Jumat, 15 November 2013

Kecenderungan Hukum di Dunia Muslim

Sebagai ajaran universal yang bertujuan sebagai agama rahmatan lil-‘ālamīn, Islam selalu memperhatikan segala sisi kehidupan pemeluknya, dalam arti mengatur kehidupan mereka melalui norma-norma religius yang termanifestasi dalam teks-teks keagamaan. Oleh karena itu, dua sumber utama ajaran Islam, al-Qur’ān dan hadits, dipercaya sebagai sumber hukum yang bisa dijadikan sebagai pedoman dalam segala tindakan manusia. Maka dari sinilah, muncul istilah ‘hukum Islam’, yakni sebuah tatanan hukum yang bersumber dari syarī‘at Islam.

Sebagai hukum yang hidup, yang inheren dalam kehidupan umat Islam, maka hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan umat, sehingga hukum Islam tidak lagi dirasakan sebagai norma-norma hukum yang dipaksakan dari luar diri mereka. Dan dengan alasan sebagai hukum yang hidup ini, maka hukum Islam diyakini dapat dilaksanakan oleh umat Islam di mana saja, bahkan di negara-negara yang masyarakat Islamnya tergolong minoritas.

Hukum Islam sebagai hasil pemikiran dan pemahaman seperti halnya hukum Islam sebagai wahyu Tuhan memiliki tujuan yang sangat ideal, yang telah dibukukan bersamaan dengan berkembangnya Islam. Namun dalam perjalanannya, teori-teori yang telah terbukukan tersebut tidak begitu saja dapat dijalankan dalam kehidupan umat manusia, ini berarti terdapat kesenjangan antara teori dengan praktek.

Kecenderungan hukum di dunia Islam
Dilihat dari isu-isu yang berkembang dalam hukum Islam pada masyarakat Muslim saat ini, dapat dikatakan bahwa setidaknya ada dua kecenderungan yang menonjol. Pertama, hukum Islam telah berubah dan bergeser dari orientasinya yang menekankan persoalan ibadah (urusan vertikal manusia dengan Tuhan) di masa lalu menjadi persoalan mu‘āmalah (urusan dengan sesama manusia) dewasa ini.

Kecenderungan kedua, dalam perkembangan kontemporer hukum Islam di negara-negara Muslim ialah bahwa perdebatan hukum tidak lagi mengacu kepada satu madzhab saja, tetapi madzhab-madzhab lain juga dijadikan rujukan dalam membahas masalah hukum. Bahkan menerima pemikiran-pemikiran tidak hanya dari aliran-aliran hukum yang telah diakui di kalangan Sunnī (Hanafī, Mālikī, Shāfi‘ī, dan Hanbalī), tetapi juga pemikiran para fuqahā’ lain yang tidak mengikuti salah satu madzhab yang empat, seperti pemikiran Sayyid Sābiq dalam Fiqh al-Sunnah ataupun asas-asas hukum adat (al-‘ādah muhakkamah).

Dalam praktek lapangan di dunia Islam, ditemukan adanya doktrin dari madzhab-madzhab yang berbeda yang semuanya mempunyai otoritas yang sama. Atas latar belakang itulah pemikiran hukum di negara-negara Timur Tengah dan sekitarnya berkembang. Selama beberapa dekade terakhir ini, kodifikasi hukum keluarga telah nampak di sebagian negara-negara ini, dan satu keistimewaan yang paling mencolok dati kitab undang-undang itu adalah adanya sintesa yang luas dari doktrin yang berbeda yang berasal dari madzhab yang berbeda pula.

Prinsip yang mendasari undang-undang tersebut adalah adanya otoritas politik yang mempunyai kekuatan, demi kepentingan keseragaman, agar memilih satu peraturan diantara varian-varian yang berstatus sama, dan pilihan dari peraturan itu dibuat secara sederhana atas dasar keinginan masyarakat. Kitab undang-undang itu memasukkan varian-varian tersebut yang dianggap paling cocok untuk ukuran sekarang dan keadaan masyarakat. Ini artinya hukum yang sekarang terkodifikasi dan berlaku di negara-negara Islam cenderung mengikut prinsip talfīq (seleksi), yakni mengkombinasikan berbagai madzhab untuk membentuk peraturan tunggal.

Menurut prinsip talfīq dari doktrin madzhab-madzhab fiqh Islam yang berbeda, penulis kitab undang-undang bebas mengambil seluruh bahan dari doktrin tradisional (fiqh klasik) dan dari sini memilih ketentuan-ketentuan yang dianggap paling sesuai bagi masyarakat nasional suatu negara. Bagi mereka yang semula diatur oleh fiqh Hanafī, sekarang menerima aturan yan berasal dari semua madzhab yang empat. Pendek kata, prinsip talfīq telah dipakai untuk menyesuaikan hukum kepada watak khusus dari masyarakat Muslim sekarang ini. Dan hal ini merupakan proses tujuan sosial yang baik dan telah memberikan arti praktis baru dan lebih dalam terhadap sebuah diktum Nabi yang terkenal:
 إختلاف أمتي رحمة 
“Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat.”

Akhirnya, kita harus memahami bahwa mengaplikasikan hukum Islam tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tantangan dan rintangan, terutama dari pihak luar selalu ada. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa, semua masyarakat Islam, baik yang baik yang hidup sebagai masyarakat mayoritas maupun minoritas dalam suatu negara, mereka selalu mengaplikasikan hukum Islam dalam bidang hukum keluarga.

Jika kita lihat kecenderungan dan perkembangan hukum di dunia Muslim, nampak bahwa hukum Islam yang digunakan sekarang adalah kombinasi antara aliran-aliran hukum yang ada, dan bukan hanya mengacu pada satu aliran tertentu. Karena metode yang umumnya digunakan oleh pembaharu Islam dalam menangani isu-isu hukum, masih bertumpu pada pendekatan yang cenderung memilah-milah dengan menggunakan prinsip takhayyur (metode yurisprudensi yang karena dalam situasi tertentu dibolehkan meninggalkan madzhab hukumnya untuk mengikuti madzhab lainnya) dan talfīq. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar