Pada masa penjajahan kolonial Belanda, umat Islam dihadapkan pada situasi
terjepit. Agama Islam sering dijadikan sebagai sasaran bahan
cemoohan, bahkan tuduhan-tuduhan miring sering dilontarkan. Semuanya
dilancarkan baik melalui lisan maupun tulisan, dengan maksud untuk
menanamkan benih-benih kebencian dalam hati kaum dan bangsa pribumi
Indonesia, terutama pemeluk Islam sebagai kaum mayoritas. Itulah yang sering kita kenal sebagai politik Devide Et Impera, politik pecah belah.
Dari keprihatinan inilah, muncul gerakan-gerakan serta organisasi-organisasi modern, baik yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, ekonomi, maupun politik. Salah satu dari gerakan tersebut adalah Persatuan Islam (Persis). Gerakan yang pada mulanya bertitik tolak dari persatuan pemikiran, rasa, usaha, dan suara Islam ini akhirnya berkembang pesat sehingga memiliki lembaga hukum yang membahas dan memutuskan hukum permasalahan-permasalahan yang menimpa para anggotanya. Akhirnya, ijtihad hukum adalah salah satu bidang yang tidak bisa ditinggalkan oleh Persatuan Islam.
Dari keprihatinan inilah, muncul gerakan-gerakan serta organisasi-organisasi modern, baik yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, ekonomi, maupun politik. Salah satu dari gerakan tersebut adalah Persatuan Islam (Persis). Gerakan yang pada mulanya bertitik tolak dari persatuan pemikiran, rasa, usaha, dan suara Islam ini akhirnya berkembang pesat sehingga memiliki lembaga hukum yang membahas dan memutuskan hukum permasalahan-permasalahan yang menimpa para anggotanya. Akhirnya, ijtihad hukum adalah salah satu bidang yang tidak bisa ditinggalkan oleh Persatuan Islam.
Berdirinya
Persatuan Islam
Persatuan
Islam didirikan secara formal pada tanggal 11 September 1923 di
Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi
aktifitas keagamaan, yang dipimpin oleh KH. Zamzam dan Muhammad Yūnus.
Waktu itu, pendirian sebuah organisasi keagamaan merupakan suatu hal
yang sangat biasa mengingat banyaknya organisasi, gerakan dan klub
yang didirikan, baik untuk tujuan religius, sosial, ekonomi,
pendidikan ataupun politik.
Ide
untuk membentuk organisasi ini pertama kali dilontarkan pada saat
diadakan jamuan makan (kenduri) di rumah
salah seorang keluarga yang berasal dari Sumatera yang telah lama
tinggal di Bandung. Karena Persatuan Islam lahir dari diksusi
pertemuan keluarga, maka organisasi ini lebih merupakan suatu gerakan
pemikiran keagamaan daripada sebuah organisasi yang mengutamakan
jumlah anggota yang banyak dengan membuka cabang-cabang di berbagai
tempat.
Pendirian
Persatuan Islam merupakan usaha kelompok umat Islam untuk memperluas
diskusi-diskusi tentang topik-topik keagamaan yang telah dilakukan
pada basis informal selama beberapa bulan. Keanggotaan awal Persatuan
Islam kurang dari dua puluh orang; pada tahun-tahun pertama,
aktivitas berkisar shalat Jum’at ketika para anggota datang
bersama-sama. Satu-satunya syarat bagi keanggotaan selama periode
awal ini adalah ketertarikan pada agama.
Adalah Ahmad
Hassan, seorang Muslim Singapura putra seorang sarjana Tamil dan
seorang ibu Jawa, yang bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1924.
Ia adalah anggota yang pandangannya memberikan format dan
individualitas nyata kepada Persatuan Islam dan terang-terangan
menempatkannya ke dalam barisan Muslim modernis. Namun pada akhirnya
Ahmad Hassan inilah yang dianggap sebagai guru Persatuan Islam yang
utama.
Para
pemimpinnya memandang diri sendiri sebagai cabang baru ulama yang
fatwa-fatwanya akan membersihkan agama dari bid’ah dan
mengadaptasikan prinsip-prinsip keagamaan dengan kondisi-kondisi
kontemporer. Persatuan Islam dikenal sebagai gerakan yang cnderung
puritanis dengan paradigma kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dari
pemikiran-pemikirannya yang fundamentalis,
Persatuan Islam bahkan mendapat julukan sebagai gerakan ‘radikal
revolusioner’. Berlainan dengan Muhammadiyah yang mengutamakan
penyebaran pemikiran-pemikiran baru secara tenang dan damai,
Persatuan Islam seakan gembira dengan perdebatan-perdebatan dan
polemik. Bahkan dikatakan bahwa organisasi ini menantang berdebat
terhadap orang-orang yang tidak menyetujui pendapat dan pemikirannya.
Sikap menantang dari Persatuan Islam ini dicerminkan dalam beberapa
penerbitannya, misalnya dalam majalah Pembela
Islam, al-Fatwa,
al-Taqwa,
al-Lisaan,
Sual Jawab,
serta beberapa majalah dan buku-buku lainnya.
Kajian
Hukum Persatuan Islam
Paradigma
kembali pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah bukan semata-mata milik
Dewan Hisbah Persatuan Islam, dan juga tidak hanya dikemukakan oleh
tokoh-tokoh organisasi keagamaan tersebut, tetapi juga dipegang teguh
oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan bahkan para ulama
fiqh abad ke-11 Hijriyah, dan mereka masing-mansing memiliki metode
dalam kajian sumber ajaran tersebut.
Majlis Tarjih Muhammadiyah lebih menonjol dalam analisis tarjihnya terhadap
produk-produk pemikiran hukum yang telah ada dengan mengkaji
kekuatan-kekuatan dalil yang mendasari pemikiran hukum tersebut,
serta mempertimbangkan muatan-muatan semangat sufisme dalam pemikiran
hukum tersebut. Sementara Syuriah NU lebih berpegang pada
pemikiran-pemikiran hukum dari kalangan Shāfi‘īyah, dan
menjadikannya sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasalahan
kontemporer. Sedangkan ulama salaf ada yang cenderung rasional dengan
melakukan pemahaman-pemahaman sosio-sentris terhadap
pernyataan-pernyataan eksplisit nash, dan ada pula yang cenderung
tradisional dengan melakukan pemahaman-pemahaman literal terhadap
nash tersebut.
Cara
untuk tiba pada suatu putusan atau fatwa pada umumnya hampir sama
pada kalangan pembaharu. Tetapi cara untuk menyampaikan pada
pihak-pihak lain tentang hasil ijtihad tersebut berbeda, umpanyanya di
antara Muhammadiyah dengan Persatuan Islam.
Muhammadiyah lebih sabar, lebih memperlihatkan pengertian dalam
sikapnya terhadap orang lain, lebih mengakui bahwa perubahan dalam
kebiasaan tidak dapat dilakukan serta merta. Persatuan Islam lebih
tegas, lebih memperlihatkan kecenderungan untuk mengecam pihak lain,
seakan merupakan suatu perintah, yang oleh karena dianggap benar
harus dijalankan dengan serta merta.
Pada
tahun 1930-an, Persatuan Islam lebih memiliki wajah politik yang
dominan, dan setelah zaman kemerdekaan, pada 1950-an, para anggotanya
masih terlibat secara politik. Adapun yang menarik bagi kita adalah
beberapa fatwanya yang dianggap terpengaruh oleh dinamika perpolitikan
lokal zaman itu. Fatwa-fatwa semacam ini disusun terperinci dalam
bab-bab yang beruntun. Fatwa-fatwa politik,
atau lebih tepatnya –menurut MB. Hooker– filsafat politik
Persatuan Islam ini, dapat dilihat dari karier anggota-anggota
terkemuka Persatuan Islam.
Moehamad
Moenawar Chalil adalah salah satu contoh pertama yang tepat. Ia
adalah seoarng aktivis politik yang bekerja di berbagai komite negara
termasuk Komite Nasional Hadits dalam birokrasi agama, dan ia
adalah ketua Majelis Ulama Persatuan Islam. Pada tahun 1955, tepatnya
pada saat pemilihan umum pertama di Indonesia, ia mengeluarkan fatwa.
Ia menyatakan bahwa pemilihan umum yang melibatkan partai-partai
Muslim, melalui qiyās, sama dengan jihad, dan dengan demikian,
merupakan kewajiban bagi seorang Muslim untuk mendukung kepentingan
finansial kaum Muslim dengan zakat.
Dalam
statemen resminya, Persatuan Islam bahkan berpendapat bahwa semua
umat Islam memiliki tugas untuk terlibat dalam kegiatan politik yang
merupakan bagian dari tugas agama. Pandangan ini muncul dalam
tulisan-tulisan Ahmad Hassan, yang diulangi lagi dalam tulisan dan
pidato Isa Anshary dan Moehammad Natsir. Pandangan seperti ini juga
tercatat dalam garis-garis perjuangan Persatuan Islam dan sepenuhnya
didukung oleh fatwa-fatwa ulama.
Dalam
rangka mencari solusi permasalahan para anggota jam’iyyahnya,
Persatuan Islam memiliki lembaga Majlis
Ulama yang bertugas memberi fatwa-fatwa hukum. Lembaga ini sangat
produktif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran puritanis. Ketika
kepemimpinan Persatuan Islam dipegang oleh KH.E. Abdul Rahman
(1960-1983) majlis ini berganti nama menjadi Dewan Hisbah.
Penggantian nama ini dimaksudkan untuk memperluas tugas dan fungsi
ulama agar tidak sekadar memberi fatwa hukum, tetapi juga melakukan
kontrol terhadap para anggota jam’iyyah serta para eksekutifnya
terhadap berbagai penyimpangan yang mungkin mereka lakukan.
Secara
fungsional, Dewan Hisbah berkewajiban melaksanakan beberapa tugas,
yaitu:
- Meneliti hukum-hukum Islam
- Menyusun petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyyah
- Mengawasi pelaksanaan hukum Islam
- Memberikan teguran kepada anggota Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran hukum melalui Pusat Pimpinan
Metodologi
Dewan Hisbah
Dewan
Hisbah adalah sebuah lembaga hukum Islam
yang dimiliki oleh Persatuan Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan
hukum di sini adalah hukum shara‘ (al-hukm
al-syar‘ī) atau keputusan yang
diatur oleh syara‘ untuk seluruh manusia mukallaf yang bersifat
tuntunan atau pilihan. Adapun hukum yang dibicarakan dalam keputusan
Dewan Hisbah menyangkut al-ahkām
al-khamsah (lima ketetapan). Yang
dimaksud lima ketetapan (al-ahkām
al-khamsah) adalah: ījāb
(wajib), nadb
(ketetapan anjuran), tahrīm
(haram atau larangan), karāhah
(ketetapan larangan yang masih dapat
ditoleransi), dan ibāhah
(ketetapan boleh).
Pendekatan
yang dilakukan Dewan Hisbah dalam proses pembuatan keputusan adalah
penggabungan antara metode pembahasan modern dan klasik. Gabungan
antara ilmu pengetahuan modern dan klasik
merupakan salah satu karakteristik Persatuan Islam. Karena itu,
sebelum memutuskan suatu hukum, terlebih dahulu perlu mendengar
pendapat para ahli ilmu pengetahuan modern tentang bidang yang hendak
dibahas, sehingga diketahui definisi masalah yang hendak dibahas baik
menurut etimologi maupun terminologi.
Dalam
membahas suatu permasalahan, Dewan Hisbah tidak berpegang pada satu
madzhab ataupun kitab-kitab klasik tertentu sebagaimana yang
dilakukan oleh Forum Bahtsul Masa’il dengan al-kutub
al-mu‘tabarahnya. Menurut Dewan
Hisbah, kitab-kitab manapun bisa dipergunakan sebagai pertimbangan,
asal dapat dipertanggungjawabkan isinya secara ilmiah dan sesuai
dengan visi mereka. Mereka menolak kitab-kitab yang bertentangan
dengan aqidah mereka seperti kitab-kitab dari golongan Syī‘ah,
Khawārij, Rāfidhah, Ahmadiyah, dan lain sebagainya.
Dalam
istinbāth al-ahkām,
Dewan Hisbah melakukan istidlāl
dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan
ketika tidak menemukan nash syar‘ī, maka digunakan ijtihad
jamā‘ī (ijtihad
kolektif) yang melibatkan para ulama Dewan Hisbah. Adapun jika
terjadi ta‘ārudh
(kontradiksi) antar nash, maka langkah pemecahan yang di ambil
adalah:
- Sedapat mungkin mempertemukan nash yang kelihatan kontradiksi
- Melakukan tarjīh
- Melakukan metode nasakh bila diketahui mana nash yang terdahulu dan mana yang kemudian.
Dalam
masalah ibadah, Dewan Hisbah tidak menerima ijmā‘, kecuali ijmā‘
para sahabat. Ijmā‘ sahabat diterima sebagai sumber hukum karena
diyakini bahwa para sahabat tidak akan berani bersepakat menentukan
sesuatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari Nabi. Ini
berarti bahwa pada hakekatnya ijmā‘ sahabat tidak berdiri sendiri,
melainkan bersandar pada sunnah Nabi. Namun jika terjadi ijmā‘
ulama selain sahabat dalam masalah agama, dan pemerintah Islam
menggunakan ketetapan itu sebagai Undang-Undang negara, maka Dewan
Hisbah mewajibkan mengikuti dan mentaati pemerintah Islam dihadapan
umum untuk menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah Islam.
Dewan
Hisbah juga tidak menerima qiyās dalam masalah ibadah. Qiyās hanya
dapat diaplikasikan dalam masalah mu‘āmalah, karena qiyās adalah
ra’yu,
sedangkan ibadah tidak boleh dimasuki oleh ra’yu
yang hanya berdasar pada pemikiran manusia.
Daftar Pustaka
- Federspiel, Howard M. Persatuan Islam; Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. ter. Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
- Hooker, MB. Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. ter. Iding Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju, 2003.
- Mughni, Syafiq A. Hassan Bandung; Pemikir Islam Radikal. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994.
- Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
- PP Persatuan Islam. Qonun Asasi Persatuan Islam Tahun 2000. Bandung: PP PERSIS, 2000.
- al-Qardhawy, Yusuf. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, ter. Abu Barzani. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
- Rosyada, Dede. “Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persatuan Islam.” Disertasi Doktor, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1984.
- ___________. Hukum Islam dalam Pranata Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar