Sabtu, 17 Agustus 2013

Islam Motivator Jihad Nan Manusiawi

Diskursus jihad semakin menghangat pada tahun-tahun belakangan ini. Bermula dari konflik berdarah antar pemeluk agama di berbagai daerah di Indonesia, memicu semangat ukhuwah di kalangan umat Islam untuk melakukan pembelaan terhadap kaum muslimin yang tertindas. Konflik-konflik di negara lain ikut pula memanaskan wacana jihad. Sebut saja, konflik bangsa Moro di Filipina yang ingin memerdekakan diri, Palestina dalam upaya defensif terhadap agresi Israel, Afghanistan dengan Amerika dan lain sebagainya. Ini tak mengherankan karena jihad merupakan salah satu bukti konkret bahwa umat Islam di mana pun juga merupakan satu umat dengan kesatuan akidah yang menghindarkan sekat-sekat nasionalisme.

Jihad adalah keharusan, namun pada tatanan realitanya, pembahasan jihad ditinjau dari segi fiqih sering dianggap angin lalu saja oleh kaum cerdik pandai. Bab jihad merupakan bab yang sering dilupakan orang. Hal ini disebabkan mungkin prioritasnya yang rendah dibandingkan kita membahas masalah thahârah, shalat, puasa. Akibatnya, jihad sering diartikan dalam ruang lingkup yang amat terbatas menurut interpretasi ulama salaf zaman dahulu. Apa benar jihad terfokus pada berperang fi sabilillah? Jadi sekarang tak ada lagi wacana jihad, karena negara kita aman, merdeka? Ataukah kita harus berjihad secara fisik karena negara kita diperangi oleh negara-negara Barat melalui media dan budaya, sebagaimana yang dipahami sebagian kaum islam garis keras? Dari sinilah perlunya dikupas secara gamblang polemik jihad meskipun nantinya analisa-analisa yang ada terkadang hanya sebatas membuka wacana saja.

Definisi Jihad 
Sebelum kita beranjak ke pembahasan selanjutnya mengenai jihad, ada baiknya kita kemukakan terlebih dahulu definisinya. Jihad secara etimologi berarti daya upaya, translasi dari kata al-juhd. Adapun secara terminologi adalah memerangi kaum kafir yang tidak mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin setelah sampainya dakwah Islam, disertai penolakan dari orang-orang kafir tersebut demi tegaknya kalimat Allah Swt. 

Kata jihad terulang dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali, dengan berbagai bentuknya. Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam al-Maqâyis fi al-Lughah, “semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya.” Adapun menurut Dr. Quraish Shihab, kata jihad terambil dari kata juhd yang berarti letih atau sukar. Ini disebabkan karena jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Dari kata yang sama tersusun ucapan ‘jahida bi al-rajul’ yang artinya seseorang sedang mengalami ujian. Terlihat bahwa kata ini mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.

Esensi jihad adalah, mengerahkan segala kekuatan untuk memerangi musuh, baik itu dengan perantara tangan, lidah dan sebagainya. Dalam Islam, jihad terbagi dalam tiga macam; 
  1. Memerangi musuh yang nyata dengan maksud meninggikan kalimat Allah Swt. 
  2. Memerangi setan dalam segala bentuknya demi tegaknya kalimat Allah Swt. 
  3. Memerangi hawa nafsu.
 Adapun mengenai hukumnya, para ulama bersepakat bahwa jihad merupakan kewajiban bagi seorang mukallaf yang mampu. Pendapat ini dikemukakan karena ada beberapa nash al-Qur’an dan Hadits yang mengindikasikan bahwa jihad adalah suatu keharusan. Ayat-ayat al-Qur’an yang mendiskursuskan hal ini di antaranya; “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 217).

Sedangkan Hadits Nabi di antaranya, “Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Demi jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang itu terluka di jalan Allah –dan Allah lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya– kecuali dia akan datang di hari kiamat dengan warna darah dan aroma kasturi.” 

Dari interpretasi kata jihad ini, Imam Ibnu Hajar al-Qasthalâni, al-Kisâni dan lainnya menyimpulkan dalam satu statemen bahwa, apabila jihad dalam nash syar’i maka yang dimaksud adalah perang, kecuali ada indikasi lain yang menunjukkan maknanya bukan perang. Seperti hadits Ibnu Majah dan Hakim, “al-mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah, dan al-muhajir adalah orang yang meninggalkan larangan Allah”. 

Pernyataan ini dimaksudkan oleh banyak ulama salaf dalam rangka meluruskan sebuah pemahaman jihad dan hakikatnya kepada umat Islam, yang sementara ini banyak disepelekan oleh beberapa kelompok apriori yang phobi akan eksistensi tersebut. Dengan pelbagai argumen yang justeru mendiskreditkan umat Islam sendiri. Padahal jelas-jelas, menurut Abu Hasan al-Nadwi, dengan jalan jihad umat Islam akan meraih kemuliaan dan tegaknya ajaran Islam dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun umat Islam akan meraih kemenangan dan tingginya kalimat Allah Swt, jikalau jihad benar-benar bisa terealisasikan dalam kehidupan manusia.

Mengenai hukum jihad, Imam Nawawi dalam kitabnya menulis bahwasanya jihad pada masa Rasulullah memiliki hukum fardhu kifayah, versi yang lemah mengatakan fardhu ‘ain. Adapun setelah wafatnya, hukum jihad tergantung pada keadaan kaum kafir. Bila kaum kafir berada di negara mereka, maka hukumnya fardhu kifayah, yakni apabila dilakukan beberapa orang saja, maka yang lain tidak akan mendapat dosa. Sedangkan jika kaum kafir menginjakkan kakinya di daerah kaum muslimin dengan tujuan ekspansi kolonialisme misalnya, maka wajib bagi seluruh orang Islam untuk angkat senjata dengan segala cara, tidak terkecuali orang miskin, hamba sahaya ataupun anak kecil. 

Islam Motivator Jihad nan Manusiawi 
Seperti yang telah disinggung di atas, bahwa ada beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits yang mengindikasikan bahwa jihad merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat Islam. Meskipun demikian, nash-nash tersebut tidaklah mengandung prinsip-prinsip yang mereflesikan bahwa tujuan diberlakukannya perang adalah pemaksaan untuk menerima dakwah, akan tetapi diharuskan bersikap defensif ketika terjadinya penyerangan dan pengusiran kaum muslimin. Ini bisa kita lihat dalam surat al-Nisa’ ayat 74: “Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo’a; ‘Ya tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zhalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.” 

Jihad sebagai salah satu medium dakwah, telah dipraktikkan Nabi Muhammad Saw, dalam mengemban risalah-risalah yang diberikan Allah Swt, kepadanya. Imam Ibnu Qayyim dalam kitabnya ‘Zad al-Ma’ad’ telah menjelaskan fase-fase perjalanan jihad yang dijalani Rasulullah Saw.

Pertama kali, Allah Swt mewahyukan kepadanya dengan perintah membaca atas nama Allah Sang Pencipta, “iqra’ bismirabbika alladzi khalaq” (al-Alaq: 1). Ini awal dari kenabiannya, diperintahkan membaca untuk dirinya dan belum diperintahkan untuk menyampaikan kepada orang lain.

Kemudian diturunkan kepadanya ayat “Ya ayyuhal mudatstsir” (al-Mudatstsir: 1), yang dengan itu beliau telah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, dengan perintah untuk menyampaikan dakwah kepada keluarganya, kemudian masyarakat Arab semuanya, dan seluruh umat manusia. Tiga belas tahun Rasulullah Saw, berdakwah setelah kenabiannya tanpa konfrontasi senjata maupun jizyah. Dalam waktu itu Rasulullah Saw, diperintahkan untuk menahan diri, sabar dan memaafkan. Kemudian diizinkan untuk berhijrah ke Madinah, disusul dengan diizinkannya berperang. Setelah itu ada perintah untuk memerangi siapa pun yang memusuhinya dan tidak memerangi orang yang tidak memusuhinya.

Terakhir, diperintahkan memerangi orang-orang musyrik, sehingga tiada satupun yang ditaati selain Allah Swt. Setelah perintah jihad ini, orang kafir menjadi tiga golongan. Pertama, orang-orang yang melakukan gencatan senjata dengan Rasulullah Saw. Kedua, orang-orang yang memusuhi dan memerangi Rasulullah Saw. Dan ketiga, orang-orang yang hidup aman dibawah perlindungan Islam dengan membayar jizyah (pajak keamanan, karena sebagai non muslim mereka tidak membayar zakat).

Para orientalis Barat menilai bahwa, praktik jihad merupakan manifestasi praktik radikalisme dan fundamentalisme yang dilakukan umat Islam untuk menjaga kesucian agamanya. Mereka beropini bahwa, jihad adalah upaya umat Islam dalam menyebarkan agamanya dengan jalan yang penuh anarkis dan non-toleran. Hingga ada yang berpandangan bahwa setiap individu kaum muslimin tidak terlepas dari pencapan ‘siap mati demi Islam’, di tangan kanannya terlihat memegang al-Qur'an sedang di tangan kirinya memegang pedang. Samuel Huntington, guru besar di Universitas Harvard dan penulis tesis ‘The Clash of Civilization’, dengan percaya diri menyatakan bahwa “Islam dikelilingi perbatasan yang penuh darah”. Sementara itu, ilmuwan politik Benjamin Barber, penulis buku ‘Jihad vs McWorld’, menggunakan istilah Islam yang khas, jihad mencirikan semua bentuk partikularisme yang dogmatis dan membenarkan penggunaan kekerasan.

Dalam menyikapi hal ini, Imam Hasan al-Banna mengemukakan sejumlah bukti sejarah yang menampik tuduhan itu. Dengan gamblang pendiri gerakan ikhwanul muslimin ini menjelaskan, “apakah hanya Islam yang menganjurkan perang dan jihad sebagai sarana untuk melindungi yang haq? Ternyata, semua syariat sebelumnya dan undang-undang yang datang setelahnya, menganjurkan perang seperti apa yang dianjurkan Islam.”

Lembaran Taurat yang digunakan orang-orang Yahudi sekarang penuh dengan berita-berita peperangan, jihad, penghancuran, pembinasaan dan kerawanan. Taurat Yahudi menetapkan syariat perang, tetapi dalam bentuk yang paling kejam. Terdapat dalam kitab Ulangan pada pasal 20 ayat 10 dan setelahnya :

“Di saat kamu mendekati suatu kota untuk diperangi, panggillah penduduknya untuk damai. Jika mereka menerima tawaran itu, kamu buka kota itu, maka semua penduduk yang ada di sana boleh kamu tundukkan dan jadikan hamba sahaya.”

“Apabila mereka tidak menerima dan mengadakan perlawanan, perangilah kota itu. Kalau tuhanmu memberikan kemenangan kepadamu, maka penggallah leher-leher kaum laki-lakinya. Adapun kaum wanita, anak-anak, binatang dan semua yang ada di dalamnya, ambillah untukmu. Dan makanlah harta musuh-musuhmu yang telah diberikan Tuhan untukmu.” 

Dalam injil Matius yang digunakan orang Kristen, pada pasal ayat 25 dan selanjutnya terdapat kata-kata: 
“Janganlah kalian duga aku datang menemuimu di muka bumi dengan perdamaian. Tetapi aku datang dengan kekerasan. Aku datang untuk memisahkan manusia, agar bapak-bapak memusihi anaknya, anak melawan bapaknya, menantu melawan mertuanya, dan musuh-musuh manusia adalah keluarganya sendiri.” 

“Barangsiapa yang mencintai bapak atau ibu lebih dari aku berarti tidak berhak dengan ampunanku. Dan barang siapa tidak mengambil salibnya dan mengikutiku, maka ia bukan pengikutku.” 

Undang-undang internasional modern juga mengakui situasi dan kondisi yang membolehkan perang. Oleh karena itu Hasan al-Banna menggugat dengan mengatakan; “apa yang dibawa Islam dalam masalah ini jauh lebih baik, lebih detail, lebih manusiawi dan lebih setia perdamaiannya. Namun, mengapa tuduhab-tuduhan tidak logis itu hanya diarahkan kepada Islam dan tidak kepada yang lainnya?” 

Disamping itu, sopan santun ketika menjalankan tugas jihad sangat diperhatikan dan dijaga, karena tujuan diberlakukannya jihad bukanlah semata-mata karena dorongan hawa nafsu dan keinginan pribadi. Islam sebagai agama perdamaian menyerukan kepada pemeluknya agar memperhatikan norma-norma kemanusiaan dalam mengimplementasikan praktik jihad. Stetemen ini didukung oleh pengalaman Nabi sendiri ketika memerintahkan sahabat-sahabatnya, agar tidak melakukan hal-hal yang tidak menjadi tugasnya.

Prof. Dr. Marcel A. Baisard menegaskan, prinsip fundamental dan sistem hukum Islam yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam sengketa bersenjata antar negara atau dalam negara secara ringkas sebagai berikut:
  1. Bahwa di dalam peperangan, tidak boleh membuat eksis, pengkhianatan dan ketidakadilan dalam segala bidang.
  2. Bahwa di dalam peperangan, dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan musuh menderita secara berlebih-lebihan, seperti pembantaian, kekejaman dan hukuman-hukuman yang keji.
  3. Bahwa di dalam peperangan, dilarang melakukan perbuatan-perbuatan penghancuran yang tiada gunanya, khususnya perusakan tanaman-tanaman dan lain sebagainya.
  4. Bahwa di dalam peperangan, dilarang mempergunakan senjata beracun, melakukan penghancuran dan bertindak membabi buta.
  5. Bahwa di dalam peperangan, harus selalu waspada, dapat membedakan antara prajurit yang memakai pakaian khusus uniform atau seragam dalam tentara Islam, dengan mereka orang-orang sipil yang tidak mengambil bagian dalam peperangan.
  6. Bahwa di dalam peperangan, harus bersikap hormat kepada mereka yang terpisah dari kesatuan tentara, seperti terhadap orang-orang yang luka, prajurit keamanan bangsa-bangsa yang memiliki pos jalan sebagai palang merah internasional, dan terhadap tawanan-tawanan perang.
  7. Bahwa di dalam peperangan, harus memberi perlakuan yang berprikemanusiaan terhadap tawanan-tawanan perang yang akan dipertukarkan atau dibebaskan secara sepihak, apabila perang sudah selesai dan tidak ada agi tawanan perang muslim di pihak musuh.
  8. Bahwa di dalam peperangan, harus memberi perlindungan secukupnya kepada penduduk sipil, dengan menghormati agama dan kebudayaan mereka, termasuk pemuka-pemuka agama mereka. Atas dasar itu, maka syariat Islam membenarkan untuk menghukum terhadap mereka yang melakukan pemerkosaan trhadap kaum wanita.
  9. Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam menegaskan pertanggungjawaban perorangan dalam suatu hukum dan selanjutnya menghapus sistem bela darah seperti apa yang pernah berlaku di zaman jahiliyah. Artinya, melenyapkan segala bentuk hukuman terhadap seseorang yang mereka sendiri tidak melakukannya.
  10. Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam menghukum setiap sikap timbal balik dalam kejahatan dan pembalasan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang fundamental.
  11. Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam membenarkan kerja sama dengan pihak musuh dalam masalah-masalah pekerjaan yang bersifat kemanusiaan.
  12. Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam melarang secara formal atas segala tindakan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian damai yang telah diadakan bersama dengan orang Islam. Pakta perdamaian harus dipegang teguh sejauh pihak musuh masih tetap menghormati isi perjanjian damai itu.
  13. Bahwa peperangan di dalam syariat Islam perlu dilancarkan bukannya sebagai suatu pelepas rasa balas dendam, melainkan hanya sebagai suatu usaha untuk melenyapkan perbuatan ketidakadilan dan kezhaliman.

1 komentar:

Mohamed Trabay mengatakan...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar