Sabtu, 17 Juli 2010

Kajian Hukum Persatuan Islam

Pada masa penjajahan kolonial Belanda, umat Islam dihadapkan pada situasi terjepit. Agama Islam sering dijadikan sebagai sasaran bahan cemoohan, bahkan tuduhan-tuduhan miring sering dilontarkan. Semuanya dilancarkan baik melalui lisan maupun tulisan, dengan maksud untuk menanamkan benih-benih kebencian dalam hati kaum dan bangsa pribumi Indonesia, terutama pemeluk Islam sebagai kaum mayoritas. Itulah yang sering kita kenal sebagai politik Devide Et Impera, politik pecah belah.


Dari keprihatinan inilah, muncul gerakan-gerakan serta organisasi-organisasi modern, baik yang bergerak di bidang keagamaan, pendidikan, ekonomi, maupun politik. Salah satu dari gerakan tersebut adalah Persatuan Islam (Persis). Gerakan yang pada mulanya bertitik tolak dari persatuan pemikiran, rasa, usaha, dan suara Islam ini akhirnya berkembang pesat sehingga memiliki lembaga hukum yang membahas dan memutuskan hukum permasalahan-permasalahan yang menimpa para anggotanya. Akhirnya, ijtihad hukum adalah salah satu bidang yang tidak bisa ditinggalkan oleh Persatuan Islam.

Berdirinya Persatuan Islam 
Persatuan Islam didirikan secara formal pada tanggal 11 September 1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi aktifitas keagamaan, yang dipimpin oleh KH. Zamzam dan Muhammad Yūnus. Waktu itu, pendirian sebuah organisasi keagamaan merupakan suatu hal yang sangat biasa mengingat banyaknya organisasi, gerakan dan klub yang didirikan, baik untuk tujuan religius, sosial, ekonomi, pendidikan ataupun politik.

Ide untuk membentuk organisasi ini pertama kali dilontarkan pada saat diadakan jamuan makan (kenduri) di rumah salah seorang keluarga yang berasal dari Sumatera yang telah lama tinggal di Bandung. Karena Persatuan Islam lahir dari diksusi pertemuan keluarga, maka organisasi ini lebih merupakan suatu gerakan pemikiran keagamaan daripada sebuah organisasi yang mengutamakan jumlah anggota yang banyak dengan membuka cabang-cabang di berbagai tempat.

Pendirian Persatuan Islam merupakan usaha kelompok umat Islam untuk memperluas diskusi-diskusi tentang topik-topik keagamaan yang telah dilakukan pada basis informal selama beberapa bulan. Keanggotaan awal Persatuan Islam kurang dari dua puluh orang; pada tahun-tahun pertama, aktivitas berkisar shalat Jum’at ketika para anggota datang bersama-sama. Satu-satunya syarat bagi keanggotaan selama periode awal ini adalah ketertarikan pada agama.

Adalah Ahmad Hassan, seorang Muslim Singapura putra seorang sarjana Tamil dan seorang ibu Jawa, yang bergabung dengan gerakan ini pada tahun 1924. Ia adalah anggota yang pandangannya memberikan format dan individualitas nyata kepada Persatuan Islam dan terang-terangan menempatkannya ke dalam barisan Muslim modernis. Namun pada akhirnya Ahmad Hassan inilah yang dianggap sebagai guru Persatuan Islam yang utama.

Para pemimpinnya memandang diri sendiri sebagai cabang baru ulama yang fatwa-fatwanya akan membersihkan agama dari bid’ah dan mengadaptasikan prinsip-prinsip keagamaan dengan kondisi-kondisi kontemporer. Persatuan Islam dikenal sebagai gerakan yang cnderung puritanis dengan paradigma kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.

Dari pemikiran-pemikirannya yang fundamentalis, Persatuan Islam bahkan mendapat julukan sebagai gerakan ‘radikal revolusioner’. Berlainan dengan Muhammadiyah yang mengutamakan penyebaran pemikiran-pemikiran baru secara tenang dan damai, Persatuan Islam seakan gembira dengan perdebatan-perdebatan dan polemik. Bahkan dikatakan bahwa organisasi ini menantang berdebat terhadap orang-orang yang tidak menyetujui pendapat dan pemikirannya. Sikap menantang dari Persatuan Islam ini dicerminkan dalam beberapa penerbitannya, misalnya dalam majalah Pembela Islam, al-Fatwa, al-Taqwa, al-Lisaan, Sual Jawab, serta beberapa majalah dan buku-buku lainnya.

Kajian Hukum Persatuan Islam 
Paradigma kembali pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah bukan semata-mata milik Dewan Hisbah Persatuan Islam, dan juga tidak hanya dikemukakan oleh tokoh-tokoh organisasi keagamaan tersebut, tetapi juga dipegang teguh oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah, Syuriah NU, dan bahkan para ulama fiqh abad ke-11 Hijriyah, dan mereka masing-mansing memiliki metode dalam kajian sumber ajaran tersebut.

Majlis Tarjih Muhammadiyah lebih menonjol dalam analisis tarjihnya terhadap produk-produk pemikiran hukum yang telah ada dengan mengkaji kekuatan-kekuatan dalil yang mendasari pemikiran hukum tersebut, serta mempertimbangkan muatan-muatan semangat sufisme dalam pemikiran hukum tersebut. Sementara Syuriah NU lebih berpegang pada pemikiran-pemikiran hukum dari kalangan Shāfi‘īyah, dan menjadikannya sebagai rujukan dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer. Sedangkan ulama salaf ada yang cenderung rasional dengan melakukan pemahaman-pemahaman sosio-sentris terhadap pernyataan-pernyataan eksplisit nash, dan ada pula yang cenderung tradisional dengan melakukan pemahaman-pemahaman literal terhadap nash tersebut.

Cara untuk tiba pada suatu putusan atau fatwa pada umumnya hampir sama pada kalangan pembaharu. Tetapi cara untuk menyampaikan pada pihak-pihak lain tentang hasil ijtihad tersebut berbeda, umpanyanya di antara Muhammadiyah dengan Persatuan Islam. Muhammadiyah lebih sabar, lebih memperlihatkan pengertian dalam sikapnya terhadap orang lain, lebih mengakui bahwa perubahan dalam kebiasaan tidak dapat dilakukan serta merta. Persatuan Islam lebih tegas, lebih memperlihatkan kecenderungan untuk mengecam pihak lain, seakan merupakan suatu perintah, yang oleh karena dianggap benar harus dijalankan dengan serta merta.

Pada tahun 1930-an, Persatuan Islam lebih memiliki wajah politik yang dominan, dan setelah zaman kemerdekaan, pada 1950-an, para anggotanya masih terlibat secara politik. Adapun yang menarik bagi kita adalah beberapa fatwanya yang dianggap terpengaruh oleh dinamika perpolitikan lokal zaman itu. Fatwa-fatwa semacam ini disusun terperinci dalam bab-bab yang beruntun. Fatwa-fatwa politik, atau lebih tepatnya –menurut MB. Hooker– filsafat politik Persatuan Islam ini, dapat dilihat dari karier anggota-anggota terkemuka Persatuan Islam.

Moehamad Moenawar Chalil adalah salah satu contoh pertama yang tepat. Ia adalah seoarng aktivis politik yang bekerja di berbagai komite negara termasuk Komite Nasional Hadits dalam birokrasi agama, dan ia adalah ketua Majelis Ulama Persatuan Islam. Pada tahun 1955, tepatnya pada saat pemilihan umum pertama di Indonesia, ia mengeluarkan fatwa. Ia menyatakan bahwa pemilihan umum yang melibatkan partai-partai Muslim, melalui qiyās, sama dengan jihad, dan dengan demikian, merupakan kewajiban bagi seorang Muslim untuk mendukung kepentingan finansial kaum Muslim dengan zakat.

Dalam statemen resminya, Persatuan Islam bahkan berpendapat bahwa semua umat Islam memiliki tugas untuk terlibat dalam kegiatan politik yang merupakan bagian dari tugas agama. Pandangan ini muncul dalam tulisan-tulisan Ahmad Hassan, yang diulangi lagi dalam tulisan dan pidato Isa Anshary dan Moehammad Natsir. Pandangan seperti ini juga tercatat dalam garis-garis perjuangan Persatuan Islam dan sepenuhnya didukung oleh fatwa-fatwa ulama.

Dalam rangka mencari solusi permasalahan para anggota jam’iyyahnya, Persatuan Islam memiliki lembaga Majlis Ulama yang bertugas memberi fatwa-fatwa hukum. Lembaga ini sangat produktif dalam melahirkan pemikiran-pemikiran puritanis. Ketika kepemimpinan Persatuan Islam dipegang oleh KH.E. Abdul Rahman (1960-1983) majlis ini berganti nama menjadi Dewan Hisbah. Penggantian nama ini dimaksudkan untuk memperluas tugas dan fungsi ulama agar tidak sekadar memberi fatwa hukum, tetapi juga melakukan kontrol terhadap para anggota jam’iyyah serta para eksekutifnya terhadap berbagai penyimpangan yang mungkin mereka lakukan. 

Secara fungsional, Dewan Hisbah berkewajiban melaksanakan beberapa tugas, yaitu:
  1. Meneliti hukum-hukum Islam
  2. Menyusun petunjuk pelaksanaan ibadah bagi anggota jam’iyyah
  3. Mengawasi pelaksanaan hukum Islam
  4. Memberikan teguran kepada anggota Persatuan Islam yang melakukan pelanggaran hukum melalui Pusat Pimpinan

Metodologi Dewan Hisbah 
Dewan Hisbah adalah sebuah lembaga hukum Islam yang dimiliki oleh Persatuan Islam. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum di sini adalah hukum shara‘ (al-hukm al-syar‘ī) atau keputusan yang diatur oleh syara‘ untuk seluruh manusia mukallaf yang bersifat tuntunan atau pilihan. Adapun hukum yang dibicarakan dalam keputusan Dewan Hisbah menyangkut al-ahkām al-khamsah (lima ketetapan). Yang dimaksud lima ketetapan (al-ahkām al-khamsah) adalah: ījāb (wajib), nadb (ketetapan anjuran), tahrīm (haram atau larangan), karāhah (ketetapan larangan yang masih dapat ditoleransi), dan ibāhah (ketetapan boleh).

Pendekatan yang dilakukan Dewan Hisbah dalam proses pembuatan keputusan adalah penggabungan antara metode pembahasan modern dan klasik. Gabungan antara ilmu pengetahuan modern dan klasik merupakan salah satu karakteristik Persatuan Islam. Karena itu, sebelum memutuskan suatu hukum, terlebih dahulu perlu mendengar pendapat para ahli ilmu pengetahuan modern tentang bidang yang hendak dibahas, sehingga diketahui definisi masalah yang hendak dibahas baik menurut etimologi maupun terminologi.

Dalam membahas suatu permasalahan, Dewan Hisbah tidak berpegang pada satu madzhab ataupun kitab-kitab klasik tertentu sebagaimana yang dilakukan oleh Forum Bahtsul Masa’il dengan al-kutub al-mu‘tabarahnya. Menurut Dewan Hisbah, kitab-kitab manapun bisa dipergunakan sebagai pertimbangan, asal dapat dipertanggungjawabkan isinya secara ilmiah dan sesuai dengan visi mereka. Mereka menolak kitab-kitab yang bertentangan dengan aqidah mereka seperti kitab-kitab dari golongan Syī‘ah, Khawārij, Rāfidhah, Ahmadiyah, dan lain sebagainya.

Dalam istinbāth al-ahkām, Dewan Hisbah melakukan istidlāl dari al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan ketika tidak menemukan nash syar‘ī, maka digunakan ijtihad jamā‘ī (ijtihad kolektif) yang melibatkan para ulama Dewan Hisbah. Adapun jika terjadi ta‘ārudh (kontradiksi) antar nash, maka langkah pemecahan yang di ambil adalah: 
  1. Sedapat mungkin mempertemukan nash yang kelihatan kontradiksi 
  2. Melakukan tarjīh
  3. Melakukan metode nasakh bila diketahui mana nash yang terdahulu dan mana yang kemudian.

Dalam masalah ibadah, Dewan Hisbah tidak menerima ijmā‘, kecuali ijmā‘ para sahabat. Ijmā‘ sahabat diterima sebagai sumber hukum karena diyakini bahwa para sahabat tidak akan berani bersepakat menentukan sesuatu hukum kalau tidak ada landasan yang datang dari Nabi. Ini berarti bahwa pada hakekatnya ijmā‘ sahabat tidak berdiri sendiri, melainkan bersandar pada sunnah Nabi. Namun jika terjadi ijmā‘ ulama selain sahabat dalam masalah agama, dan pemerintah Islam menggunakan ketetapan itu sebagai Undang-Undang negara, maka Dewan Hisbah mewajibkan mengikuti dan mentaati pemerintah Islam dihadapan umum untuk menunjukkan kesetiaan kepada pemerintah Islam.

Dewan Hisbah juga tidak menerima qiyās dalam masalah ibadah. Qiyās hanya dapat diaplikasikan dalam masalah mu‘āmalah, karena qiyās adalah ra’yu, sedangkan ibadah tidak boleh dimasuki oleh ra’yu yang hanya berdasar pada pemikiran manusia.


Daftar Pustaka
  • Federspiel, Howard M. Persatuan Islam; Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. ter. Yudian W. Asmin dan Afandi Mochtar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996.
  • Hooker, MB. Islam Mazhab Indonesia; Fatwa-fatwa dan Perubahan Sosial. ter. Iding Rosyidin Hasan. Jakarta: Teraju, 2003.
  • Mughni, Syafiq A. Hassan Bandung; Pemikir Islam Radikal. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1994.
  • Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES, 1996.
  • PP Persatuan Islam. Qonun Asasi Persatuan Islam Tahun 2000. Bandung: PP PERSIS, 2000. 
  • al-Qardhawy, Yusuf. Ijtihad Kontemporer; Kode Etik dan Berbagai Penyimpangan, ter. Abu Barzani. Surabaya: Risalah Gusti, 2000.
  • Rosyada, Dede. “Metode Kajian Hukum Dewan Hisbah Persatuan Islam.” Disertasi Doktor, IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1984.
  • ___________. Hukum Islam dalam Pranata Sosial. Jakarta: Rajawali Press, 1993.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar