Hukum Islam sebagai hasil pemikiran dan pemahaman seperti halnya hukum
Islam sebagai wahyu Tuhan memiliki tujuan yang sangat ideal, yang telah
dibukukan bersamaan dengan berkembangnya Islam. Namun dalam perjalannannya, teori-teori
yang telah terbukukan tersebut tidak begitu saja dapat dijalankan dalam
kehidupan umat manusia, ini berarti terdapat kesenjangan antara teori dengan
praktek.
Aplikasi ‘sebagian’ hukum Islam di sejumlah negeri Muslim dianggap telah menimbulkan masalah-masalah serius, bahkan dipandang menabrak nilai-nilai yang diterima secara universal oleh masyarakat dunia, seperti terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Penerapan syariat Islam dianggap oleh sebagian orang berseberangan dengan HAM karena menimbulkan pembatasan terhadap kebebasan beragama, diskriminasi terhadap perempuan, dan diskriminasi terhadap non-muslim.
Oleh karena persepsi semacam itu, sistem hukum Islam yang dianut oleh negara-negara Muslim di dunia inipun berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain. Di antara penyebabnya adalah ketidaksiapan masyarakat negara tersebut dalam menjalankan syari’at Islam. Juga adanya faktor ekstern, yakni propaganda pihak luar terutama kelompok non-muslim yang enggan tunduk di bawah pemerintahan Islam. Bahkan di kalangan masyarakat Islam sendiri ada kelompok yang menolak hukum Islam dengan alasan tidak efektif untuk diterapkan dalam masyarakat negeri yang plural. Kelompok masyarakat yang terakhir inilah yang kemudian dianggap sebagai kelompok sekuler.
Secara garis besar, sistem-sistem hukum di dunia Islam masa kini bisa dibagi menjadi tiga kelompok: (a) sistem-sistem yang masih mengakui syarī‘at sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh, (b) sistem-sistem yang meninggalkan syarī‘at dan menggantikannya dengan hukum yang sekuler, dan (c) sistem-sistem yang mengkompromikan kedua sistem tersebut.
a. sistem pertama
Salah satu di antara contoh negara yang kini masih mempertahankan syarī‘at sebagai hukum asasi dan masih berupaya menerapkannya dalam segala aspek hubungan kemanusiaan adalah negara Saudi Arabia dan Wilayah Utara Nigeria. Arab Saudi adalah negara Islam merdeka yang masih menghargai syarī‘at sebagai hukum yang mengatur segala aspek kehidupan kehidupan.
Namun jika diteliti secara seksama, maka bisa kita temukan bahwa penerapan syarī‘at di Arab Saudi sebenarnya bukanlah penerapan hukum syarī‘at secara sempurna, karena di sana-sini masih terdapat kejanggalan, dalam arti ada beberapa hal yang bukan termasuk hukum Islam namun mereka praktekkan dalam kehidupan mereka.
Saudi Arabia sekarang tidak mencerminkan kenyataan yang ada secara keseluruhan. Karena dalam prakteknya, banyak kebijakan yang berkaitan dengan hukum –khususnya dalam bidang perdagangan– yang diintervensi oleh pihak Barat, terutama Amerika. Bahkan terjadi kesepakatan antara Saudi Arabia dengan pihak Barat untuk membuat undang-undang perdagangan dengan berdasarkan hukum konvesional.
Satu hal yang patut dicermati dalam perkembangan hukum Islam di Saudi Arabia, bahwa kerajaan Saudi Arabia yang dikenal sebagai pengikut aliran Wahabi yang identik dengan ajaran-ajaran madzhab Hanbali ini, tidak keberatan untuk mengikuti ajaran madzhab-madzhab Sunnī lainnya sepanjang sesuai dengan keadaan. Dengan demikian, para pakar hukum Islam (ulama) Saudi Arabia mengkombinasikan berbagai madzhab untuk membentuk peraturan tunggal.
b. sistem kedua
Negara Muslim yang menganut sistem kedua ini adalah Turki. Jika di Saudi Arabia syarī‘at Islam diakui sebagai hukum fundamental dalam hukum publik maupun hukum sipil, maka Turki sebaliknya. Di negara ini syarī‘at Islam secara resmi sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1926, hukum Swiss dan sebagian hukum Eropa lainnya ditetapkan sebagai pengganti hukum syarī‘at di Turki. Bukan hanya masalah peradilan, bahkan masalah keluarga pun ditetapkan menggunakan hukum baru yang diambil dari Eropa tersebut.
Undang-Undang Sipil dan Undang-Undang Pidana yang diterbitkan tahun 1926, diadopsi dari Undang-Undang Kriminal Italia tahun 1889 dan Undang-Undang Sipil Swiss tahun 1920. Upaya adopsi secara besar-besaran ini ditempuh karena perbedaan internal para ahli hukum agama yang gagal mengusahakan Undang-Undang yang didasarkan pada syarī‘at.
Usaha adopsi dari hukum Eropa yang dilakukan Turki sejatinya telah berlangsung sejak Imperium Uthmani menguasai negeri ini, tepatnya pada abad 19, namun saat itu hukum syarī‘at masih mendominasi hukum yang berlaku di Turki. Adapun hukum yang berasal dari Eropa mereka sebut dengan istilah Kanon untuk membedakan antara hukum Islam dan hukum sekuler yang berasal dari Eropa.
Satu catatan penting yang patut diperhatikan, bahwa mayoritas rakyat Turki tetap yakin bahwa mereka adalah Muslim. Bahkan di kalangan para penguasa pun sebagian besar menegaskan bahwa mereka tidak menolak Islam, mereka hanya mengikuti sikap Barat yang menyatakan bahwa agama adalah masalah pribadi antara individu dengan Tuhan, bukan sistem yang harus dilaksanakan oleh negara. Namun di kalangan masyarakat kampung pedalaman, hukum perdata Islam (perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perwakafan) lebih banyak dipraktekkan daripada hukum positif resmi pemerintah.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, khususnya sejak pemilihan umum tahun 1973, tampaknya peranan Islam semakin menonjol dalam kehidupan sosial masyarakat Turki. Di lain pihak, paham Kemalisme yang dahulu diagung-agungkan, kini semakin kurang mendapatkan dukungan, sehingga muncul semacam geliat kesadaran untuk kembali kepada hukum Islam secara kāffah.
c. sistem ketiga
Sistem ketiga adalah mengambil jalan tengah, yakni melaksanakan hukum Islam secara penuh tetapi juga melaksanakan sistem sekuler. Negara-negara yang termasuk mengambil jalan tengah di antara dua hukum ini antara lain Mesir, Suriah, Yordania, Sudan, Lebanon, Irak, Tunisia dan Maroko.
Dalam negara-negara Muslim yang menganut sistem ketiga ini terjadi dikotomi hukum yang sebagian diwarnai oleh aturan hukum yang berinspirasi khas Barat, dan sebagian lainnya tetap berada di bawah naungan syarī‘at. Negara-negara semacam ini lebih memfokuskan hukum yang bersandar pada syarī‘at (hukum Islam) hanya pada aturan-aturan hukum di bidang perdata (perwakinan, perceraian, kewarisan dan perwakafan). Sedangkan hukum pidana dan perdagangan harus menganut sistem Barat sekuler.
Salah satu contoh yang paling mencolok mengenai sistem pertama ini terdapat dalam pemerintahan negara Mesir. Di bidang administrasi hukum, Mesir telah menerapkan kitab hukum pidana dan perdata pada abad kesembilan belas. Sebuah Kitab Hukum Perdata baru berdasarkan model Kitab Hukum Perdata Perancis telah diberlakukan pada tahun 1875. Sistem peradilan ganda (campuran) dibentuk pada tahun 1875 untuk mempersempit kompetensi (kewenangan hukum) peradilan syarī‘at dan untuk memperkokoh sistem hukum alternatif. Bahkan, Kitab Hukum Perdata yang lain diberlakukan pada tahun 1949, dan pada tahun 1955 pemerintah Mesir menggabungkan peradilan syarī‘at dan peradilan sipil yang menangani hukum keluarga (al-ahwāl al-syakhshiyyah). Meskipun syarī‘at Islam tetap diberlakukan, kitab-kitab hukum Islam (fiqh) telah dimasukkan ke dalam yurisdiksi pemerintahan.
Dalam bidang hukum keluarga, pemerintah Mesir tidak merujuk pada satu aliran hukum (madzhab) tertentu, melainkan mengkombinasikan beberapa madzhab dengan mengambil pendapat yang lebih tepat dengan situasi dan kondisi masyarakat Mesir. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses interaksi yang berkaitan dengan hukum di antara masyarakat.
Dari tiga contoh sistem hukum yang dianut negara-negara muslim terebut, kita dapati fakta bahwa tidak satu negara muslim pun yang mempraktekan hukum syari'at Islam secara sempurna. Bisa jadi disebabkan karena ketidaksiapan masyarakat Islam itu sendiri, bahkan -ironisnya- karena keengganan mereka dalam mengaplikasikan hukum yang diajarkan Tuhan mereka sendiri.
Aplikasi ‘sebagian’ hukum Islam di sejumlah negeri Muslim dianggap telah menimbulkan masalah-masalah serius, bahkan dipandang menabrak nilai-nilai yang diterima secara universal oleh masyarakat dunia, seperti terhadap hak-hak asasi manusia (HAM). Penerapan syariat Islam dianggap oleh sebagian orang berseberangan dengan HAM karena menimbulkan pembatasan terhadap kebebasan beragama, diskriminasi terhadap perempuan, dan diskriminasi terhadap non-muslim.
Oleh karena persepsi semacam itu, sistem hukum Islam yang dianut oleh negara-negara Muslim di dunia inipun berbeda-beda antara satu negara dengan negara yang lain. Di antara penyebabnya adalah ketidaksiapan masyarakat negara tersebut dalam menjalankan syari’at Islam. Juga adanya faktor ekstern, yakni propaganda pihak luar terutama kelompok non-muslim yang enggan tunduk di bawah pemerintahan Islam. Bahkan di kalangan masyarakat Islam sendiri ada kelompok yang menolak hukum Islam dengan alasan tidak efektif untuk diterapkan dalam masyarakat negeri yang plural. Kelompok masyarakat yang terakhir inilah yang kemudian dianggap sebagai kelompok sekuler.
Secara garis besar, sistem-sistem hukum di dunia Islam masa kini bisa dibagi menjadi tiga kelompok: (a) sistem-sistem yang masih mengakui syarī‘at sebagai hukum asasi dan kurang lebihnya masih menerapkannya secara utuh, (b) sistem-sistem yang meninggalkan syarī‘at dan menggantikannya dengan hukum yang sekuler, dan (c) sistem-sistem yang mengkompromikan kedua sistem tersebut.
a. sistem pertama
Salah satu di antara contoh negara yang kini masih mempertahankan syarī‘at sebagai hukum asasi dan masih berupaya menerapkannya dalam segala aspek hubungan kemanusiaan adalah negara Saudi Arabia dan Wilayah Utara Nigeria. Arab Saudi adalah negara Islam merdeka yang masih menghargai syarī‘at sebagai hukum yang mengatur segala aspek kehidupan kehidupan.
Namun jika diteliti secara seksama, maka bisa kita temukan bahwa penerapan syarī‘at di Arab Saudi sebenarnya bukanlah penerapan hukum syarī‘at secara sempurna, karena di sana-sini masih terdapat kejanggalan, dalam arti ada beberapa hal yang bukan termasuk hukum Islam namun mereka praktekkan dalam kehidupan mereka.
Saudi Arabia sekarang tidak mencerminkan kenyataan yang ada secara keseluruhan. Karena dalam prakteknya, banyak kebijakan yang berkaitan dengan hukum –khususnya dalam bidang perdagangan– yang diintervensi oleh pihak Barat, terutama Amerika. Bahkan terjadi kesepakatan antara Saudi Arabia dengan pihak Barat untuk membuat undang-undang perdagangan dengan berdasarkan hukum konvesional.
Satu hal yang patut dicermati dalam perkembangan hukum Islam di Saudi Arabia, bahwa kerajaan Saudi Arabia yang dikenal sebagai pengikut aliran Wahabi yang identik dengan ajaran-ajaran madzhab Hanbali ini, tidak keberatan untuk mengikuti ajaran madzhab-madzhab Sunnī lainnya sepanjang sesuai dengan keadaan. Dengan demikian, para pakar hukum Islam (ulama) Saudi Arabia mengkombinasikan berbagai madzhab untuk membentuk peraturan tunggal.
b. sistem kedua
Negara Muslim yang menganut sistem kedua ini adalah Turki. Jika di Saudi Arabia syarī‘at Islam diakui sebagai hukum fundamental dalam hukum publik maupun hukum sipil, maka Turki sebaliknya. Di negara ini syarī‘at Islam secara resmi sudah dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada tahun 1926, hukum Swiss dan sebagian hukum Eropa lainnya ditetapkan sebagai pengganti hukum syarī‘at di Turki. Bukan hanya masalah peradilan, bahkan masalah keluarga pun ditetapkan menggunakan hukum baru yang diambil dari Eropa tersebut.
Undang-Undang Sipil dan Undang-Undang Pidana yang diterbitkan tahun 1926, diadopsi dari Undang-Undang Kriminal Italia tahun 1889 dan Undang-Undang Sipil Swiss tahun 1920. Upaya adopsi secara besar-besaran ini ditempuh karena perbedaan internal para ahli hukum agama yang gagal mengusahakan Undang-Undang yang didasarkan pada syarī‘at.
Usaha adopsi dari hukum Eropa yang dilakukan Turki sejatinya telah berlangsung sejak Imperium Uthmani menguasai negeri ini, tepatnya pada abad 19, namun saat itu hukum syarī‘at masih mendominasi hukum yang berlaku di Turki. Adapun hukum yang berasal dari Eropa mereka sebut dengan istilah Kanon untuk membedakan antara hukum Islam dan hukum sekuler yang berasal dari Eropa.
Satu catatan penting yang patut diperhatikan, bahwa mayoritas rakyat Turki tetap yakin bahwa mereka adalah Muslim. Bahkan di kalangan para penguasa pun sebagian besar menegaskan bahwa mereka tidak menolak Islam, mereka hanya mengikuti sikap Barat yang menyatakan bahwa agama adalah masalah pribadi antara individu dengan Tuhan, bukan sistem yang harus dilaksanakan oleh negara. Namun di kalangan masyarakat kampung pedalaman, hukum perdata Islam (perkawinan, perceraian, kewarisan, dan perwakafan) lebih banyak dipraktekkan daripada hukum positif resmi pemerintah.
Dalam perkembangan akhir-akhir ini, khususnya sejak pemilihan umum tahun 1973, tampaknya peranan Islam semakin menonjol dalam kehidupan sosial masyarakat Turki. Di lain pihak, paham Kemalisme yang dahulu diagung-agungkan, kini semakin kurang mendapatkan dukungan, sehingga muncul semacam geliat kesadaran untuk kembali kepada hukum Islam secara kāffah.
c. sistem ketiga
Sistem ketiga adalah mengambil jalan tengah, yakni melaksanakan hukum Islam secara penuh tetapi juga melaksanakan sistem sekuler. Negara-negara yang termasuk mengambil jalan tengah di antara dua hukum ini antara lain Mesir, Suriah, Yordania, Sudan, Lebanon, Irak, Tunisia dan Maroko.
Dalam negara-negara Muslim yang menganut sistem ketiga ini terjadi dikotomi hukum yang sebagian diwarnai oleh aturan hukum yang berinspirasi khas Barat, dan sebagian lainnya tetap berada di bawah naungan syarī‘at. Negara-negara semacam ini lebih memfokuskan hukum yang bersandar pada syarī‘at (hukum Islam) hanya pada aturan-aturan hukum di bidang perdata (perwakinan, perceraian, kewarisan dan perwakafan). Sedangkan hukum pidana dan perdagangan harus menganut sistem Barat sekuler.
Salah satu contoh yang paling mencolok mengenai sistem pertama ini terdapat dalam pemerintahan negara Mesir. Di bidang administrasi hukum, Mesir telah menerapkan kitab hukum pidana dan perdata pada abad kesembilan belas. Sebuah Kitab Hukum Perdata baru berdasarkan model Kitab Hukum Perdata Perancis telah diberlakukan pada tahun 1875. Sistem peradilan ganda (campuran) dibentuk pada tahun 1875 untuk mempersempit kompetensi (kewenangan hukum) peradilan syarī‘at dan untuk memperkokoh sistem hukum alternatif. Bahkan, Kitab Hukum Perdata yang lain diberlakukan pada tahun 1949, dan pada tahun 1955 pemerintah Mesir menggabungkan peradilan syarī‘at dan peradilan sipil yang menangani hukum keluarga (al-ahwāl al-syakhshiyyah). Meskipun syarī‘at Islam tetap diberlakukan, kitab-kitab hukum Islam (fiqh) telah dimasukkan ke dalam yurisdiksi pemerintahan.
Dalam bidang hukum keluarga, pemerintah Mesir tidak merujuk pada satu aliran hukum (madzhab) tertentu, melainkan mengkombinasikan beberapa madzhab dengan mengambil pendapat yang lebih tepat dengan situasi dan kondisi masyarakat Mesir. Hal ini dilakukan untuk mempermudah proses interaksi yang berkaitan dengan hukum di antara masyarakat.
Dari tiga contoh sistem hukum yang dianut negara-negara muslim terebut, kita dapati fakta bahwa tidak satu negara muslim pun yang mempraktekan hukum syari'at Islam secara sempurna. Bisa jadi disebabkan karena ketidaksiapan masyarakat Islam itu sendiri, bahkan -ironisnya- karena keengganan mereka dalam mengaplikasikan hukum yang diajarkan Tuhan mereka sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmed, Akbar S. Citra Muslim: Tinjauan Sejarah dan Sosiologi, ter. Nunding Ram
dan Ramli Yakub. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1992.
2. Azizy, A. Qodri. Elektisisme Hukum Nasional: Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Umum.
Yogyakarta: Gama Media, 2002.
3. Isroqunnajah. “Hukum Keluarga Islam di
Turki”, dalam Hukum Keluarga di Dunia
Islam Modern. ed. M. Atho’ Mudzhar dan Khairuddin Nasution. Jakarta:
Ciputat Press, 2003.
4. Mu’allim, Amir dan Yusdani. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam.
Yogyakarta: UII Press, 1999.
5. Tebba, Sudirman. Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara. Bandung:
Mizan, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar