Sudah bukan suatu rahasia lagi bila fiqih biasa dikorelasikan dengan usaha memperbaharui, ketika dekonstruksi merupakan suatu yang tabu untuk diketengahkan. Sesuai namanya yang secara etimologis berarti pemahaman, fiqih merupakan cabang ilmu yang memuat ratusan, bahkan ribuan polemik disertai variasi dalil berupa wahyu ilahi dengan kombinasi penalaran, sehingga tak mengherankan bila opini yang terbentuk akan beragam sesuai dengan tingkat interpretasi fuqoha’.
Karena fiqih mempunyai karakter ‘amaliyah, maka tak selayaknya kita menuduh ilmu fiqih sebagai sumber perselisihan di kalangan ulama. Karena dari kata ‘amaliyah itu sendiri bisa diambil suatu deskripsi bahwa fiqih merupakan ilmu yang menitikberatkan terhadap aktifitas hissi anggota tubuh seorang mukallaf, yang mesti disesuaikan dengan kondisi dan realita sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik di suatu kawasan.
Karena fiqih mempunyai karakter ‘amaliyah, maka tak selayaknya kita menuduh ilmu fiqih sebagai sumber perselisihan di kalangan ulama. Karena dari kata ‘amaliyah itu sendiri bisa diambil suatu deskripsi bahwa fiqih merupakan ilmu yang menitikberatkan terhadap aktifitas hissi anggota tubuh seorang mukallaf, yang mesti disesuaikan dengan kondisi dan realita sosial, ekonomi, budaya dan bahkan politik di suatu kawasan.
Jadi, wajar-wajar saja bila opini seorang faqih akan berbeda dengan yang lainnya, meski akhirnya nanti akan diketemukan sebuah pendapat yang rajih (yang dianggap mendekati kebenaran). Namun yang perlu digarisbawahi bersama adalah, bahwa hal ini tidak berarti pendapat yang rajih adalah yang paling benar, mengingat tingkat dan standar subyektifitas serta obyektifitas perajih berbeda-beda. Singkatnya, fiqih secara tak langsung bersifat kondisional dan temporal.
Atho’ Muzhhar mensinyalir, bahwa untuk memperlakukan fiqih secara proporsional diperlukan tiga hal. Pertama, fiqih hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum Islam. Kedua, karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fiqih sebenarnya tidak boleh resistan terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian. Dan ketiga, membiarkan fiqih sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa berlakunya adalah sama dengan menghalalkan produk pemikiran manusia yang semestinya temporal.
Untuk mereaktualisasikan ajaran-ajaran Islam secara komprehensif, kita harus memiliki perspektif bahwa fiqih merupakan ekspresi keragaman partikular, bukan ekspresi kesatuan hukum Islam yang universal. Selain itu, kita juga mesti memiliki anggapan bahwa munculnya sebuah pendapat dari mujtahid tidak lain kecuali bersifat respon belaka, atau refleksi kenyataan yang ada secara realis yang terkait dengan tempat dan waktu.
Oleh karena itulah, secara teoritis, penutupan pintu ijtihad akan berimplikasi terhadap perkembangan fiqih itu sendiri, yang kemudian membuatnya stagnan alias mandek dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Padahal arus kehidupan di bumi ini terus berputar dan permasalahan fiqhiyyah dari masa ke masa bertambah kompleks. Maka sungguh ironis bila kita mengklaim bahwa pintu ijtihad benar-benar tertutup untuk dieksplorasi dan digali. Contoh paling sederhana pernah dibuktikan Imam al-Syafi’i ketika di Mesir. Beliau merombak hampir setiap fatwanya yang pernah dilontarkan ketika di Iraq, karena pengaruh perbedaan lingkungan, adat-istiadat antara penduduk Mesir dan Iraq saat itu. Bahkan pada zaman sahabat pun pernah berlaku ketentuan adanya proses perubahan hukum.
Maka urgensitas pembaharuan fiqih Islam bukanlah sebuah utopia belaka, karena ia akan memberikan penilaian sejauh mana ajaran-ajaran Islam tetap relevan dengan segala dimensi kehidupan. Dan karena fiqih Islam itu bersifat elastis, tidak kaku, maka pembaharuan di bidang tersebut menjadi lahan garapan para fuqoha’ dan para intelektual muslim lainnya. Inilah yang merupakan salah satu keistimewaan cabang ilmu fiqih tersebut.
Usaha untuk mengutak-atiknya, meruduksinya, atau bahkan merombaknya sama sekali, asal tidak bertentangan dengan dalil-dalil syar’i, ditambah juga dengan adanya pemahaman terhadap faktor-faktor sosio-kultural dan politik di suatu tempat adalah suatu kewajaran, atau bahkan menjadi suatu keharusan bagi seorang mujtahid sekaligus mujaddid. Maka hasil yang didapat nantinya seperti apa yang pernah dikemukakan Nurcholis Majid bahwa fiqih Islam yang sangat inner dynamicsnya dan sistem hukum Islam lainnya akan memiliki kesempatan besar untuk diterapkan di zaman modern ini. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar