Rasulullah saw menganjurkan kepada kita untuk menghidupkan malam Ramadhan
dengan memperbanyak sholat. Abu Hurairah r.a. menceritakan bahwa Nabi saw.
Sangat mengajurkan qiyam Ramadhan dengan tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi
saw. Bersabda, “Siapa yang mendirikan
shalat di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan, maka ia diampuni
dosa-dosanya yang telah lampau.” Dan di antara ibadah shalat yang
dianjurkan oleh Nabi Saw adalah shalat Tarawih.
Dilihat dari pengertian secara bahasa, kata tarawih berasal dari kata “tarwihah” yang berarti “waktu sesaat
untuk istirahat”. Hal ini bisa berarti bahwa shalat tarawih adalah shalat
ketika waktu istirahat atau santai. Namun dari pengertian secara istilah shalat
tarawih berarti shalat sunnah yang dikerjakan di malam bulan Ramadhan yang
dapat dikerjakan secara sendiri-sendiri atau berjamaah bersama-sama. Adapun
waktu pelaksanaan sholat tarawih adalah setelah pelaksanaan shalat Isya’ sampai
dengan terbitnya fajar shubuh.
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum shalat tarawih adalah sunnah muakkad
(sunnah yang dianjurkan/penting). Oleh karena itu, sering kita lihat banyak
kaum muslimin yang berbondong-bondong ke masjid atau musholla untuk
melaksanakan shalat tarawih ini di bulan Ramadhan, meskipun di bulan-bulan selain
Ramadhan mereka jarang masuk masjid atau musholla. Walaupun hal demikian
dipandang sebagian orang sebagai hal yang naif, namun harus diakui bahwa hal
ini merupakan sisi positif bulan Ramadhan. Karena dengan kesadaran kaum
muslimin dan pemahaman mereka tentang banyaknya pahala amal kebaikan di bulan
Ramadhan, maka mereka dengan suka hati melaksanakan ibadah tersebut di masjid
atau musholla terdekat, sehingga terlihat syiar Islam.
Sejarah shalat tarawih
Fakta sejarah memberikan bukti kepada kita bahwa, sejak zaman Nabi Muhammad
Saw, hingga kini, umat Islam secara turun temurun mengamalkan anjuran
Rasulullah ini, yakni melaksanakan shalat tarawih pada malam bulan suci
Ramadhan. Tapi sayang, dalam pelaksanaannya terdapat sedikit perbedaan di
beberapa hal yang kadang mengganggu ikatan ukhuwah di kalangan umat Islam.
Seharusnya itu tak boleh terjadi jika umat tahu sejarah disyariatkannya shalat
tarawih.
Jika ditilik dari segi sejarah, tentulah dapat dipastikan bahwa pencetus
pertama dari shalat tarawih adalah Nabi Saw. Namun semua itu berasal dari
isyarat Allah, karena apa yang dilaksanakan oleh Nabi Saw, terutama hal-hal
yang berkaitan dengan ibadah, semua itu merupakan wahyu dari Allah. Pada
awalnya, shalat tarawih dilaksanakan Nabi saw. dengan sebagian sahabat secara
berjamaah di Masjid Nabawi di Madinah. Namun setelah berjalan hanya tiga malam
saja, Nabi membiarkan para sahabat melakukan tarawih secara sendiri-sendiri
hingga Nabi wafat.
Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan dari Ummul Mu’minin sayyidah Aisyah
ra, beliau berkata: pada suatu malam Nabi Saw. mengerjakan shalat di masjid (Nabawi),
maka datang sekelompok orang (sahabat) ikut mengerjakan shalat bersama Nabi
Saw. Sehingga bertambah banyak orang yang ikut shalat bersamanya, begitu juga
hari berikutnya. Pada hari ketiga dan keempat banyak orang berkumpul menunggu
Nabi Saw, akan tetapi beliau tidak keluar ke masjid, sehingga di pagi harinya
Nabi Saw, bersabda: “Sungguh aku telah
tahu apa yang kalian lakukan semalam dan tidak ada yang mencegah aku keluar
kecuali aku takut apabila diwajibkan kepada kalian”. Berkata sayyidah
Aisyah ra: “Dan kejadian itu di bulan
Ramadhan”.
Sepeninggal Nabi Saw, para sahabat tetap melaksanakan shalat tarawih secara
sendiri-sendiri. Hingga dikemudian hari, ketika menjadi Khalifah Umar bin
Khattab menyaksikan adanya fenomena shalat tarawih terpencar-pencar di dalam
Masjid Nabawi, maka terbesit di benak beliau untuk menyatukannya. Khalifah Umar
memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk memimpin para sahabat melaksanakan shalat
tarawih secara berjamaah. Sayyidah ‘Aisyah menceritakan kisah ini seperti yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim. Berdasarkan
riwayat itulah kemudian para ulama sepakat menetapkan bahwa shalat tarawih
secara berjamaah adalah sunnah.
Bahkan waktu itu, para wanita pun diperbolehkan untuk ikut berjamaah di
masjid, padahal biasanya mereka dianjurkan untuk melaksanakan shalat wajib di
rumah masing-masing. Tentu saja ada syarat harus memperhatikan etika ketika di
luar rumah. Yang pasti, jika tidak ke masjid ia tidak berkesempatan atau tidak
melaksanakan shalat tarawih berjamaah, maka kepergiannya ke masjid tentu akan
memperoleh kebaikan yang banyak.
Raka’at shalat tarawih
Ada beberapa pendapat tentang bilangan raka’at shalat tarawih. di antara
pendapat-pendapat tersebut adalah;
1. Pendapat yang
mengatakan shalat tarawih 8 raka’at
Pendapat ini menyatakan bahwa shalat tarawih hanya delapan raka’at ditambah
dengan tiga raka’at shalat witir, jadi semuanya jika digabung menjadi 11
raka’at. Dasar mereka adalah hadits Nabi Saw: ”Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah Saw,
tidak pernah menambah di dalam Ramadhan dan di luar Ramadhan dari 11 rakaat”.
(HR. Al-Bukhari). Dalam hadits tersebut dikatakan bahwa Nabi
tidak pernah menambah bilangan raka’at shalat sunnah selain 11 raka’at, baik
pada bulan Ramadhan maupun di luarnya.
2. Pendapat yang
mengatakan shalat tarawih 20 taka’at
Pendapat ini menyatakan bahwa shalat tarawih pada bulan Ramadhan sebanyak
20 raka’at ditambah dengan 3 raka’at shalat witir, jadi jika digabungkan
raka’at shalat tarawih dengan shalat witir seluruhnya berjumlah 23 raka’at.
Pendapat ini dikuati oleh para sahabat Nabi, serta mayoritas ulama ahli fiqih
setelahnya.
Tidak ada satupun yang menentang akan hal ini, semenjak zaman Khalifah Umar
bin Khattab, lalu zaman para imam 4 madzhab sampai saat ini. Para imam Madzhab
mengambil pendapat yang sama, tentang 20 rakaat, sebagaimana diriwayatkan oleh
Al-Imam Baihaqi dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, dari Sayyiduna
As-Saib bin Yazid ra. Beliau berkata: “Sesungguhnya
dahulu para sahabat mendirikan shalat tarawih dizaman Sayyiduna Umar ra. dua
puluh rakaat”. Imam Ahmad bin Hambal, Imam Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi’i
dan Imam Ats-Tsauri, bersepakat bahwa jumlah rakaat shalat tarawih adalah 20
rakaat.
Menurut ulama lain yang mendukung jumlah 20 raka’at, jumlah 11 raka’at yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW tidak bisa dijadikan dasar tentang jumlah raka’at
shalat Tarawih. Karena shalat Tarawih tidak pernah dilakukan oleh Nabi Saw
kecuali hanya 2 atau 3 kali saja. Dan itu pun dilakukan di masjid, bukan di
rumah.
Bagaimana mungkin Aisyah ra, meriwayatkan hadits tentang shalat tarawih
Nabi Saw? Lagi pula, istilah shalat tarawih juga belum dikenal di masa Nabi Saw.
Shalat tarawih bermula pada masa Umar bin Khattabkarena pada bulan Ramadhan
orang berbeda-beda, sebagian ada yang shalat dan ada yang tidak shalat, maka
Umar menyuruh agar umat Islam berjamaah di masjid dengan imamnya Ubay bin Ka’b.
Itulah yang kemudian populer dengan sebutan shalat tarawih, artinya istirahat,
karena mereka melakukan istirahat setiap selesai melakukan shalat 4 raka’at
dengan dua salam. Dan Umar bin Khattab berkata: “Inilah sebaik-baik bid’ah”.
3. Pendapat yang
mengatakan shalat tarawih 36 raka’at
Pendapat ini menyatakan bahwa shalat tarawih adalah 36 raka’at, kemudian
dilanjutkan dengan shalat witir sebanyak 3 raka’at. Jadi jika digabungkan
antara shalat tarawih dengan shalat witir sebanyak 39 raka’at. Pendapat ini
dimunculkan oleh Imam Malik bin Anas. Pendapat eliau ini berdasarkan amalan
penduduk Kota Madinah Al-Munawwaroh. Diantara ulama yang menguati pendapat ini
adalah khalifah Umar bin Abdul Aziz. Dasar beliau adalah agar menyamai pahala
shalat tarawih ahli Makkah yang menyelingi setiap empat raka’at dengan ibadah
thawaf. Lalu Umar bin ’Abdul Aziz menambah raka’at shalat Tarawih menjadi 36
raka’at bagi orang di luar kota Makkah agar menyamahi pahala Tarawih ahli
makkah.
4. Pendapat yang
mengatakan shalat tarawih ini tidak ada batasan bilangannya, yaitu boleh
dikerjakan dengan delapan, duapuluh, atau tiga puluh enam raka’at
Pendapat ini dimunculkan sebagian ulama’ dengan alasan bahwa untuk beribadah
tidak perlu ada batasan tertentu. Karena hal tersebut disesuaikan dengan
kemampuan setiap individu. Apalagi pada bulan Ramadhan yang disebutkan pahala
kebaikan akan dilipatgandakan, maka setiap muslim berhak melakukan ibadahnya
sesuai dengan kemampuannya.
Ikhtitam
Dengan banyaknya pendapat yang berkaitan dengan shalat tarawih bukan
berarti kita harus berselisih, bahkan bertengkar sesama umat Islam, karena hal
itu bisa membuat perpecahan di dalam tubuh umat sendiri yang sudah barang tentu
bisa menjadikan diri umat ini menjadi lemah. Namun sudah seyogyanya kita
melihat perbedaan pendapat sebagai ilmu dan intelektual dalam Islam, sehingga
kita menjalankan amalan agama dengan tenang tanpa ada klaim kebenaran dan
kesalahan dari sesama saudara seiman. Dan inilah yang disebut oleh Nabi Saw,
bahwa perbedaan adalah rahmat.
Tidak bisa kita pungkiri bahwa, pembahasan dalam makalah singkat ini masih
jauh dari kata sempurna. Namun dari sedikit pembahasan di atas, setidaknya ada
beberapa kesimpulan yang dapat kita tarik, yaitu :
- Menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan ibadah adalah sunnah muakkad, sebab Nabi Muhammad Saw, sangat menganjurkan hal tersebut, sehingga beliau bersabda: “(Ramadhan) adalah bulan yang diwajibkan berpuasa oleh Allah Swt, dan aku sunahkan shalat di malam harinya. Siapa yang berpuasa di siang harinya dan shalat di malam harinya (tarawih) dengan penuh keimanan dan pengharapan kepada Allah, akan keluar dari bulan Ramadhan seperti bayi yang baru dilahirkan (tanpa dosa)”.
- Shalat tarawih secara berjamaah adalah sunnah muakkad, sebab pernah dikerjakan Nabi Saw, pada beberapa malam di bulan Ramadhan, juga sebagaimana yang dilakukan para sahabat setelahnya.
- Jumlah rakaat tarawih masih dalam perbedaan. Sedangkan pendapat yang unggul sebagaimana ijma para sahabat dan ulama adalah 20 raka’at. Namun apabila dilaksanakan dengan 8 raka’at juga tidak menyalahi ajaran Islam, karena pendapat ini juga mempunyai dasar hukum.
- Shalat tarawih dikerjakan setelah
mengerjakan shalat Isya. Tidak sah bila dikerjakan sebelum menyelesaikan shalat
Isya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar