Semua pendukung hukum Islam sepakat bahwa hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari
syarī‘at mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat individual
maupun kehidupan kolektif kemasyarakatan. Artinya, tidak satu bidang kehidupan
pun yang tidak diatur oleh hukum Islam. Bahkan perpolitikan negara pun –menurut
mereka– diatur dalam Islam, sehingga hubungan antara penguasa dan rakyat bisa
selalu terjalin sesuai dengan prinsip syarī‘at.
Klaim semacam di atas tidak jarang dikemukakan oleh para ahli hukum yang concern terhadap aplikasi hukum Islam
dalam kehidupan masyarakat Muslim sehari-hari. Namun dalam segi praktek, di
sini tidak jarang pula ditemukan beberapa penyimpangan yang patut dikemukakan.
Walaupun hukum Islam secara teoritis dan juga menurut pernyataan para ahli
hukum Islam (fuqahā’), mencakup
setiap cabang dan aspek kehidupan manusia. Namun dalam prakteknya, ada beberapa aspek kehidupan yang masih terabaikan, atau setidaknya diabaikan oleh umat Islam itu sendiri. Lembaga-lembaga politik dan
pemerintahan, sebagian yurisdiksi hukum pidana, dan sebagian besar peraturan dagang
berada di luar jangkauan pelaksanaan hukum tersebut secara efektif. Hal inilah
yang kemudian menimbulkan pandangan sinis para orientalis yang mengatakan bahwa
hukum Islam masih terlalu lemah jika dihadapkan dengan masuknya berbagai
konstitusi, sistem pemerintahan, dan hukum-hukum pidana, dagang dan perdata
yang didasarkan paa model-model hukum Eropa dalam negara Islam.
Di lain pihak, terdapat satu bidang, di mana tatanan hukum sosial Islam
secara ketat dipertahankan, yaitu bidang hubungan perorangan (al-ahwāl al-syakhshiyyah) yang di
dalamnya menyangkut perkara perkawinan, perceraian, pewarisan, dan perwakafan.
Alasan atas ketetapan pelaksanaan hukum Islam mengenai bidang-bidang ini tidak
hanya terletak pada universalitas hubungan-hubungan yang menyangkut kepentingan
setiap anggota masyarakat Muslim, tetapi juga terletak pada kenyataan bahwa
aturan-aturan dasar mengenai hal ini semua termaktub dalam al-Qur’ān.
Tidak ada seorang Muslim pun hingga sekarang yang mempermasalahkan apakah
al-Qur’ān itu benar-benar firman Allah atau bukan, kecuali beberapa kelompok
rasionalis yang jumlahnya sangat kecil. Bagi orang-orang Muslim yang berpegang
teguh kepada keyakinan ini, gagasan untuk mengubah atau melanggar
ketentuan-ketentuan hukum pokok ini sama saja dengan kemurtadan.
Permasalahan lain adalah sikap benci dari para orientalis terhadap aplikasi
hukum Islam di beberapa negara Muslim, khususnya dalam bidang hukum pidana. Di
Saudi Arabia dan wilayah utara Nigeria, hukum pidana yang bersandar pada syarī‘at Islam bukanlah suatu yang aneh,
karena mereka telah mempraktekkannya sejak dahulu.
Namun akhir-akhir ini, beberapa masyarakat Islam di negara-negara Muslim
yang hanya mempraktekkan hukum Islam secara parsial, merasa tidak cukup hanya
melaksanakan aturan-aturan hukum di bidang perdata khsusnya kekeluargaan
seperti perkawinan, perceraian, rujuk dan pewarisan yang berlangsung selama
ini, tetapi mulai ada keinginan untuk melaksanakan bidang hukum lain dalam
Islam, seperti hukum pidana (hudūd),
ekonomi, dan lainnya.
Hanya saja pelaksanaan hukum pidana Islam di negara-negara ini sering
menjadi isu kontroversial, karena aturan hukumannya yang dianggap oleh sebagian
orang tidak manusiawi. Salah satu apologi yang diangkat adalah bahwa masyarakat
Muslim masih lemah secara ekonomi sehingga banyak orang yang mencuri karena
desakan ekonomi. Jadi, jika hukum pidana Islam ditegakkan, maka tidak menutup
kemungkinan banyak orang yang kesulitan ekonomi harus kehilangan tangannya
karena dipotong.
Permasalahan lain yang tidak kalah pentingnya adalah sikap paradoks yang
ditunjukkan umat Islam sendiri terhadap hukum Islam yang berlaku. Kita ambil
contoh masalah yang berkenaan dengan poligami. Walaupun poligami dalam Islam
dilegitimasi oleh syarī‘at, namun dalam prakteknya sangat memprihatinkan. Di
negara Arab seperti Saudi Arabia yang menggunakan hukum Islam, tingkat
penerapan poligami masih terhitung rendah, yakni hanya mencapai 1 sampai dengan
2 persen. Para bangsawan lebih menyukai selir dan harem untuk menemani tidur di
istana.
Lebih dari itu, mereka, para bangsawan sering kedapatan berhura-hura,
minum-minuman keras dan main perempuan di Eropa, padahal merekalah yang
menganjurkan diberlakukannya syarī‘at Islam. Ini adalah beberapa contoh dari
sikap paradoks umat Islam dalam menghadapi hukum Islam itu sendiri, yang dapat
membuka celah bagi para orientalis untuk menyerang Islam dengan mengatakan
bahwa hukum Islam tidak mampu mengikuti perkembangan zaman.
Dari sini, dapat dipahami bahwa, untuk mengaplikasikan syari’at Islam di
tengah masyarakat, harus dimulai dari pembenahan sikap (akhlaq) masyarakat Islam itu
sendiri terlebih dahulu. Jika tidak, maka terkesan adanya kemunafikan. Betapa tidak,
kita berteriak menegakkan syari’at Islam, namun kenyataannya kita sendiri yang
mengingakrinya dengan cara melakukan hal-hal yang sangat bertentangan dengan
syari’at Islam itu sendiri. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar