Adanya kontak dengan Yunani, yang salah satunya berslangsung
melalui penerjemahan buku-bukun Yunani ke dalam bahasa Arab ternyata memberikan
pengaruh yang cukup besar terhadap dunia Islam. Pola pikir yang mereka usung
mampu memberikan warna yang berbeda dalam khazanah pemikiran yang ada, yaitu
dominasi penggunaan akal.
Salah satu aliran besar yang pernah berkembang
dan yang terkenal dengan pengunggulan akal (rasio) adalah Mu‘tazilah. Tetapi sekalipun
demikian, tidak berarti bahwa mereka adalah rasionalis murni, karena ada
limitasi syara‘ (syarī‘ah) yang dipakai disamping kepercayaan mereka
terhadap kekuatan akal, sehingga kemudian mereka disebut rasionalis Islam.
Kecenderungan penggunaan akal oleh komunitas ini
telah menarik sarjana Eropa karena diantara kelompok atau madhhab yang ada, Mu‘tazilah-lah
yang paling dekat dengan cara pandang orang Barat dibanding cara berfikir
madhhab Sunnī lainnya. Aliran Mu‘tazilah ini dianggap sebagai kelompok yang
sangat rasional dalam membaca teks-teks agama sehingga memberikan kontribusi
yang sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Islam secara umum.
Corak pemikirannya yang rasional terlihat jelas,
minimal dalam pandangan-pandangan teologisnya yang terangkum dalam lima prinsip
pokok, yakni al-tawhīd (keesaan
Tuhan), al-‘adl (keadilan Tuhan), al-wa‘d wa al-wa‘īd (janji dan ancaman),
al-manzilah bayn al-manzilatayn
(posisi diantara dua posisi), dan amar ma’ruf nahi munkar. Penerimaan secara
utuh lima prinsip ini merupakan syarat bagi siapapun yang mengaku pengikut
aliran Mu‘tazilah dan mereka yang hanya menerima sebagian tidak dianggap sebagi
bagian dari mereka.
Sebagai pandangan umum, al-ushūl al-khamsah (lima prinsip pokok) tersebut tidak membatasi pengikutnya untuk memberikan
interpretasi terhadapnya. Siapapun dari pengikut aliran ini,bebas memberikan
argumentasi selama tidak keluar dari koridor prinsip tersebut. Sejauh ini,
perbedaan penjabaran itu tidak sampai membawa keretakan dalam tubuh Mu‘tazilah,
bahkan ia dengan sendirinya memperkaya keilmuan yang ada.
Salah satu dari pengikutnya yang juga turut
membuka dalam masalah ini adalah Al-Qodhi ‘Abd al-Jabbār, seorang penerus
aliran Bashrah setelah Abū
‘Alī dan Abū Hāsyim,
yang juga dikenal sebagai tokoh terbesar pada periode kebangkitan kedua, yang telah
menelorkan banyak karya terutama tentang ‘Pancasila Mu‘tazilah’ ini.
Perlu difahami, kelompok Mu‘tazilah terbagi menjadi dua aliran, yaitu aliran Bashrah dan aliran Baghdad. Kedua aliran ini memiliki perhatian yang berbeda.
Aliran Bashrah di bawah kepemimpinan Abū Hindyal al-Allāf
(wafat sekitar 840-850 M) memusatkan perhatiannya pada pemikiran-pemikiran
pembangunan prinsip-prinsip kepercayaan. Sementara aliran Baghdad dengan tokoh utama Bisyr bin al-Mu‘tamir lebih memperhatikan
penyebaran dan penerapan prinsip itu dengan memanfaatkan hubungannya yang dekat
dengan kekuasaan khalifah ‘Abbāsiyah.
Pada masa khalifah al-Ma’mūn (813-833 M) Mu‘tazilah mendapati kejayaannya, bahkan
ia dijadikan sebagai madzhab resmi negara waktu itu. Adanya Bayt al-Hikmah dan penerjemahan filsafat
Yunani kuno ikut mendukung berkembangnya aliran ini. Namun setelah wafatnya
al-Ma’mūn, secara perlahan Mu‘tazilah mengalami
kemunduran, terutama pada masa al-Mutawakkil (232-274 H) yang tidak memakai
prinsip-prinsip Mu‘tazilah sebagai dasar pemerintahannya. Pada masa itu gaung
Mu‘tazilah tidak kedengaran lagi. Baru setelah Banī Buwayhī berkuasa pada abad
keempat hijriyah, Mu‘tazilah bangkit kembali, terutama di
wilayah Persia. Yang terakhir inilah yang disebut periode kebangkitan kedua.
Biografi Al-Qodhi ‘Abd
al-Jabbār
Nama lengkap beliau adalah Abū al-Hasan ‘Abd
al-Jabbār bin Ahmad bin Khalīl bin ‘Abdullāh al-Hamazānī al-Asadabādī. Al-Hamazānī
diambil dari nama sebuah kota di Khurāsān, dan al-Asadabādī diambil dari nama
salah satu negeri di Khurāsān. Versi lain mengatakan bahwa Asadabādī adalah
kota kecil yang juga merupakan tempat kelahirannya, dan termasuk daerah
pegunungan Hamazān di wilayah Khurāsān.
Ada banyak ahal yang tidak terungkap dari ‘Abd
al-Jabbār ini, seperti tentang tahun kelahirannya. Sangat sulit untuk menemukan
keterangan yang menjelaskan secara pasti kapan ia dilahirkan. Kalaupun ada,
mereka hanya memperkirakan berdasarkan tahun meninggalnya serta sepenggal kisah
hidupnya. Sebagaimana yang
ditulis dalam muqaddimah al-Mughnī, ‘Abd al-Jabbār wafat pada tahun 415 H dikota Rayy, pada usia 90 tahun.
Jadi, dari sini dapat disimpulkan bahwa ia lahir sekitar tahun 320-325 H.
Tidak berbeda jauh dari tahun kelahirannya, latar
belakang kahidupannya pun tidak banyak tersentuh sejarah. Ia hanya
diketahui berasal dari sebuah keluarga yang tidak beruntung secara materi
tetapi mempunyai semangat belajar yang tinggi. Ada sebuah kisah cukup
representatif menggangarkan keadaannya ini, bahwa suatu sore ia membeli minyak untuk
mengobati penyakit kulit yang sedang dideritanya. Ketika sampai di rumah dan
malam mulai merayap, ia dapati minyak lampunya habis. Ia mulai dilematis antara
menggunakan minyak tersebut untuk menyalakan lampu supaya bisa membaca, atau
untuk mengobati penyakitnya seperti niat semula. Setelah dipertimbangkan,
akhirnya ia memutuskan untuk memiliki alternatif yang pertama, yaitu
menggunakannya untuk lampu.
Semangat belajarnya ini juga terlihat dari
kegigihannya mencari ilmu dari masa kecil yang dimulai dari kota kelahirannya,
Asadabad dan kota tetangga, Qazwin, di bawah bimbingan al-Zubayr bin ‘Abd
al-Wahīd (wafat 347 H) dan Abū al-Hasan bin Salmah al-Qaththān (wafat 345 H). Pada
tahun 340 H, ia yang masih berumur 17 tahun, pergi ke kota Hamazān untuk
belajar Hadits kepada ‘Abd
al-Rahmān bin Hamdān al-Jallāb (wafat 346 H) dan Abū Bakr bin Muhammad bin Zakariya.
Penting untuk dicatat bahwa sampai sejauh ini ia menganut madzhab Syāfi‘ī dalam bidang fiqh,
dan madzhab Asy‘arīyah dalam bidang
aqidah.
Dengan berbekal pengetahuannya itu, ia pergi ke Bashrah yang pada waktu itu
merupakan pusat kajian keislaman dan Mu‘tazilah merupakan aliran yang cukup
dominan. Dominasi ini sangat kental terasa, salah satunya dari banyaknya forum
diskusi dan kajian-kajian yang diadakan oleh aliran ini. Perdebatan-perdebatan
yang pernah terjadi merupakan tantangan bagi ‘Abd al-Jabbār, yang pada awalnya
selalu angkat tangan bila berhadapan dengan para cendekiawan yang lebih
mengunggulkan rasionalis itu untuk belajar lebih giat dan lebih rajin dalam
menghadiri halaqah dan forum itu.
Akhirnya dengan pergesekan intelektual inilah kemudian
dia meninggalkan teologi Asy‘arīyah menuju madzhab i‘tizal, atau lebih populer
dengan sebutan Mu‘tazilah. Akan tetapi dalam masalah hukum (fiqh), ia tetap menggunakan
madzhab Syāfi‘ī. Selain itu, kedekatannya
dengan gurunya, Abū Ishāq ‘Alī bin ‘Ayyāsy, murid dan penerus tokoh Mu‘tazilah aliran Bashrah yang cukup terkenal,
Abū Hāsyim juga turut
berperan dalam pergantian madzhab ini.
Setelah banyak menimba ilmu di Bashrah, ia pergi ke Baghdad
untuk bertemu dan berguru pada Abū ‘Abdullāh al-Bashrī, tokoh Mu‘tazilah dan penganut madzhab Hanafī. Menurut
seorang biografer, ‘Abd al-Jabbār ketika itu mengkhawatirkan afiliasinya dengan
madzhab Syāfi‘ī dalam bidang fiqh
dan berkeinginan mempelajari fiqh Hanafī. Tetapi Abū ‘Abdullāh al-Bashrī yang menjadi penasehatnya
menyarankan untuk tetap menjadi tokoh al-Syāfi‘yah. Dan masih dalam bimbingan sang guru, ‘Abd
al-Jabbār pada masa ini mulai menulis karya-karyanya.
Pada permulaan tahun 360 H, ia pergi lagi menuju
Ramahurmuz, Khuzistan. Di kota kecil yang merupakan salah satu kubu Mu‘tazilah
ini ia mulai mengajar di masjid Abū Muhammad al-Ramahurmuzī. Di sini pula ia
mulai mendiktekan bukunya yang terbesar, al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd
wa al-‘Adl.
Dengan tersebarnya reputasi keilmuan ‘Abd al-Jabbār sebagai pengajar
sekaligus penulis, al-Shāhib bin Abbād (326-385 H), wazīr terkenal Banī Buwayhī pada masa Mu’ayyid al-Dawlah,
mengundangnya untuk diangkat sebagai qādhī
al-qudhāh (chief of magistrate), sebuah
jabatan prestisius yang pernah diberikan kepada hakim ketua dinasti ‘Abbāsīyah
dan dinasti Fāthimīyah pada era selanjutnya. Jabatan ini lebih
banyak terkait dengan pengaturan kebijakan politik di bidang peradilan agama
yang berwenang mengangkat dan memberhentikan hakim. Selain karena jabatan itu,
kecemerlangan ‘Abd al-Jabbār semakin terlihat karena perannya dalam
mengaktualisasikan pola pikir Mu‘tazilah. Akhirnya. Tepat pada tahun 415 H/1025
M, al-qādhī, begitu ia biasa dipanggil, menghembuskan nafas
terakhirnya di Rayy.
Karya-karya Al-Qodhi ‘Abd
al-Jabbār
Ada banyak karya yang telah dikeluarkan oleh ‘Abd al-Jabbār. Tidak hanya dalam bidang
teologi, tetapi juga fiqh, Hadits, sampai cara berdebat dan serba-serbi
nasehat. Menurut al-Hākim al-Jusyamī, tulisan yang dikeluarkan tokoh ini tidak kurang dari 400.000 lembar. Namun sayangnya,
sebagian besar karya-karya tersebut tidak diketemukan lagi keberadaannya saat
ini, hanya ada beberapa saja yang sampai kepada kita, di antaranya:
- al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl. Kitab ini sebenarnya terdiri dari
20 juz, yang dianggap sebagai representatif pemikiran utuh Mu‘tazilah
lewat transformasi ‘Abd al-Jabbār, namun 6 juz diantaranya belum ditemukan
hingga kini.
- Syarh al-Ushūl al-Khamsah. Kitab ini merupakan kitab pegangan
dasar bagi Mu‘tazilah, karena ia membahas lima prinsip dasarnya.
- Fadhl al-I‘tizāl wa Thabaqāt al-Mu‘tazilah wa
Mubayanātuhum li Sā’ir al-Mukhālifīn. Kitab ini berisi pengantar umum bagi paham
Mu‘tazilah yang berisi penjelasan mengenai beberapa ajarannya dan
kesalahfahaman lawan-lawannya serta biografi tokoh-tokohnya.
- Tanzīh al-Qur’ān al-Mathā‘in, dan masih
banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
- ‘Abd al-Jabbār, Al-Qodhi Abū Hasan. al-Mughnī
fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl, vol.6. Mesir: al-Mu’assasah al-Mishrīyah
al-‘Ammah, 1962.
- __________. al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl,
vol.20. Kairo: Wizārat al-Tsaqāfah wa al-Irsyād al-Qawmī, 1969.
- __________. Syarh al-Ushūl al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah, 1996.
- Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam, ter. Abd. Rohman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
- Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994.
- Fakhry, Majid. A History of Islamic
Philosophia. New York and London: Columbia University Press, 1970.
- Hourani, George F. Islamic Rationalism: The Ethic of Abd
al-Jabbar. Oxford: Clarendom Press, 1997.
- Machasin, Al-Qadli ‘Abd al-Jabbar,
Mutasyabah al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2000.
- Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.
- __________. Teologi Islam:
Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia
Press, 1986.
- Watt, Montgomery. Formative Period of
Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973.
- __________. Islamic Philosophia and
Teology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1987.
- Wardani. Epistemologi Kalam Abad Pertengahan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar