Proses perluasan negeri-negeri Islam yang berlangsung cepat di zaman
pemerintahan ‘Umar bin Khaththab menghadapkan khalifah pada banyak problem. Namun dengan
demikian, ia tidak lantas kehilangan keseimbangan dalam menjalankan pemerintahan, karena ia
berusaha mencari solusi sebisa mungkin. Himpunan solusi ini pertama-tama
didasarkan pada kebiasaan atau kultur Nabi, yang kedua didasarkan pada
konsultasi dengan sahabat, dan yang ketiga didasarkan pada inovasi khalifah
‘Umar sendiri.
Di samping itu, interaksi antara masyarakat Muslim Arab dengan bangsa
Persia dan Romawi menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan besar di pusat
pemerintahan Madinah. Kedua kerajaan besar itu dikenal mempunyai struktur
kelembagaan pemerintahan yang lengkap dan sistem ketatanegaraan yang baik. Sebagian
dari sistem ini yang kemudian diadopsi oleh ‘Umar dalam menjalankan
pemerintahannya, dengan cara mengevaluasi sistem dan peraturan yang ada
kemudian disesuaikan dengan ajaran Islam.
Dalam memerintah, ‘Umar tidak terlalu radikal dan keras sebagaimana yang
digambarkan sebagaian orang, namun ia sangat toleran dengan keadaan masyarakat.
Bahkan ia selalu memusyawarahkan tiap masalah yang dihadapinya, meskipun
terkadang solusinya sudah jelas bagi ‘Umar. Ini tercermin jelas dalam kisah ketika
ia pergi berkunjung ke Syam, di mana ketika itu terdengar kabar tentang wabah
penyakit di sana. Sebagai seorang pemimpin, ia memandang perlu untuk menjaga
keselamatan dirinya dan para sahabat yang menyertainya saat itu. Tidak
seharusnya mereka menempuh resiko yang besar kalau bukan untuk jihad
memperjuangkan agama atau maslahat umat. Namun tetap saja ia bermusyawarah
dengan sahabat, pertama dengan para Muhājirīn, kemudian Anshār lalu para
pembesar Quraisy. ‘Umar sengaja mengajak mereka berunding perkelompok untuk
memberi mereka tenggang waktu, sementara ia sendiri berfikir dan membandingkan
pendapat yang ada.
‘Umar juga mengoptimalkan eksistensi Bayt al-Māl sebagai kas negara.
Ia menganggap Bayt al-Māl adalah amanat Allah dan kaum muslimin. Karena
itu, ia tidak mengizinkan pemasukan sesuatu ke dalam Bayt al-Māl atau pengeluaran
darinya yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh syari‘at. Ia
mengharamkan tindakan para penguasa yang menggunakan Bayt al-Māl untuk
kepentingan individu. Perbedaan asasi antara khilāfah dan kerajaan dalam
pandangannya adalah bahwa kerajaan memberikan hak kepada raja untuk menguasai
khazanah negara (Bayt al-Māl), ia dapat apa saja dengan kebebasan yang
sempurna. Sedangkan dalam khilāfah, seorang khalifah menganggap khazanah negara
sebagai amanat Allah dan makhluk-Nya. Maka ia berkewajiban memberi hak kepada
yang berhak dan berkewajiban melakukan terhadapnya sesuai dengan aturan yang
benar.
Dalam pemerintahannya, untuk pertama kali dalam sejarah ditetapkan kalender
Islam dengan tujuan untuk memudahkan urusan administrasi negara. Sedangkan untuk
mengawasi interaksi sosial (mu‘āmalah) di pasar, ia membentuk badan hisbah
(pengawasan terhadap kegiatan di pasar) untuk menghindari
kecurangan-kecurangan dan persaingan yang tidak sehat antara para pedagang,
serta mengawasi ketertibannya.
Salah satu langkah ‘Umar yang dinilai besar perannya dalam desain sistem
komando pemerintahan adalah tindakan ‘Umar membentuk dewan pada tahun 20 H.
‘Umar mengeluarkan perintah agar nama para sahabat dicatat dan kemudian dibuat
klasifikasi sahabat berdasarkan kedekatannya dengan Nabi, catatan religiusnya,
serta loyalitasnya terhadap kemiliteran. Ia juga membuat stratifikasi sahabat
berdasarkan kesukuan. Ia lebih menyukai Muhājirīn Quraisy daripada Muhājirīn
lainnya, Muhājirīn secara keseluruhan daripada Anshār secara keseluruhan, lebih
menyukai suku Aus daripada Khazraj, dan begitulah seterusnya. Kemudian ia
membagi surplus keuangan berdasarkan kriteria yang dibuatnya. Orang yang mempunyai
hubungan dekat dengan Nabi diberi 10.000 dirham pertahun, kemudian mereka yang
pernah berpartisipasi dalam perang Badar diberi 5.000 dirham, sedangkan veteran
perang Uhud mendapat 4.000 dirham. Para sahabat yang masuk Islam sebelum Fathu
Makkah menerima 3.000 dirham, sedangkan prajurit biasa mendapatkan 500 sampai
600 dirham, dan masyarakat Muslim pada umumnya juga mendapat jatah dari Bayt
al-Māl.
Dari perlakuan ‘Umar yang tidak menyamaratakan ini, banyak pihak yang
mengkritiknya. Ia dianggap tidak melaksanakan apa yang telah dicontohkan Nabi
dan Abū Bakr, karena Nabi membagi rata harta-harta ini dengan prinsip
egalitarianisme, prinsip yang berbasis keyakinan bahwa semua orang pada
dasarnya sama. Karena itu, semua orang berhak memiliki hak dan peluang sosial,
politik dan ekonomi yang sama.
Sebenarnya, stratifikasi sosial inilah yang mereduksi jabatan sakral
khalifah, atau khalifah Tuhan dan Rasul-Nya menjadi suatu kerajaan, dan
masyarakat Muslim menjadi suatu masyarakat yang memiliki tuan penindas dan
budak tertindas. Karena hal ini menjadikan prestise sosial dan kesejahteraan
ekonomi semakin bergantung pada jabatan pemerintah dan layanan militer.
Terbukti tak lama setelah wafatnya ‘Umar, orang-orang Quraisy yang pada
dasarnya adalah pedagang, menjadikan jabatan dan layanan semacam itu sebagai
usaha yang menguntungkan. Namun ‘Umar dengan bijak mengetahui bahaya ini dan
melarang orang-orang Quraisy meninggalkan Madinah untuk berjihad atau ekspedisi
militer.
Pada akhir pemerintahannya, ‘Umar menyadari ketidaksetaraan yang
ditimbulkan oleh praktik stratifikasi sosial ini. Karena itu, ia menyesali
perlakuan tersebut seraya mengatakan, “Aku telah berupaya mendamaikan
masyarakat dengan lebih menyukai sebagian mereka atas lainnya. Akan tetapi,
jika saya masih hidup tahun ini, akan menjalankan kesetaraan di antara manusia
dan tidak akan lebih menyukai satu daripada lainnya. Aku akan mengikuti teladan
Rasul dan Abū Bakr.” Ia menyadari benar bahwa tindakan tersebut merupakan
pengulangan terhadap masa jahiliyah. Karena prinsip egalitarianismelah yang
membedakan antara masa jahiliyah dengan Islam.
‘Umar dan rasionalisasi nilai-nilai Islam
Dalam interpretasinya terhadap Islam, ‘Umar memandang apa yang telah
digariskan Allah dari aqidah hingga ibadah semuanya tak lain hanyalah sebuah
sistem yang bertujuan untuk mengambil maslahat dan mengatur kehidupan sosial
dengan adil. Oleh karena itu, terkadang ‘Umar tetap berpegang teguh dengan
keputusannya dan pendapatnya meskipun itu tidak sesuai dengan riwayat dari Rasul.
Hal itu bisa disebabkan karena ‘Umar masih kurang percaya dengan riwayat
tersebut, atau riwayat itu bertentangan dengan riwayat lain yang menurutnya
lebih kuat, atau ia berpendapat bahwa apa yang dilakukan Rasul –dalam riwayat
itu– mempunyai alasan tersendiri. Dengan kata lain, riwayat tersebut sifatnya
eksklusif, atau kedudukan Rasul ketika itu adalah sebagai seorang pemimpin yang
berijtihad dengan pemikirannya sendiri, maka begitu juga ‘Umar mempunyai
inisiatif sendiri sebagai seorang pemimpin.
Memang, ia tidak memiliki otoritas keagamaan yang independen, karena ia
tidak menerima wahyu apapun dari Allah sebagaimana yang diterima Rasul. Karena
itu, hanya masalah-masalah politik yang berlangsunglah yang harus diputuskan
atas dasar keagamaan. Sedangkan pendapat-pendapatnya yang terkadang
bersimpangan dengan al-Qur’ān hanyalah sekedar buah hasil dari ijtihadnya.
Pendapat ‘Umar memang terkenal sering bertentangan dengan al-Qur’ān atau
Hadits secara tekstual. Misalnya saja tidak dilaksanakannya hukum potong tangan
pencuri di masa paceklik. Menurut para pemikir kontemporer, pendapat ‘Umar yang
seperti ini dikarenakan keliberalan dan kemajuan berfikirnya. Bahkan tidak
sedikit yang menamakan pendapat ‘Umar semacam ini dengan sebutan nasakh
‘Umar terhadap al-Qur’ān.
Sekilas, nampaknya ayat potong tangan (Q.S.
al-Mā’idah: 38) bersifat umum, tidak berbeda antara masa paceklik dengan
lainnya. Akan tetapi ‘Umar memandang bahwa seorang yang mengambil harta orang
lain yang kaya pada masa sulit bukanlah pencuri, karena ia mempunyai hak dari
harta itu. Pada masa paceklik sudah tentu banyak sekali orang yang mengalami
kesulitan. Hal ini, bagi ‘Umar sudah cukup untuk menjadi alasan (syubhat)
yang kuat bahwa mereka mempunyai hak atas apa yang mereka ambil. Maka hukum
potong tangan tidak wajib dilaksanakan karena adanya syubhat tersebut.
Ini artinya, ‘Umar berusaha mengaplikasikan konsep al-mashlahah al-mursalah
dalam pengambilan sebuah hukum, yang nantinya konsep ini dijadikan sebagai
sumber hukum sekunder dalam Islam.
Jadi, sesuai dengan fiqh ‘Umar, maka penafsiran terhadap ayat potong tangan
pencuri mempunyai definisi; mengambil apa yang bukan menjadi haknya secara
diam-diam. Sedangkan pencuri pada masa paceklik, menurut ‘Umar, tidak termasuk pencuri
dalam pengertian di atas, karena ia mengambil apa yang menjadi haknya.
Ikhtitām
Masa kepemimpinan ‘Umar adalah masa di mana umat Islam mulai menemukan jati
dirinya sebagai komunitas masyarakat yang eksistensinya diakui oleh
bangsa-bangsa dunia lainnya, meskipun belum mempunyai tatanan politik
kenegaraan yang mapan. Bagi bangsa Arab, masa ini adalah masa transisi dari
bangsa Badui nomadik menjadi bangsa komersial dan pertanian yang cukup
mempunyai peradaban (civilized society), meskipun sistem tribal
masih melekat dalam tatanan sosial mereka.
Bisa dikatakan, ‘Umar bin al-Khaththāb adalah aplikator pertama konsep
negara Islam modern, karena dalam kepemimpinannya, untuk pertama kali terbentuk
badan administrasi, anggaran negara dalam format teratur. Di samping itu,
tindakan administratifnya yang dianggap sangat penting adalah penetapan
kalender Islam untuk tujuan penentuan tanggal lembaran, peristiwa, dan dokumen
penting negara. Di sekitar ‘Umar juga terdapat beberapa personal yang
membantunya dalam memecahkan problem serta bermusyawarah dengan mereka layaknya
para menteri saat ini.
Sedangkan rasionalisasi hukum Islam yang dilakukan ‘Umar, membuka wacana
baru dalam rangka pelestarian nilai-nilai luhur Islam yang diwariskan oleh
Nabi. Implementasi Fiqh ‘Umar selalu dibarengi dengan usaha merealisasikan
maslahat, yang sepenuhnya menjadikan kita selalu yakin bahwa apa yang
dilakukannya tak terlepas dari koridor hukum Islam.
Sepuluh tahun kekuasaannya merupakan masa ekspansi dan kesejahteraan. Tak
ragu lagi, ia adalah seorang jenius politik, meski tidak memiliki visi
kelemahlembutan seperti pendahulunya, Abū Bakr. Maka tidak terlalu berlebihan
jika Michael G. Hart memasukkan ‘Umar bin al-Khaththāb ke dalam kategori salah
satu dari seratus orang yang paling berpengaruh dalam sejarah, atau dalam
bahasa K. Ali, ‘Umar adalah one of extraordinary personality in history.
Daftar Pustaka
- Ali, K. A Study of Islamic History. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980.
- Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History; Akar-akar Krisis Politik dalam Sejarah Muslim, ter. Munir A. Mu’in. Bandung: Mizan, 2003.
- al-Būthī, Muhammad Sa‘īd Ramadhān. Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyyah. Kairo: Dār al-Salām, 1999.
- Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, vol.1, ter. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 2002.
- Husain, Taha. Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam; Abu Bakr dan Umar, ter. Ali Audah. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
- Ja’farian, Rasul. Sejarah Islam: Sejak Wafat Nabi hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah, ter. Ilyas Hasan. Jakarta: Lentera, 2004.
- Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Ghufran A. Mas’adi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
- al-Madanī, Muhammad. Nazhariyyah fī Fiqh al-Fārūq ‘Umar ibn al-Khaththāb. Kairo: al-Majlis al-A‘lā li Shu’ūn al-Islāmiyyah, 2002.
- al-Maududi, Abul A‘la. Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas Sejarah Pemerintah Islam, ter. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993.
- Saunders, J.J. A History of Medieval Islam. London and New York: Routledge, 1996.
- Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 1. Jakarta: Pustaka Alhusna, 1990.
- al-Thabarī, Abū Ja‘far Muhammad bin Jarīr. Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Beirut: Mu’assasah al-A‘lamī, 1989.
- Tim Penyusun. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
vol. 2. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar