Sejak kecil, Sayyid Quthb telah tertarik dengan dunia sastra. Kecenderungan
sastra semakin tumbuh ketika ia dikenalkan oleh beberapa penduduk desa yang
belajar di Kairo dengan beberapa penyair terkenal Mesir. Nama-nama penyair
seperti Ahmad Syauqi, Hafidz Ibrahim telah menghiasi pikirannya. Kecenderungan
ini sempat dibaca oleh kepala sekolah tempat Sayyid Quthb belajar. Beberapa
bait syair Tsabit Jarjawi sering diberikan kepala sekolah kepada Sayyid Quthb
untuk dihafal.
Dalam bukunya Tashwir al-Fanni fi al-Qur’an, beliau menceritakan, ketika
selesai dari pendidikan dasar, Sayyid Quthb tidak langsung melanjutkan ke
jenjang berikutnya. Waktu itu beliau baru berumur sepuluh tahun, sementara
syarat diterima di pendidikan menengah (Madrasah Abdul Aziz) harus berusia lima
belas tahun. Dalam masa penantian, Sayyid Quthb mengisi waktu luangnya dengan
membaca buku. Karena ukuran badannya yang tergolong kecil, beliau tidak kuat
untuk bekerja membantu ayahnya bekerja di sawah seperti kebanyakan anak desa. Berbagai
buku dilahap Sayyid Quthb kecil, mulai dari kisah-kisah kepahlawanan sampai
buku-buku agama. Bahkan beliau mempunyai perpustakaan pribadi di rumahnya.
Karena hobi gemar membaca inilah Sayyid Quthb disegani oleh masyarakat desanya
yang tergolong masyarakt menengah ke bawah dan banyak yang buta huruf.
Ketika mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Kairo, beliau
tidak menyia-nyiakannya. Hidup dan belajar di Kairo adalah kesempatan emas bagi
Sayyid Quthb, karena dapat langsung berhubungan dengan para penyair besar
Mesir. Selama hidup di Kairo, beliau mulai mengasah bakatnya di bidang sastra.
Beliau intens mengikuti berbagai kajian-kajian sastra.
Pada awalnya Sayyid Quthb sangat tertarik dengan aliran sastra yang dibawa
oleh Abbas Mahmud al-Aqqad. Sejak tahun 1923 Sayyid Quthb begitu intens
menghadiri halaqah Abbas Mahmud al-Aqqad di setiap tempat, dan menjadikannya
sebagai jurusan sastra. Setidaknya ada dua alasan kenapa Sayyid Quthb tertarik
kepada al-Aqqad;
Pertama; Sayyid Quthb termasuk warga kelas menengah ke bawah dari segi
ekonomi. Pada waktu itu Mesir tergolong negara miskin. Kesempatan belajar di
sekolah-sekolah favorit hanya milik orang kaya. Orang miskin tidak punya banyak
kesempatan untuk menimba ilmu jika tidak memiliki indeks prestasi yang tinggi.
Sebagai anak desa, Sayyid Quthb juga mengalami hal yang sama. Kesulitan hidup
di Kairo membawa pengaruh kepada pola pemikirannya. Beliau tidak menyerah
dengan keadaan, tetapi malah berontak dengan lingkungan. Beliau mengkritisi
tatanan sosial masyaraktnya. Untuk itu, beliau sangat mengidolakan sastrawan
yang sejalan dengan pola pikirannya, yang dalam hal itu beliau dapati dalam
sosok Abbas Mahmud al-Aqqad.
Kedua; Abbas Mahmud al-Aqqad adalah termasuk pembaharu dalam bidang sastra
pada zamannya. Kelebihan al-Aqqad dibanding sastrawan lain pada zamannya adalah
beliau lebih mampu membaca karya-karya sastra penulis Barat. Waktu itu termasuk aib
bagi seorang penulis bila tidak menguasai bahasa asing. Dalam
tulisan-tulisannya, al-Aqqad sering mengkritisi pola hidup masyarakat Mesir dan
membandingkannya dengan masyarakat Barat. Beliau banyak mengadopsi budaya Barat
sebagai masyarakat percontohan. Kekayaan informasi di samping penguasaan bahasa
asing yang dimiliki al-Aqqad membuat Sayyid Quthb mengaguminya. Beliau
memandang al-Aqqad sebagai sastrawan yang membawa nafas baru bagi masyarakat
Mesir. Bila beliau berjalan sesuai dengan aliran yang dibawa al-Aqqad, maka
beliau akan mampu merubah tatanan sosial masyarakat.
Berdasarkan dua alasan di atas, terjalin hubungan akrab antara Sayyid Quthb
dengan Abbas Mahmud al-Aqqad. Aliran sastra Sayyid Quthb banyak meniru gurunya.
Seperti karya al-Aqqad, karya-karya Sayyid Quthb baik yang berbentuk syair,
prosa, maupun karya ilmiah banyak yang bersifat kritik sosial.
Tulisan-tulisannya sering dimuat di berbagai media cetak Mesir seperti
al-Ahram, al-Risalah, juga al-Tsaqafah. Beliau juga menerbitkan dua majalah,
yakni al-Alam al-Arabi dan al-Fikr al-Jadid sebagai wadah mengasah kemampuan
jurnalistiknya. Dalam hal politik, beliau juga bergabung bersama gurunya di
partai Wafd sebagai corong sosialis di Mesir.
Dengan tetap istiqomah dalam aliran al-Aqqad di setiap tulisannya, membuat Sayyid
Quthb dekat dengan Toha Husein ketika beliau menjadi pegawai negeri di lingkungan
Departemen Pendidikan Mesir. Secara kebetulan, Toha Husein menjadi penasehat
Kementrian Pendidikan ketika itu. Karena nasihat dari Toha Husein pulalah Sayyid
Quthb mengurungkan niat untuk mengundurkan diri dari tugas kepegawaian. Sebagai
ucapan terima kasih, Sayyid Quthb menghadiahkan karyanya Thifl min al-Qaryah
kepada Toha Husein.
Di tahun 1945, terjadi perubahan dalam diri Sayyid Quthb. Aliran Abbas
Mahmud al-Aqqad yang sebelumnya mendominasi dalam setiap karyanya tidak lagi
terasa. Ada nuansa islami yang mulai menguat. Gejala ini dimulai dari bukunya
Tashwir al-Fanni di al-Qur’an yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1945.
Pada bab pendahuluan beliau memulai dengan tulisan Laqod Wajadtu al-Qur’an
(sungguh aku telah menemukan al-Qur’an). Seakan-akan beliau kembali menemukan
mutiara yang telah hilang selama bertahun-tahun di bawah asuhan al-Aqqad.
Perubahan ini semakin mengkristal di dalam dirinya ketika berada di Amerika
dalam rangka studi banding sebagai utusan Departemen Pendidikan Mesir (1948-1950).
Hidup di tengah-tengah lingkungan kapitalis merupakan hal baru bagi dirinya.
Sebab di Mesir, Sayyid Quthb terpola dengan pemikiran gurunya yang sosialis.
Budaya santai masyarakat Mesir dipaksa untuk dicabut dari dirinya ketika
melihat pola kerja masyarakat Amerika yang serba profesional. Dalam sebuah
makalahnya yang ditulis di Amerika, Sayyid Quthb mengatakan, “Sesungguhnya aku
meyakini kekuatan kalimat, kini aku merasa bahwa kita di Mesir khususnya atau
masyarakat Timur pada umumnya selama ini lebih banyak teori tanpa praktek
nyata. Sekarang tiba waktunya bagi kita untuk membuat sesuatu selain teori
belaka.”
Namun kehidupan yang menghambakan materi bukan membuat Sayyid Quthb luntur
dan berbaur dengan lingkungan dan pola pikir masyarakat Amerika. Namun
sebaliknya, semangat keislamannya semakin tumbuh, diiringi daya kritisnya yang
semain tajam. Dalam beberapa makalah yang ditulis di Amerika, Sayyid Quthb
justeru mencela budaya Amerika. Menurut Sayyid Quthb, sekalipun semua fasilitas
tersedia di Amerika, hidup yang serba ada justeru membuat rakyat Amerika
semakin stress. Rutinitas harian membuat mereka jenuh. Sehingga menjerumuskan
mereka dalam budaya seks bebas, tindakan kriminal sebagai obat stress dan rasa
jenuh.
Intinya, pengetahuannya tentang Amerika dan dunia Barat membuat wawasan
beliau semakin luas. Sikap kritis selalu dilontarkan terhadap keadaan
lingkungan yang menurutnya kurang tepat dengan prinsip hidup, terutama
prinsip-prinsip agama Islam.
Bersambung ke: Sayyid Quthb dan Ikhwanul Muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar