Manusia sebagai makhluk yang diklaim oleh Allah sebagai khalifah-Nya di
muka bumi ini, diberi kesempatan untuk memakmurkan bumi dengan kebebasan
melakukan segala sesuatu yang dianggap mendatangkan manfaat. Pemberian
kebebasan ini tidak lain mengandung arti bahwa Allah telah memberikan
hak-hak kepada manusia. Manusia berhak melakukan apa saja dalam dunia ini
selama hak tersebut digunakan sebagaimana mestinya. Namun anehnya, manusia
tidak jarang menyalahgunakan haknya untuk melakukan suatu yang mendatangkan
madharat. Penyalahgunaan hak inilah yang kemudian disebut oleh ulama fiqh
modern dengan sebutan al-isā’ah fī
isti‘māl al-haq atau al-ta‘assuf fī
isti‘māl al-haq.
Dalam fiqh Islam, hak diyakini bersumber dari syāri‘, Allah Swt, dan diberikan kepada manusia sebagai wakilnya. Oleh
karena itu, setiap penyalahgunaan hak mempunyai konsekwensi teologis, yakni
tanggung jawab kepada Allah sebagai pemberi hak. Hal ini berbeda jauh dengan pandangan
hukum konvensional yang dipelopori Barat, mereka berpendapat bahwa hak berasal
dari naluri atau kemauan individu setiap orang, dan undang-undang sebagai
pengendali utama.
Jika ditinjau dari kacamata syara’, hak dalam Islam terfokus pada
pencegahan madharat, baik dalam skala induvidu ataupun masyarakat luas. Oleh
karena itu, dapatlah kita memberi definisi bahwa penyalahgunaan hak dalam Islam adalah adalah setiap penggunaan suatu hak
yang diperbolehkan tetapi dalam penggunaannya mengakibatkan bahaya terhadap
pihak lain.
Dalam bahasan singkat
ini kami berusaha menguraikan penyalahgunaan hak dalam masalah poligami dan nikah
tahlīl, tentunya dengan menyertakan
konsekwensinya, baik di dunia sebagai makhluk sosial maupun di akhirat sebagai
tanggung jawab teologis kepada sang pemberi hak.
A. POLIGAMI
Sebelum Islam datang,
poligami sudah dikenal di kalangan bangsa-bangsa di seluruh penjuru dunia, baik
yang menganut agama samawi ataupun konvensional. Islam sebagai penutup
agama samawi juga menghalalkan sistem ini. Adapun dalil yang dijadikan sebagai
sandaran utama penghalalan poligami adalah surat al-Nisā’ ayat 3: “Jika engkau takut tidak akan berbuat adil terhadap
para anak yatim, maka nikahilah yang kamu sukai dari wanita dua, tiga, atau
empat. Jika engkau taku tidak bisa berbuat adil maka satu saja.”
Sedangkan dalil dari sunnah
adalah iqrār Nabi yang membiarkan para sahabat melakukan poligami. Nabi pernah
membiarkan dan mengakui Ghaylān al-Tsaqafī yang mengawini beberapa perempuan,
namun kemudian Nabi membatasinya hanya empat saja. Di samping itu, Ijma’
sahabat dan serta para ulama salaf dan khalaf juga dijadikan hujjah yang kuat
penghalalan poligami ini.
Hikmah poligami
Di era modern ini, wanita yang belum kawin seringkali menjadi
korban dan sasaran kegelisahan dan kegoncangan masyarakat. Banyak kemaksiatan
yang memberi dampak sosial dan kehidupan individu yang parah dilakukan oleh
kaum wanita. Mungkin sifat malu kaum wanita dapat mengurangi terjadinya dampak
sosial yang parah tersebut.
Tetapi dalam kondisi yang begitu, bisa lenyap dan harus diupayakan
penanggulangan dan penyembuhan penyakitnya. Salah satu penanggulangan masalah
di atas adalah poligami. Karena itu Islam membolehkan mengawini dua, tiga, atau
empat istri bila mampu. Jika tidak ada penghalalan poligami maka akan terjadi lebih
banyak perzinahan (pelacuran, prostitusi) yang dilakukan laki-laki yang sudah
beristri atau yang dilakukan para pemuda yang belum siap mental memikul beban
berkeluarga dan berumah tangga.
Di samping itu, ketika perempuan sudah berumah tangga, terkadang sang
perempuan mengalami gangguan reproduksi yang mengakibatkan ia tidak bisa
melahirkan atau mandul, padahal salah satu tujuan disyariatkan nikah adalah
agar manusia bereproduksi agar generasi Islam terus berkesinambungan. Untuk
mengatasi masalah ini, poligami adalah salah satu solusinya.
Adapun di antara hikmah poligami untuk kemaslahatan suami adalah bahwa
laki-laki cenderung memiliki syahwat yang lebih tinggi daripada perempuan,
karena itu, terkadang tidak cukup dengan hanya beristeri satu. Sebagaimana yang
kita ketahui, jika sang isteri sedang sakit atau sedang datang bulan, maka
tidak ada jalan lain untuk menyalurkan hasrat biologis sang suami, maka harus
ada jalan keluar yakni menggauli isteri kedua, ketiga atau keempat. Di sinilah
perlunya poligami.
Namun demikian, ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang
hendak berpoligami, yakni harus adil. Adil yang dimaksud disini adalah dalam
hal pembagian nafkah dan tempat tinggal, sedangkan masalah kecenderungan hati
untuk mencintai seorang dari yang lainnya, maka hal ini urusan Allah. Nabi
sendiripun tidak mampu adil dalam hal ini, karena terbukti beliau lebih
mencintai Aisyah daripada isteri yang lainnya.
Penyalahgunaan hak dalam
poligami
Sebagaimana diuraikan di
atas, hukum poligami adalah diperbolehkan dalam Islam. Al-Qur’an mensinyalir
hal itu dalam surat dengan ketentuan boleh mengawini perempuan maksimal hingga
empat orang. Namun permasalahan akan lain jika sang suami mempunyai
problem ekonomi yang cukup sulit. Hal ini bisa digambarkan ketika seorang
suami dengan penghasilan pas-pasan, sedangkan dia mempunyai beberapa anak yang
membutuhkan penghidupan yang layak, baik dalam bidang fisik maupun mental yang
tercermin dalam pendidikan. Dalam kondisi yang semacam ini jika sang suami
bersikeras tetap ingin berpoligami, maka perbuatannya tersebut merupakan
penyalahgunaan hak (al-ta‘assuf fī isti‘māl al-haqq). Poligami adalah hak suami, dan hukumnya
pun halal, namun ketika suami tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keluarganya
yang baru, maka iapun sejatinya tidak berhak lagi untuk melakukannya.
Di zaman modern ini, poligami seakan tidak memberikan manfaat sedikitpun
kepada pelakunya, dan yang timbul malah bahaya. Para pelaku poligami kini lebih
mengutamakan dorongan syahwat daripada maslahat sosial lainnya. Jaminan
kesejahteraan keluarga diabaikan. Di sini yang muncul malah madharat bukan
maslahat, padahal dalam penggunaan hak dituntut lebih mengutamakan asas
maslahat dan menghindari madharat.
Para ulama madzhab, baik dari kalangan Hanafīyah, Mālikīyah, Syāfi‘īyah,
Hanābilah, maupun yang lainnya sepakat bahwa kemampuan untuk memberi nafaqah
kepada para isteri adalah syarat yang harus dipenuhi. Dan jika orang melakukan
poligami sedangkan ia tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut, maka ia
menyalahgunakan haknya demi kemaslahatan yang lebih kecil dari kemadharatannya.
Hukuman penyalahgunaan hak
dalam poligami
Dalam masalah penyalahgunaan hak dalam poligami ini, hukuman (jazā’) terdiri dari hukuman duniawī dan ukhrowī. Masalah penyalahgunaan hak dalam berpoligami bukanlah
masalah tindakan pidana yang mempunyai balasan yang telah ditentukan agama (hudūd), oleh karena itu maka hukuman duniawinya
harus diserahkan sepenuhnya kepada hakim, karena masuk ke dalam wilayah ta‘zīr atau ta‘wīdh (ganti rugi). Hukuman duniawi ini dimaksudkan tidak lain
untuk mencegah sang pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Adapun hukuman ukhrowī, yakni tanggung jawab kepada Allah, maka ini adalah
urusan sang pelaku dengan Allah sebagai pemberi hak. Pelaku penyalahgunaan hak
akan mendapat hukuman setimpal sesuai dengan perbuatannya. Hukuman ukhrowi
adalah hukuman asasi atas pertanggungjawaban semua perbuatan yang dilakukan
oleh manusia, termasuk penyalahgunaan hak dalam poligami ini.
B. NIKAH TAHLĪL
Nikah tahlīl adalah nikah yang dilangsungkan oleh seorang isteri yang
telah ditalak tiga oleh suaminya, kepada pihak kedua (suami kedua). Telah
diketahui bahwa seorang isteri yang ditalak tiga suaminya, maka diharamkan bagi
suami tersebut untuk menikahinya lagi kecuali sang isteri telah kawin dengan
lelaki lain dan laki-laki kedua tersebut telah menggaulinya kemudian
mencerainya lagi.
Hal ini sebagimana yang telah dilansir dalam al-Qur’an surat al-Baqarah
ayat 230: “Jika si suami mentalaknya,
maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lai,
kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi
keduanya (suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya
berpendapat dapat menjalankan hukum-hukum Allah.”
Mengenai hal ini, para ulama madhhab sepakat memberikan tiga syarat utama agar
sang suami dapat kembali lagi kepada isteri yang ditalak tiga, yakni:
- Sang
isteri harus nikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain.
- Nikah
kedua tersebut harus sah. Jika nikah kedua tersebut tidak sah atau fāsid, maka suami pertama tidak
dapat kembali lagi, karena nikah fāsid
sebenarnya bukanlah nikah.
- Sang isteri harus pernah digauli (hubungan badan) oleh suami yang kedua secara sah.
Penyalahgunaan hak dalam
nikah tahlīl
Nikah adalah hak setiap orang, bahkan Rasul Saw menghukuminya sunnah,
karena dengan nikah umat Islam akan melakukan reproduksi dan regenerasi yang
dimaksudkan untuk membangkitkan kekuatan umat Islam dengan menambah
kuantitasnya. Nikah masyru’ yang dimaksudkan disini adalah nikah untuk membentuk
rumah tangga yang abadi. Namun jika hak ini disalahgunakan seperti menikahi
seorang perempuan yang telah dicerai suaminya hanya untuk beberapa waktu saja
dengan tujuan agar suaminya dapat kembali kepada perempuan tersebut, maka hal
ini dilarang oleh agama. Kasus semacam ini dilarang oleh agama karena
meyalahgunakan haknya yang diberikan oleh Allah untuk tujuan yang dilarang,
yakni yang menyimpang dari tujuan syara’.
Para ulama tidak membolehkan seorang laki-laki menikahi perempuan yang
telah di talak tiga oleh suaminya dengan syarat yang terang (sharīh) bahwa nikahnya itu hanya untuk
menghalalkan suaminya yang pertama agar bisa kembali lagi, karena nikah ini
termasuk ke dalam kategori nikah sementara (mu’aqqot).
Menurut jumhur ulama nikah ini haram hukumnya. Adapun ulama Hanafīyah
menghukuminya makrūh tahrīm.
Sedangkan menikahi perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya dengan maksud
untuk menghalalkan suaminya yang pertama, jika tidak menyebutkan syarat
tersebut dalam akadnya, maka ulama Mālikīyah dan Hanābilah tetap menghukuminya
sebagai nikah yang tidak sah, dan sebagai implikiasinya sang isteri tetap tidak
dihalalkan kembali kepada suaminya yang pertama. Sedangkan ulama Hanafīyah dan
Zhāhiriyah berpendapat bahwa nikah tersebut sah, dan sebagai implikasinya sang
isteri dihalalkan kembali kepada suaminya yang pertama dengan syarat telah
digauli oleh suaminya yang kedua.
Hukuman penyalahgunaan nikah
tahlīl.
Nikah yang seharusnya dengan tujuan membentuk rumah tangga yang abadi telah
disalahgunakan sehingga nikah hanya untuk tujuan sementara saja karena dengan
maksud menghalalkan suami pertama untuk kembali lagi kepada isterinya. Sebagai
konsekwensi duniawi adalah nikah tersebut tidak sah atau fāsid dan hal ini berimplikasi pada tidak dihalalkan sang isteri
untuk kembali kepada suami yang pertama, jika dalam akad nikahnya disebutkan
syarat tersebut secara terang.
Adapun konsekwensi ukhrowinya adalah mereka berdosa di hadapan Allah karena
mempermainkan kesakralan nikah. Nikah yang disebut oleh al-Qur’an sebagai mītsāq ghalīzh, seharusnya dihormati.
Rasulullah pun pernah bersabda, “Allah melaknat muhallil (orang yang menikahi dengan tujuan tahlīl) dan muhallal lah
(orang yang dinikahi untuk tujuan tahlīl).”
Ikhtitam
Penyalahgunaan hak (al-isā’ah fī
isti‘māl al-haq atau al-ta‘assuf fī
isti‘māl al-haq) adalah tindakan yang melanggar ketentuan syara‘. Hak yang
seharusnya digunakan untuk mencegah madharat dan mendatangkan manfaat, malah
digunakan sebaliknya. Poligami yang semestinya menjadi hak bagi setiap Muslim
laki-laki, kini banyak disalahgunakan sebagai pemuas syahwat belaka, tanpa
memperhatikan maslahat yang seharusnya dicapai. Hal inilah yang mengharuskan
hakim turun tangan untuk mengatasi masalah ini dengan memberikan hukuman
duniawi kepada penyala guna hak tersebut.
Adapun pada permasalahan nikah tahlīl, juga banyak terjadi penyalahgunaan hak.
Nikah yang seharusnya dengan tujuan pembentukan rumah tangga yang abadi, namun
disini disalahgunakan hanya sekadar untuk menghalalkan sang suami pertama,
sehingga nikah pun tidak langgeng sebagaimana yang diinginkan oleh syara’. Wallahu a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar