 90 tahun. Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa ia lahir sekitar tahun 320-325 H.

 Tidak berbeda jauh dari tahun kelahirannya, latar belakang kahidupannya pun tidak banyak tersentuh sejarah. Ia hanya diketahui berasal dari sebuah keluarga yang tidak beruntung secara materi tetapi mempunyai semangat belajar yang tinggi. Ada sebuah kisah cukup representatif menggangarkan keadaannya ini, bahwa suatu sore ia membeli minyak untuk mengobati penyakit kulit yang sedang dideritanya. Ketika sampai di rumah dan malam mulai merayap, ia dapati minyak lampunya habis. Ia mulai dilematis antara menggunakan minyak tersebut untuk menyalakan lampu supaya bisa membaca, atau untuk mengobati penyakitnya seperti niat semula. Setelah dipertimbangkan, akhirnya ia memutuskan untuk memiliki alternatif yang pertama, yaitu menggunakannya untuk lampu. 

Semangat belajarnya ini juga terlihat dari kegigihannya mencari ilmu dari masa kecil yang dimulai dari kota kelahirannya, Asadabad dan kota tetangga, Qazwin, di bawah bimbingan al-Zubayr bin ‘Abd al-Wahīd (wafat 347 H) dan Abū al-Hasan bin Salmah al-Qaththān (wafat 345 H). Pada tahun 340 H, ia yang masih berumur 17 tahun, pergi ke kota Hamazān untuk belajar Hadits kepada ‘Abd al-Rahmān bin Hamdān al-Jallāb (wafat 346 H) dan Abū Bakr bin Muhammad bin Zakariya. Penting untuk dicatat bahwa sampai sejauh ini ia menganut madzhab Syāfi‘ī dalam bidang fiqh, dan madzhab Asy‘arīyah dalam bidang aqidah. 

Dengan berbekal pengetahuannya itu, ia pergi ke Bashrah yang pada waktu itu merupakan pusat kajian keislaman dan Mu‘tazilah merupakan aliran yang cukup dominan. Dominasi ini sangat kental terasa, salah satunya dari banyaknya forum diskusi dan kajian-kajian yang diadakan oleh aliran ini. Perdebatan-perdebatan yang pernah terjadi merupakan tantangan bagi ‘Abd al-Jabbār, yang pada awalnya selalu angkat tangan bila berhadapan dengan para cendekiawan yang lebih mengunggulkan rasionalis itu untuk belajar lebih giat dan lebih rajin dalam menghadiri halaqah dan forum itu. 

Akhirnya dengan pergesekan intelektual inilah kemudian dia meninggalkan teologi Asy‘arīyah menuju madzhab i‘tizal, atau lebih populer dengan sebutan Mu‘tazilah. Akan tetapi dalam masalah hukum (fiqh), ia tetap menggunakan madzhab Syāfi‘ī. Selain itu, kedekatannya dengan gurunya, Abū Ishāq ‘Alī bin ‘Ayyāsy, murid dan penerus tokoh Mu‘tazilah aliran Bashrah yang cukup terkenal, Abū Hāsyim juga turut berperan dalam pergantian madzhab ini. 

Setelah banyak menimba ilmu di Bashrah, ia pergi ke Baghdad untuk bertemu dan berguru pada Abū ‘Abdullāh al-Bashrī, tokoh Mu‘tazilah dan penganut madzhab Hanafī. Menurut seorang biografer, ‘Abd al-Jabbār ketika itu mengkhawatirkan afiliasinya dengan madzhab Syāfi‘ī dalam bidang fiqh dan berkeinginan mempelajari fiqh Hanafī. Tetapi Abū ‘Abdullāh al-Bashrī yang menjadi penasehatnya menyarankan untuk tetap menjadi tokoh al-Syāfi‘yah. Dan masih dalam bimbingan sang guru, ‘Abd al-Jabbār pada masa ini mulai menulis karya-karyanya. 

Pada permulaan tahun 360 H, ia pergi lagi menuju Ramahurmuz, Khuzistan. Di kota kecil yang merupakan salah satu kubu Mu‘tazilah ini ia mulai mengajar di masjid Abū Muhammad al-Ramahurmuzī. Di sini pula ia mulai mendiktekan bukunya yang terbesar, al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl. 

Dengan tersebarnya reputasi keilmuan ‘Abd al-Jabbār sebagai pengajar sekaligus penulis, al-Shāhib bin Abbād (326-385 H), wazīr terkenal Banī Buwayhī pada masa Mu’ayyid al-Dawlah, mengundangnya untuk diangkat sebagai qādhī al-qudhāh (chief of magistrate), sebuah jabatan prestisius yang pernah diberikan kepada hakim ketua dinasti ‘Abbāsīyah dan dinasti Fāthimīyah pada era selanjutnya. Jabatan ini lebih banyak terkait dengan pengaturan kebijakan politik di bidang peradilan agama yang berwenang mengangkat dan memberhentikan hakim. Selain karena jabatan itu, kecemerlangan ‘Abd al-Jabbār semakin terlihat karena perannya dalam mengaktualisasikan pola pikir Mu‘tazilah. Akhirnya. Tepat pada tahun 415 H/1025 M, al-qādhī, begitu ia biasa dipanggil, menghembuskan nafas terakhirnya di Rayy. 

Karya-karya Al-Qodhi ‘Abd al-Jabbār 
Ada banyak karya yang telah dikeluarkan oleh ‘Abd al-Jabbār. Tidak hanya dalam bidang teologi, tetapi juga fiqh, Hadits, sampai cara berdebat dan serba-serbi nasehat. Menurut al-Hākim al-Jusyamī, tulisan yang dikeluarkan tokoh ini tidak kurang dari 400.000 lembar. Namun sayangnya, sebagian besar karya-karya tersebut tidak diketemukan lagi keberadaannya saat ini, hanya ada beberapa saja yang sampai kepada kita, di antaranya: 
  1. al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl. Kitab ini sebenarnya terdiri dari 20 juz, yang dianggap sebagai representatif pemikiran utuh Mu‘tazilah lewat transformasi ‘Abd al-Jabbār, namun 6 juz diantaranya belum ditemukan hingga kini. 
  2. Syarh al-Ushūl al-Khamsah. Kitab ini merupakan kitab pegangan dasar bagi Mu‘tazilah, karena ia membahas lima prinsip dasarnya. 
  3. Fadhl al-I‘tizāl wa Thabaqāt al-Mu‘tazilah wa Mubayanātuhum li Sā’ir al-Mukhālifīn. Kitab ini berisi pengantar umum bagi paham Mu‘tazilah yang berisi penjelasan mengenai beberapa ajarannya dan kesalahfahaman lawan-lawannya serta biografi tokoh-tokohnya. 
  4. Tanzīh al-Qur’ān al-Mathā‘in, dan masih banyak lagi. 




DAFTAR PUSTAKA 
  • ‘Abd al-Jabbār, Al-Qodhi Abū Hasan. al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl, vol.6. Mesir: al-Mu’assasah al-Mishrīyah al-‘Ammah, 1962. 
  • __________. al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl, vol.20. Kairo: Wizārat al-Tsaqāfah wa al-Irsyād al-Qawmī, 1969. 
  • __________. Syarh al-Ushūl al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah, 1996. 
  • Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, ter. Abd. Rohman Dahlan dan Ahmad  Qarib. Jakarta: Logos Publishing House, 1996. 
  • Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994. 
  • Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophia. New York and London: Columbia University Press, 1970. 
  • Hourani, George F. Islamic Rationalism: The Ethic of Abd al-Jabbar. Oxford: Clarendom Press, 1997. 
  • Machasin, Al-Qadli ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabah al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2000. 
  • Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998. 
  • __________. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986. 
  • Watt, Montgomery. Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973. 
  • __________. Islamic Philosophia and Teology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1987. 
  • Wardani. Epistemologi Kalam Abad Pertengahan. Yogyakarta: LKiS, 2003.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar