Sabtu, 28 Agustus 2010

Penyalahgunaan Hak dalam Islam

Manusia sebagai makhluk yang diklaim oleh Allah sebagai khalifah-Nya di muka bumi ini, diberi kesempatan untuk memakmurkan bumi dengan kebebasan melakukan segala sesuatu yang dianggap mendatangkan manfaat. Pemberian kebebasan ini tidak lain mengandung arti bahwa Allah telah memberikan hak-hak kepada manusia. Manusia berhak melakukan apa saja dalam dunia ini selama hak tersebut digunakan sebagaimana mestinya. Namun anehnya, manusia tidak jarang menyalahgunakan haknya untuk melakukan suatu yang mendatangkan madharat. Penyalahgunaan hak inilah yang kemudian disebut oleh ulama fiqh modern dengan sebutan al-isā’ah fī isti‘māl al-haq atau al-ta‘assuf fī isti‘māl al-haq.

Dalam fiqh Islam, hak diyakini bersumber dari syāri‘, Allah Swt, dan diberikan kepada manusia sebagai wakilnya. Oleh karena itu, setiap penyalahgunaan hak mempunyai konsekwensi teologis, yakni tanggung jawab kepada Allah sebagai pemberi hak. Hal ini berbeda jauh dengan pandangan hukum konvensional yang dipelopori Barat, mereka berpendapat bahwa hak berasal dari naluri atau kemauan individu setiap orang, dan undang-undang sebagai pengendali utama.

Jika ditinjau dari kacamata syara’, hak dalam Islam terfokus pada pencegahan madharat, baik dalam skala induvidu ataupun masyarakat luas. Oleh karena itu, dapatlah kita memberi definisi bahwa penyalahgunaan hak dalam Islam adalah adalah setiap penggunaan suatu hak yang diperbolehkan tetapi dalam penggunaannya mengakibatkan bahaya terhadap pihak lain.

Dalam bahasan singkat ini kami berusaha menguraikan penyalahgunaan hak dalam masalah poligami dan nikah tahlīl, tentunya dengan menyertakan konsekwensinya, baik di dunia sebagai makhluk sosial maupun di akhirat sebagai tanggung jawab teologis kepada sang pemberi hak. 

A. POLIGAMI 
Sebelum Islam datang, poligami sudah dikenal di kalangan bangsa-bangsa di seluruh penjuru dunia, baik yang menganut agama samawi ataupun konvensional. Islam sebagai penutup agama samawi juga menghalalkan sistem ini. Adapun dalil yang dijadikan sebagai sandaran utama penghalalan poligami adalah surat al-Nisā’ ayat 3: “Jika engkau takut tidak akan berbuat adil terhadap para anak yatim, maka nikahilah yang kamu sukai dari wanita dua, tiga, atau empat. Jika engkau taku tidak bisa berbuat adil maka satu saja.” 

Sedangkan dalil dari sunnah adalah iqrār Nabi yang membiarkan para sahabat melakukan poligami. Nabi pernah membiarkan dan mengakui Ghaylān al-Tsaqafī yang mengawini beberapa perempuan, namun kemudian Nabi membatasinya hanya empat saja. Di samping itu, Ijma’ sahabat dan serta para ulama salaf dan khalaf juga dijadikan hujjah yang kuat penghalalan poligami ini. 

Hikmah poligami 
Di era modern ini, wanita yang belum kawin seringkali menjadi korban dan sasaran kegelisahan dan kegoncangan masyarakat. Banyak kemaksiatan yang memberi dampak sosial dan kehidupan individu yang parah dilakukan oleh kaum wanita. Mungkin sifat malu kaum wanita dapat mengurangi terjadinya dampak sosial yang parah tersebut.

Tetapi dalam kondisi yang begitu, bisa lenyap dan harus diupayakan penanggulangan dan penyembuhan penyakitnya. Salah satu penanggulangan masalah di atas adalah poligami. Karena itu Islam membolehkan mengawini dua, tiga, atau empat istri bila mampu. Jika tidak ada penghalalan poligami maka akan terjadi lebih banyak perzinahan (pelacuran, prostitusi) yang dilakukan laki-laki yang sudah beristri atau yang dilakukan para pemuda yang belum siap mental memikul beban berkeluarga dan berumah tangga.

Di samping itu, ketika perempuan sudah berumah tangga, terkadang sang perempuan mengalami gangguan reproduksi yang mengakibatkan ia tidak bisa melahirkan atau mandul, padahal salah satu tujuan disyariatkan nikah adalah agar manusia bereproduksi agar generasi Islam terus berkesinambungan. Untuk mengatasi masalah ini, poligami adalah salah satu solusinya.

Adapun di antara hikmah poligami untuk kemaslahatan suami adalah bahwa laki-laki cenderung memiliki syahwat yang lebih tinggi daripada perempuan, karena itu, terkadang tidak cukup dengan hanya beristeri satu. Sebagaimana yang kita ketahui, jika sang isteri sedang sakit atau sedang datang bulan, maka tidak ada jalan lain untuk menyalurkan hasrat biologis sang suami, maka harus ada jalan keluar yakni menggauli isteri kedua, ketiga atau keempat. Di sinilah perlunya poligami.

Namun demikian, ada persyaratan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang hendak berpoligami, yakni harus adil. Adil yang dimaksud disini adalah dalam hal pembagian nafkah dan tempat tinggal, sedangkan masalah kecenderungan hati untuk mencintai seorang dari yang lainnya, maka hal ini urusan Allah. Nabi sendiripun tidak mampu adil dalam hal ini, karena terbukti beliau lebih mencintai Aisyah daripada isteri yang lainnya. 

Penyalahgunaan hak dalam poligami 
Sebagaimana diuraikan di atas, hukum poligami adalah diperbolehkan dalam Islam. Al-Qur’an mensinyalir hal itu dalam surat dengan ketentuan boleh mengawini perempuan maksimal hingga empat orang. Namun permasalahan akan lain jika sang suami mempunyai problem ekonomi yang cukup sulit. Hal ini bisa digambarkan ketika seorang suami dengan penghasilan pas-pasan, sedangkan dia mempunyai beberapa anak yang membutuhkan penghidupan yang layak, baik dalam bidang fisik maupun mental yang tercermin dalam pendidikan. Dalam kondisi yang semacam ini jika sang suami bersikeras tetap ingin berpoligami, maka perbuatannya tersebut merupakan penyalahgunaan hak (al-ta‘assuf fī isti‘māl al-haqq). Poligami adalah hak suami, dan hukumnya pun halal, namun ketika suami tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keluarganya yang baru, maka iapun sejatinya tidak berhak lagi untuk melakukannya.

Di zaman modern ini, poligami seakan tidak memberikan manfaat sedikitpun kepada pelakunya, dan yang timbul malah bahaya. Para pelaku poligami kini lebih mengutamakan dorongan syahwat daripada maslahat sosial lainnya. Jaminan kesejahteraan keluarga diabaikan. Di sini yang muncul malah madharat bukan maslahat, padahal dalam penggunaan hak dituntut lebih mengutamakan asas maslahat dan menghindari madharat.

Para ulama madzhab, baik dari kalangan Hanafīyah, Mālikīyah, Syāfi‘īyah, Hanābilah, maupun yang lainnya sepakat bahwa kemampuan untuk memberi nafaqah kepada para isteri adalah syarat yang harus dipenuhi. Dan jika orang melakukan poligami sedangkan ia tidak bisa memenuhi persyaratan tersebut, maka ia menyalahgunakan haknya demi kemaslahatan yang lebih kecil dari kemadharatannya.

Hukuman penyalahgunaan hak dalam poligami 
Dalam masalah penyalahgunaan hak dalam poligami ini, hukuman (jazā’) terdiri dari hukuman duniawī dan ukhrowī. Masalah penyalahgunaan hak dalam berpoligami bukanlah masalah tindakan pidana yang mempunyai balasan yang telah ditentukan agama (hudūd), oleh karena itu maka hukuman duniawinya harus diserahkan sepenuhnya kepada hakim, karena masuk ke dalam wilayah ta‘zīr atau ta‘wīdh (ganti rugi). Hukuman duniawi ini dimaksudkan tidak lain untuk mencegah sang pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.

Adapun hukuman ukhrowī, yakni tanggung jawab kepada Allah, maka ini adalah urusan sang pelaku dengan Allah sebagai pemberi hak. Pelaku penyalahgunaan hak akan mendapat hukuman setimpal sesuai dengan perbuatannya. Hukuman ukhrowi adalah hukuman asasi atas pertanggungjawaban semua perbuatan yang dilakukan oleh manusia, termasuk penyalahgunaan hak dalam poligami ini. 

B. NIKAH TAHLĪL 
Nikah tahlīl adalah nikah yang dilangsungkan oleh seorang isteri yang telah ditalak tiga oleh suaminya, kepada pihak kedua (suami kedua). Telah diketahui bahwa seorang isteri yang ditalak tiga suaminya, maka diharamkan bagi suami tersebut untuk menikahinya lagi kecuali sang isteri telah kawin dengan lelaki lain dan laki-laki kedua tersebut telah menggaulinya kemudian mencerainya lagi.

Hal ini sebagimana yang telah dilansir dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 230: “Jika si suami mentalaknya, maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lai, kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat dapat menjalankan hukum-hukum Allah.” 

Mengenai hal ini, para ulama madhhab sepakat memberikan tiga syarat utama agar sang suami dapat kembali lagi kepada isteri yang ditalak tiga, yakni: 
  1. Sang isteri harus nikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain. 
  2. Nikah kedua tersebut harus sah. Jika nikah kedua tersebut tidak sah atau fāsid, maka suami pertama tidak dapat kembali lagi, karena nikah fāsid sebenarnya bukanlah nikah. 
  3. Sang isteri harus pernah digauli (hubungan badan) oleh suami yang kedua secara sah. 

Penyalahgunaan hak dalam nikah tahlīl 
Nikah adalah hak setiap orang, bahkan Rasul Saw menghukuminya sunnah, karena dengan nikah umat Islam akan melakukan reproduksi dan regenerasi yang dimaksudkan untuk membangkitkan kekuatan umat Islam dengan menambah kuantitasnya. Nikah masyru’ yang dimaksudkan disini adalah nikah untuk membentuk rumah tangga yang abadi. Namun jika hak ini disalahgunakan seperti menikahi seorang perempuan yang telah dicerai suaminya hanya untuk beberapa waktu saja dengan tujuan agar suaminya dapat kembali kepada perempuan tersebut, maka hal ini dilarang oleh agama. Kasus semacam ini dilarang oleh agama karena meyalahgunakan haknya yang diberikan oleh Allah untuk tujuan yang dilarang, yakni yang menyimpang dari tujuan syara’. 

Para ulama tidak membolehkan seorang laki-laki menikahi perempuan yang telah di talak tiga oleh suaminya dengan syarat yang terang (sharīh) bahwa nikahnya itu hanya untuk menghalalkan suaminya yang pertama agar bisa kembali lagi, karena nikah ini termasuk ke dalam kategori nikah sementara (mu’aqqot). Menurut jumhur ulama nikah ini haram hukumnya. Adapun ulama Hanafīyah menghukuminya makrūh tahrīm.

Sedangkan menikahi perempuan yang ditalak tiga oleh suaminya dengan maksud untuk menghalalkan suaminya yang pertama, jika tidak menyebutkan syarat tersebut dalam akadnya, maka ulama Mālikīyah dan Hanābilah tetap menghukuminya sebagai nikah yang tidak sah, dan sebagai implikiasinya sang isteri tetap tidak dihalalkan kembali kepada suaminya yang pertama. Sedangkan ulama Hanafīyah dan Zhāhiriyah berpendapat bahwa nikah tersebut sah, dan sebagai implikasinya sang isteri dihalalkan kembali kepada suaminya yang pertama dengan syarat telah digauli oleh suaminya yang kedua. 

Hukuman penyalahgunaan nikah tahlīl. 
Nikah yang seharusnya dengan tujuan membentuk rumah tangga yang abadi telah disalahgunakan sehingga nikah hanya untuk tujuan sementara saja karena dengan maksud menghalalkan suami pertama untuk kembali lagi kepada isterinya. Sebagai konsekwensi duniawi adalah nikah tersebut tidak sah atau fāsid dan hal ini berimplikasi pada tidak dihalalkan sang isteri untuk kembali kepada suami yang pertama, jika dalam akad nikahnya disebutkan syarat tersebut secara terang.

Adapun konsekwensi ukhrowinya adalah mereka berdosa di hadapan Allah karena mempermainkan kesakralan nikah. Nikah yang disebut oleh al-Qur’an sebagai mītsāq ghalīzh, seharusnya dihormati. Rasulullah pun pernah bersabda, “Allah melaknat muhallil (orang yang menikahi dengan tujuan tahlīl) dan muhallal lah (orang yang dinikahi untuk tujuan tahlīl).” 

Ikhtitam 
Penyalahgunaan hak (al-isā’ah fī isti‘māl al-haq atau al-ta‘assuf fī isti‘māl al-haq) adalah tindakan yang melanggar ketentuan syara‘. Hak yang seharusnya digunakan untuk mencegah madharat dan mendatangkan manfaat, malah digunakan sebaliknya. Poligami yang semestinya menjadi hak bagi setiap Muslim laki-laki, kini banyak disalahgunakan sebagai pemuas syahwat belaka, tanpa memperhatikan maslahat yang seharusnya dicapai. Hal inilah yang mengharuskan hakim turun tangan untuk mengatasi masalah ini dengan memberikan hukuman duniawi kepada penyala guna hak tersebut.

Adapun pada permasalahan nikah tahlīl, juga banyak terjadi penyalahgunaan hak. Nikah yang seharusnya dengan tujuan pembentukan rumah tangga yang abadi, namun disini disalahgunakan hanya sekadar untuk menghalalkan sang suami pertama, sehingga nikah pun tidak langgeng sebagaimana yang diinginkan oleh syara’. Wallahu a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar