Beberapa
hari yang lalu, jutaan manusia di seluruh pelosok dunia dengan kesadaran
keagamaan yang tulus, kembali mengenang peristiwa keagamaan yang sangat
bernilai. Jutaan manusia dari berbagai suku, etnik, bangsa mengumandangkan kalimat
takbir, tahlil dan tahmid sebagai manifestasi dari rasa syukur mereka atas
segala karunia yang diberikan Allah Swt kepada mereka.
Sementara
jutaan yang lain sedang membentuk lautan manusia di tanah suci Makkah.
Menggambarkan keberadaan manusia di hadapan kebesaran Allah. Mereka serempak
menyatakan kesediaannya memenuhi panggilan Allah dengan mengumandangkan ucapan
“labbaik allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik, innalhamda
wanni’mata laka wal mulk, la syarika lak”. Semua itu adalah untuk mengenang
peristiwa agung yang dialami Nabi Ibrahim as dalam rangka bertakarrub kepada
Allah Swt.
Sebagaimana
kita tahu, ribuan tahun yang lalu di tanah kering tandus, di atas bukit
bebatuan, Nabi Ibrahim diuji oleh Allah untuk mengetahui seberapa tingkat
keyakinan dan keimanannya. Allah memberikan wahyu kepadanya agar menyembelih
puteranya bernama Ismail. Dapat kita bayangkan, betapa perasaan Nabi Ibrahim
ketika itu. Lama tidak dikaruniai seorang putera, tetapi begitu baru
mendapatkannya justeru diperintahkan untuk menyembelihnya. Namun karena ini
perintah Allah, maka meski dengan berat hati, Nabi Ibrahim pun
mmelaksanakannya.
Inilah
pengorbanan Nabi Ibrahim dan kesabaran Nabi Ismail. Akhirnya Nabi Ismail
diganti dengan domba dari surga. Oleh sebab itu, mengambil ‘ibrah (pelajaran)
dari peristiwa agung ini, kaum muslimin disyariatkan untuk mengikuti jejak Nabi
Ibrahim yang telah ikhlas lahir batin mengorbankan apa yang dicintainya. Inilah
realisasi daripada firman Allah: “Tidak akan engkau mendapat suatu kebajikan
sehingga engkau menafkahkan dari apa yang engkau cintai.”
Di
saat Hari Raya Qurban telah tiba, maka bagi kaum muslimin yang memiliki
kelapangan rizki hendaklah mengeluarkan sedikit hartanya untuk berkurban
sebagai usaha untuk bertakarrub kepada Allah Swt. Nabi pernah bersabda: “Tidak
ada amalan anak adam (manusia) yang lebih dicintai Allah pada hari raya qurban
melainkan menyembelih kurban”. Bahkan,
dalam lanjutan hadits di atas disebutkan bahwa pahala kurban itu diberikan oleh
Allah sebelum darah hewan yang dikurbankan itu menetes ke tanah. Tentunya,
pahala semulia itu bisa diperoleh jika kita melaksanakannya dengan hati yang
ikhlas.
Pada
hari-hari ini kita diuji oleh Allah, sebagaiman Allah menguji Nabi Ibrahim.
Sejauh mana keimanan dan keta’atan kita kepada Allah. Jika kita lulus dalam
ujian, yaitu dengan cara mengorbankan sebagian harta kita, maka kita termasuk
orang-orang yang beruntung di sisi Allah. Namun jika kita tidak berhasil, tidak
menafkahkan sebagian harta kita, maka kita diancam sebagaimana dalam hadits:
“Barangsiapa yang memiliki kelapangan rizki namun tidak menyembelih kurban,
maka hendaklah ia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani.” Hadits tersebut
jelas menerangkan kepada kita bahwa meskipun perintah kurban tidak wajib, hanya
sunnah muakkad, namun kita tidak boleh menyepelekannya.
Jika
kita renungkan dalam-dalam, perintah berkurban ini ternyata mengandung suatu
pelajaran berharga, bahwa untuk memperoleh kemuliaan dan keridhoan Allah perlu
pengorbanan, sebagaimana yang terjadi pada Nabi Ibrahim. Beliau memperoleh
kedudukan begitu tinggi di sisi Allah karena dengan ikhlas berkurban dengan apa
yang dicintainya. Begitupun kita, jika kita menginginkan kedudukan yang mulia
di sisi Allah, maka salah satu jalannya adalah perlu pengorbanan.
Kita
tidak mungkin bisa menunaikan ibadah haji jika kita tidak berani mengorankan
sebagian harta benda kita. Kita tidak mungkin dihormati masyarakat jika kita
tidak berani mengorbankan tenaga, pikiran dan waktu untuk melayani kebutuhan
mereka. Demikian juga agama Islam tidak akan bisa jaya jika kita sebagai
masyarakat Islam enggan berkorban untuk menegakkannya.
Tanpa
pengorbanan, kemuliaan taakkan pernah bisa diraih. Karena jika umat Islam
benar-benar cinta kepada Allahdan mau mengambil teladan dari Nabi Ibrahim dan
Ismail, maka kita perlu siap berkorban. Jika sebaliknya, maka justeru kita yang
akan menjadi korban. Akhirnya... Apakah kita mau berkorban untuk meraih
kemuliaan, atau justeru akan menjadi korban karena kelemahan kita sendiri akibat
enggan berkorban....?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar