Sayyid Quthb adalah salah satu di antara beberapa tokoh Islam yang perlu
ditadabburi dalam hal memegang sebuah prinsip. Fase hidupnya tidak terlepas
dari proses pencarian sebuah keyakinan. Dimulai dari seorang pegawai sederhana
di Departemen Pendidikan, kemudian menjadi sastrawan terkemuka yang akhirnya
menjadi seorang pemikir Islam. Keyakinan terhadap prinsip yang kemudian
mengantarkannya hidup di penjara bertahun-tahun dan mati di tiang gantungan.
Mengungkap kembali perjalanan hidup Sayyid Quthb merupakan hal yang cukup
menarik, karena beliau adalah proses reaktualisasi sejarah seorang da’i yang
berjuang melalui pena. Bukan itu saja, bahkan beliau mampu menjadi sebuah
fenomena di bidang sastra, khususnya sastra Islam. Setelah bergabung dengan
gerakan Ikhwanul Muslimin, ada transformasi sastra dalam setiap tulisannya,
nuansa Islami sangat kental dirasakan.
Tulisan sederhana ini mencoba mengulas kembali sepenggal kisah hidup Sayyid
Quthb dengan dijadikan tiga bagian; (a) biografi singkat Sayyid Quthb, (b) Sayyid Quthb
sebagai seorang sastrawan, serta (c) Sayyid Quthb dan gerakan Ikhwanul Muslimin.
Mudah-mudahan kita bisa mentadabburi perjuangan Sayyid Quthb untuk
mempertahankan dan memperjuangkan prinsip yang diyakininya.
Biografi Singkat Sayyid Quthb
Sayyid Quthb lahir pada tanggal 9 Oktober 1906 M, dari rahim seorang ibu
sederhana di desa Musyah di bilangan propinsi Asyuth, Mesir. Beliau adalah anak
kedua dari empat bersaudara. Anak tertua seorang perempuan, Hamidah Quthb.
Muhammad Quthb anak ketiga, dan yang terakhir Aminah Quthb. Sejak kecil mereka
telah dikenalkan dengan lingkungan islami dan dibesarkan dengan didikan islami
pula. Fathimah, sang ibu selalu menjaga pergaulan anak-anaknya dari lingkungan
jahiliyah. Tidak heran, jika dari keluarga ini kemudian lahir para penulis
Islam yang handal. Keempatnya pernah membuat satu bunga rampai yang diberi
judul al-Atyaf al-‘Arba’ah.
Sebelum genap berusia sepuluh tahun, Sayyid Quthb telah menghafal al-Qur’an
sebagaimana harapan ibunya. Dalam bukunya Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an
beliau mengatakan, “Harapan ibu yang paling besar terhadapku adalah agar Allah
berkenan membuka hatiku, hingga aku bisa menghafal al-Qur’an dan membacanya di
hadapan ibu dengan baik. Sekarang saya telah hafal al-Qur’an, dengan demikian
saya telah menunaikan sebagian harapan ibu.”
Pada tahun 1918 beliau menamatkan pendidikan dasarnya di desa Musyah. Tahun
1920 beliau kemudian merantau ke Kairo dan tinggal bersama pamannya untuk
meneruskan sekolah ke jenjang menengah di Madrasah Abdul Aziz (sekolah guru
menengah). Lima tahun setelah itu, beliau melanjutkan pendidikan ke jenjang
menengah atas di sekolah menengah Darul Ulum. Kemudian pada tahun 1929 Sayyid Quthb
terdaftar sebagai mahasiswa di fakultas adab universitas Darul Ulum Kairo, dan
tamat pada tahun 1933.
Setelah lulus kuliah, Sayyid Quthb dilantik oleh Departemen Pendidikan
menjadi guru madrasah Dawudiyah. Kemudian dipindah di madrasah Dimyath pada
tahun 1935. Pada tahun 1936 dipindah lagi ke Helwan. Sejak tahun 1940 sampai
1945 beliau ditarik dari dunia pengajaran dan diperbantukan di kantor
Departemen Pendidikan. Pada tahun 1948 beliau mendapat kepercayaan menjadi
utusan Departemen Pendidikan Mesir ke Amerika.
Selama dua tahun beliau bermukim di Amerika untuk mempelajari metode
pengajaran di Amerika sebagai studi banding dengan sistem pendidikan di Mesir.
Tepatnya pada 20 Agustus 1950 Sayyid Quthb kembali ke Mesir dan diperbantukan
menjadi pengawas di tehnikal riset Departemen Pendidikan Mesir. Tahun 1952
Sayyid Quthb mengundurkan diri dari tugas kepegawaian dan mulai berkecimpung di
dunia pers sambil tetap aktif menulis.
Menginjak usia empat puluh lima tahun, Sayyid Quthb mulai bergabung dengan gerakan
Ikhwanul Muslimin, dan pada tahun 1954 beliau dipercaya menjadi pemimpin
redaksi majalah resmi Ikhwanul Muslimin. Di tahun yang sama beliau ditangkap
bersama dengan beberapa pemimpin Ikhwanul Muslimin dan mendekam di penjara selama dua
bulan.
Belum cukup beristirahat, pada tahun 1954 Sayyid Quthb kembali ditangkap
oleh pemerintah Mesir dengan tuduhan terlibat usaha pembunuhan terhadap
presiden yang berkuasa, Jamal Abdul Naser. Dalam persidangan militer yang
dipimpin oleh Jamal Salim yang beranggotakan Anwar Sadat dan Husein Syafi’i,
Sayyid Quthb dijatuhi hukuman 15 tahun penjara. Melalui permohonan presiden
Irak ketika itu, Abdussalam Arif, Sayyid Quthb mendapat pemotongan masa hukuman
(remisi) dan dikeluarkan dari penjara pada tahun 1964.
Pada tanggal 9 Agustus 1965, untuk ketiga kalinya Sayyid Quthb kembali
ditahan dengan tuduhan merencanakan kudeta untuk menggulingkan pemerintah dan
usaha pembunuhan presiden. Melalui persidangan militer yang dipimpin oleh Fuad
al-Dajwa, tanggal 12 Agustus 1965 dijatuhkan hukuman mati untuk Sayyid Quthb
yang pelaksanaannya dijadwalkan pada tanggal 21 Agustus 1966.
Mengetahui putusan hakim, banyak pihak yang bersimpati kepada Sayyid Quthb,
dan mengirimkan surat permohonan kepada Jamal Abdul Naser untuk memberikan
grasi bagi Sayyid Quthb. Bahkan di Pakistan terjadi demo besar-besaran. Demo
ini digerakkan oleh berbagai organisasi Islam dengan tujuan meminta presiden
Jamal Abdul Naser mencabut kembali tuduhan bagi Sayyid Quthb dan membebaskannya
dari hukuman mati.
Para pemimpin negara pun tidak ketinggalan. Di antaranya Raja Faishal dari
Saudi Arabia mengirim surat permohonan kepada presiden Jamal Abdul Naser untuk pembebasan Sayyid Quthb. Pada tanggal 28
Agustus 1966 surat permohonan dari Raja Faishal sampai ke tangan pembantu
presiden Jamal Abdul Naser, Sami Syaraf. Ketika surat itu akan diberikan, Jamal
Abdul Naser menolak, kemudian menginstruksikan kedapa Sami Syaraf, “pancunglah
ia di waktu subuh, baru kemudian engkau berikan surat itu kepadaku”.
Di pagi dini hari, tepatnya tanggal 29 Agustus 1966, dalam umurnya yang
ke-60 Sayyid Quthb dipancung di penjara militer. Presiden Jamal Abdul Naser
kemudian mengirimkan surat permohonan maaf kepada Raja Faishal dan mengabarkan
bahwa surat Sang Raja sampai ke tangannya setelah pelaksanaan hukuman.
Bersambung ke: Sayyid Quthb; Seorang Sastrawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar