Ancaman perpecahan merupakan masalah nyata yang dihadapi masyarakat Muslim
menyusul wafatnya Nabi. Oleh karena itu, pada saat krisis semacam ini,
dibutuhkan seorang pemimpin yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah umat di
bawah bendera Islam. Islam sebagai sebuah ideologi universal secara serius juga
memusatkan perhatian doktrin-doktrinnya terhadap terbentuknya seorang figur
pemimpin. Namun yang menjadikan umat Islam berada dalam kebingungan adalah
bagaimana memilih seorang pengganti Nabi dan menetapkan bentuk serta cakupan
kewenangannya.
Nabi tidak pernah menetapkan apa dan bagaimana sistem yang harus dipakai
untuk menetapkan pengganti beliau. Karena Nabi wafat tidak meninggalkan model
atau perangkat tatanan politik yang mapan bagi umat Islam berikutnya. Nabi
hanya meninggalkan al-Qur’ān dan al-Sunnah yang dapat menjadi acuan utama untuk
melandasi tatanan sosial politik masyarakat Islam.
Fenomena pemilihan Abū Bakr sebagai khalifah pertama pengganti Nabi, memuat
polemik yang cukup membingungkan umat. Lagi-lagi, ini tidak lain karena Nabi
tidak meninggalkan konsep dan prosedur yang sah untuk proses pemilihan seorang
pemimpin, sehingga menimbulkan krisis yang mengancam akan hancurnya persatuan
umat. Begitupun pemilihan pemimpin seterusnya, tak lepas dari polemik.
Dalam makalah singkat ini kita mencoba mengulas serangkaian peristiwa
historis yang berkorelasi dengan eksistensi kekhilafahan ‘Umar bin al-Khaththāb
sebagai khalifah kedua, kebijakan-kebijakan dan kerja-kerja kreatif ‘Umar,
upayanya dalam rangka pelestarian nilai dan ajaran Islam, serta akhir
pemerintahannya yang bisa dikatakan berakhir secara tragis.
‘Umar bin al-Khaththāb; Amīr al-Mu’minīn
Sebelum meninggal, Abū Bakr bermusyawarah dengan para pembesar sahabat yang
dinilai cukup berpengaruh terhadap rakyat Madinah untuk memilih penggantinya.
Merekapun sepakat menyatukan suara untuk memilih ‘Umar bin al-Khaththāb sebagai
pengganti Abū Bakr. Namun sebelum surat sumpah kekhalifahan diserahkan kepada ‘Umar,
Abū Bakr terlebih dahulu menawarkan kepada rakyat Madinah perihal penggantinya
tersebut, dan mayoritas rakyat setuju. Akhirnya ‘Umar dibai’at oleh rakyat
Madinah. Pembai’atan rakyat Madinah terhadap ‘Umar ini dikatakan oleh al-Būthī sebagai pengaplikasian nilai-nilai demokrasi dalam
pemilihan seorang pemimpin.
Dengan demikian, Abū Bakr adalah orang pertama yang menerapkan konsep istikhlāf
(menempatkan seorang individu menjadi pemimpin) dalam sistem pemilihan kepala
negara yang dalam hal ini khalifah. Al-Thabarī menyatakan, Abū Bakr melakukan hal
ini karena kekhawatirannya akan terjadinya perselisihan untuk merebutkan kursi
puncak kepemimpinan sebagaimana yang terjadi pasca wafatnya Nabi. Di samping
itu, kedekatan ‘Umar terhadap Abū Bakr dan Rasul sewaktu masih hidup adalah
salah satu pertimbangan tersendiri bagi Abū Bakr untuk memilih ‘Umar sebagai
penggantinya.
Namun kaum legitimis (Syī‘ah) mengatakan, Abū Bakr melakukan demikian
karena ada semacam kontrak politik dengan ‘Umar. Ketika terjadi perdebatan Saqifah
untuk menentukan pengganti Nabi, ‘Umar dengan gigih mendukung Abū Bakr dan
memantapkan kekhalifahannya meskipun sistem bai’at yang dilakukan waktu itu
sebenarnya tidak sesuai dengan hati nurani ‘Umar. Oleh sebab itulah Rasul
Ja’farian, sejarawan Syī‘ah, mengatakan bahwa ‘Alī bin Abī Thālib telah menuding
‘Umar sebagai orang yang tengah berupaya mengamankan masa depannya sendiri,
dalam arti ia mendukung Abū Bakr agar kelak ia didukung oleh Abū Bakr dalam
mencapai puncak kepemimpinan. Ia mengambil argumen bahwa ketika Abū Bakr
menyerahkan sumpah kekhalifahan kepada ‘Umar, dan minta ‘Umar untuk
membacakannya kepada masyarakat, seseorang bertanya kepada ‘Umar, “Apa isi
surat ini?” “Aku tidak tahu pasti, namun aku akan menjadi orang pertama yang
mentaati isi surat ini,” jawab ‘Umar. Si penanya berkata, “Namun aku tahu apa
isi surat ini. Tahun pertama anda mengangkat Abū Bakr menjadi khalifah, dan
tahun kedua Abū Bakr mengangkat anda menjadi khalifah.” Kutipan di atas memperlihatkan
bahwa masyarakat mengetahui adanya ikatan politik diantara Abū Bakr dan ‘Umar.
Terlepas dari benar atau tidaknya, kutipan riwayat di atas sekilas memang memperlihatkan
adanya ikatan politik antara Abū Bakr dan ‘Umar. Memang tidak salah jika dikatakan
bahwa ‘Umar berjasa dalam pengangkatan Abū Bakr menjadi khalifah, tetapi kita
harus akui bahwa Abū Bakr sudah mendapat legitimasi secara implisit dari Rasul
untuk memimpin umat, yakni ketika Rasul meminta Abū Bakr untuk mengimami shalat
ketika Rasul sakit.
Sebelum menunjuk ‘Umar, Abū Bakr berkonsultasi terlebih dahulu dengan tokoh-tokoh
terkemuka tentang penunjukan ‘Umar. Mereka yang diajak diskusi antara lain ‘Abd
al-Rahmān bin ‘Awf, ‘Utsmān bin ‘Affān, Usayd bin Hudhair al-Anshāri, Sa‘īd bin
Zayd, dan Thalhah bin ‘Uibaidillāh. Namun kelihatannya ‘Abd al-Rahmān bin ‘Awf kurang
setuju jika ‘Umar menjadi pengganti Abū Bakr, karena ‘Umar adalah tipe seorang bertempramen
tinggi yang mudah naik pitam, dan Abū Bakr menyadari hal itu. Tetapi ketika itu
‘Umar berada pada posisi yang menguntungkan karena mendapat dukungan kuat dari ‘Utsmān
bin ‘Affān.
Menurut Ja‘farian, sebenarnya banyak masyarakat Muslim ketika itu yang
tidak setuju jika Abū Bakr memilih ‘Umar sebagai penggantinya. Bahkan, konon
kaum Muslim Damaskus mengungkapkan rasa prihatin mereka atas kemungkinan ‘Umar
memegang kekuasaan. Bagi Ja‘farian, pembai’atan rakyat Madinah terhadap ‘Umar
yang dikatakan al-Būthī sebagai musyawarah pengangkatan ‘Umar sebenarnya tidak
berpengaruh sama sekali terhadap eksistensi pemerintahan ‘Umar, karena pada
dasarnya ia naik ke pemerintahan atas dasar janji tertulis dari Abū Bakr, bukan
pembai’atan. Sehingga pada akhirnya ia mengatakan bahwa ketidaksetujuan umat
bukan berarti ‘Umar tak dapat jadi khalifah, karena bai’at ini lebih merupakan
sumpah setia rakyat kepada khalifah.
Namun di pihak lain, Taha Husain mengatakan bahwa penunjukan Abū Bakr
terhadap ‘Umar bukanlah bermaksud hendak memaksa kaum muslimin. Sebab putusan kekhalifahan
tidak berada di tangan satu orang, meskipun ia adalah seorang Abū Bakr, top
leader ketika itu. Melainkan berada di tangan kaum muslimin, terutama di
kalangan pemikirnya, baik Muhājirīn maupun Anshār. Tetapi penunjukan itu
sebenarnya sebagai pencalonan atas ‘Umar dan sebagai saran kepada kaum
muslimin, dan sudah tentu keputusan kaum muslimin sendiri, mau menerima atau
menolak pencalonan tersebut. Namun kenyataannya, kaum muslimin ketika itu
menerima ‘Umar sebagai khalifah pengganti Abū Bakr.
Masalah suksesi kepemimpinan pada awal perkembangan Islam, memang banyak
dibicarakan sejarawan, baik dari kalangan Syī‘ah maupun Sunnī. Hal itu sudah dapat
kita lihat mulai dari polemik pengangkatan Abū Bakr untuk naik menjadi
khalifah. Jadi, tidak aneh jika dalam pengangkatan ‘Umar, juga banyak
dibicarakan, bahkan diperdebatkan keabsahannya. Namun kenyataan yang dapat
diterima hanya satu, yakni bahwa Abū Bakr dalam sakitnya yang sampai pada
kematian, telah menunjuk ‘Umar sebagai penggantinya, dan masyarakat Muslim
Madinah ketika itu menyetujuinya secara aklamasi.
Pada masa Abū Bakr, istilah yang dipakai untuk menunjukkan seorang pemimpin
adalah “Khalīfat Rasūl Allāh”, yang berarti pengganti Rasul. Namun
ketika ‘Umar mulai berkuasa, diusulkan pengunaan gelar “Khalīfat-u Khalīfat-i
Rasūl Allāh” yang berarti pengganti dari pengganti Rasul. Namun ‘Umar
keberatan dengan istilah panjang yang dianggap kurang praktis ini, sehingga
diperkenalkan istilah baru “Amīr al-Mu’minīn” yang berarti pemimpin kaum mukmin. Dalam
perkembangan selanjutnya, istilah “Amīr” ini banyak dipakai untuk
menyebut penguasa-penguasa di tingkat yang lebih rendah seperti gubernur atau
walikota.
Ekspansi militer dan faktor-faktor kemenangannya
Pada dasarnya, kepemimpinan di Madinah mempunyai dua kepentingan, yaitu menyebarkan
Islam secara lebih serius di kalangan suku-suku yang berada di sekitar negeri Arab,
dan menyelenggarakan ekspansi ke wilayah kekaisaran Bizantium dan Persia dengan
tujuan memperluas daerah kekuasaan untuk menunjukkan kekuatan dan eksistensi
Muslim Arab kepada dunia. Perlu difahami, ekspansi militer pada zaman itu
adalah merupakan suatu tradisi bangsa-bangsa dunia yang tidak bisa dihindari.
Oleh karena itu, Muslim Arab pun melakukannya untuk menunjukkan eksistensinya
sebagai bangsa yang kuat di mata dunia, disamping tujuan utamanya, menyebarkan
Islam.
Usaha pertama ‘Umar setelah dilantik sebagai khalifah adalah meneruskan
ekspansi militer yang telah dimulai pada masa pemerintahan Abū Bakr. Dengan
spirit religiusitas yang tinggi dan didukung dengan kapabelitas dalam mengatur
teknik kemiliteran, Muslim Arab dibawah komando ‘Umar bin al-Khaththāb berhasil
menaklukkan beberapa provinsi imperium Bizantium dan Persia. Konon, sistem
administrasi kemiliteran dalam tubuh tentara Muslim Arab jauh lebih bagus
dibanding sistem yang dipakai tentara Bizantium dan Persia, sehingga
menghasilkan pasukan militer yang cukup solid. Mesir dan Syria yang menjadi
wilayah kekuasaan Bizantium akhirnya jatuh ke tangan Muslim Arab. Begitu juga
sebagian besar negeri Persia yang dikuasai dinasti Sasania berhasil
ditaklukkan.
Faktor yang mendukung suksesnya penaklukan tentara Muslim terhadap beberapa
provinsi dari imperium Bizantium dan Persia sebenarnya tidak sulit untuk
ditebak. Secara kemiliteran, imperium Bizantium dan Persia sudah mulai
mengalami kelemahan akibat peperangan antara mereka dalam beberapa dekade
terakhir sebelum tentara Muslim menyerbu. Ini artinya, faktor ekstern tidak
kalah pentingya dalam menentukan kemenangan tentara Muslim Arab.
Bizantium, yang sudah begitu lama berkuasa, mengalami kebobrokan sosial di
kalangan pejabat tinggi kerajaan, mereka saling berebut kekuasaan, sehingga
tidak jarang terjadi pertumpahan darah. Para prajurit pun sudah mulai bosan
berperang membela negeri, karena menurut mereka perang adalah hanya membela
sesuatu yang tidak akan mereka miliki, dalam artian mereka membela tanah air
yang hanya dimiliki oleh para pembesar kerajaan.
Sedangkan rakyat, diombang-ambingkan oleh perselisihan dalam agama, dan
kezaliman pembesar kerajaan yang cenderung bersikap eksploitatif terhadap
rakyat kecil, sehingga muncul gerakan-gerakan separatis yang ingin berontak
dari kekuasaan imperium. Rakyat kecil, terutama mereka yang hidup di
provinsi-provinsi imperium Bizantium, seperti bangsa Moniphystik di Syria dan bangsa
Coptik di Mesir, memiliki sejarah pahit yang cukup panjang akibat
ketidakharmonisan hubungan mereka dengan imperium. Oleh karena itu, ketika
tentara Muslim Arab datang, bangsa tertindas tersebut lebih memilih untuk
mencoba hidup bersama rezim baru dibawah pimpinan tentara Muslim Arab.
Adapun Persia yang sedang dikuasai oleh dinasti Sasania, juga mengalami
kelemahan, disebabkan karena munculnya beberapa pemberontakan dari pihak rakyat
yang tidak puas terhadap kebijakan kerajaan dalam hal keagamaan. Ditambah lagi
lemahnya kepemimpinan Yazdigird yang dianggap kurang mampu memimpin sehingga timbul
kekacauan dalam kerajaan karena perebutan kekuasaan.
Faktor-faktor ‘menguntungkan’ inilah yang mendukung kemenangan kaum Muslim
Arab dalam ekspedisi-ekspedisinya. Oleh karena itu, jika ditinjau dari kacamata
historis, tidak terlalu sinis jika kita katakan bahwa kemenangan tentara Muslim
Arab dalam penaklukan-penaklukan yang mereka lakukan sangat didukung oleh
faktor ‘keberuntungan sejarah’. Namun kita juga tak boleh memandang sebelah
mata kekuatan militer yang dimiliki oleh Muslib Arab. Artinya, di samping
faktor ekstern yang menguntungkan, faktor intern juga sangat penting peranannya
dalam mendukung kemenangan tentara Muslim Arab.
Berakhirnya khilāfah ‘Umar bin al-Khaththāb
Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan ‘Umar dinilai kurang adil oleh
sebagian orang, sehingga muncul kebencian di kalangan sebagian masyarakat,
terutama dari mereka yang bukan beragama Islam. Adalah Abū Lu’lu’ah, budak Persia
beragama Nasrani milik al-Mughīrah bin Syu‘bah yang merasa kecewa karena merasa
dirugikan dalam hal perpajakan yang dinilai cukup eksploitatif. Sang tuan,
al-Mughīrah bin Shu‘bah, mengambil pajak –yang menurut Abū Lu’lu’ah– terlalu
besar. Hal ini disampaikan kepada ‘Umar namun tidak digubris sama sekali, bahkan
‘Umar mengatakan pajak yang diambil al-Mughīrah tidak terlalu besar. Jawaban
ini memicu rasa dendam terhadap ‘Umar dan ingin menyelesaikan permasalahan
tersebut dengan jalan kekerasan, yaitu dengan cara membunuhnya.
Tiga hari sebelum hari naasnya tiba, ‘Umar diperingatkan oleh seorang
pendeta bernama Ka‘b al-Ahbār bahwa kematiannya sudah dekat, namun ‘Umar tidak
begitu menghiraukannya. Akhirnya peringatan itupun terbukti, ketika shalat
subuh, ‘Umar ditikam Abū Lu’lu’ah dengan pedangnya yang sudah dilumuri dengan
racun, sehingga mengalami luka parah dan mengakibatkan kematiannya. Al-Būthī
menilai kematian ‘Umar yang tidak wajar ini sebenarnya bukan hanya disebabkan
dendam pribadi Abū Lu’lu’ah, melainkan ada konspirasi besar-besaran yang
didalangi oleh kaum Yahudi dan Majusi serta kaum pagan lainnya yang benci
terhadap ‘Umar.
Sebelum ‘Umar menemui ajalnya, beberapa sahabat menyarankan agar ia
mengangkat seorang pengganti, namun ‘Umar masih terperangkap dalam keraguan,
sehingga masalah suksesi menjadi persoalan yang besar bagi ‘Umar. Ini antara
lain karena tidak ada ketentuan Nabi atau al-Qur’ān yang secara umum diterima
untuk diikuti umat dalam memilih seorang pengganti. Akhirnya, ‘Umar
mempercayakan persoalan tersebut kepada dewan shūrā yang terdiri dari
semua calon yang berpeluang menjadi penggantinya. Mereka adalah ‘Utsmān bin
‘Affān, ‘Alī bin Abū Thālib, Thalhah bin Ubaidillāh, al-Zubayr bin al-‘Awwām,
Sa‘d bin Abū Waqqāsh, dan ‘Abd al-Rahmān bin ‘Awf. Namun kandidat yang terkuat
di antara enam orang tersebut adalah ‘Utsmān bin ‘Affān dan ‘Alī bin Abū Thālib,
karena ditinjau dari sisi emosional manusiawi, ‘Umar lebih cenderung memilih
dua orang tersebut disebabkan kedekatannya dengan Nabi. Melalui perdebatan yang
cukup sengit di antara pemuka sahabat, akhirnya ‘Utsmān bin ‘Affān diputuskan
sebagai khalifah ketiga menggantikan ‘Umar bin al-Khaththāb.
Masa transisi kepemimpinan dari ‘Umar ke ‘Utsmān dinilai oleh sebagian
sejarawan sebagai masa kegagalan politik umat Islam, karena kegagalan dewan syūrā
bentukan ‘Umar dalam menentukan khalifah pengganti, sehingga menimbulkan banyak
perdebatan di kalangan sahabat. Bahkan disebut sebagai krisis suksesi tahap
kedua sebagai kelanjutan krisis tahap pertama ketika pemilihan Abū Bakr sebagai
khalifah pengganti Nabi.
Namun demikian, ‘Umar bin al-Khaththāb
layak dicatat oleh sejarah sebagai salah satu orang yang paling berjasa dalam
penyebaran agama Islam. Karena di masa beliaulah Ekspansi besar-besaran terjadi
di dunia Islam, sehingga membuka pintu untuk lebih mengembangkan lagi ke dunia yang
belum pernah disentuh oleh ajaran Islam. Dan itu pun terbukti, sepeninggal ‘Umar
bin al-Khaththāb banyak negeri yang ditaklukkan oleh tentara Islam.
- Ali, K. A Study of Islamic History. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980.
- Ayoub, Mahmoud M. The Crisis of Muslim History; Akar-akar Krisis Politik
dalam Sejarah Muslim, ter. Munir A. Mu’in. Bandung: Mizan, 2003.
- al-Būthī, Muhammad Sa‘īd Ramadhān. Fiqh al-Sīrah al-Nabawiyyah.
Kairo: Dār al-Salām, 1999.
- Hodgson, Marshall G.S. The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam
Peradaban Dunia, vol.1, ter. Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina, 2002.
- Husain, Taha. Dua Tokoh Besar dalam Sejarah Islam;
Abu Bakr dan Umar, ter. Ali Audah. Jakarta: Pustaka Jaya, 1986.
- Ja’farian, Rasul. Sejarah Islam: Sejak Wafat
Nabi hingga Runtuhnya Dinasti Bani Umayyah, ter. Ilyas Hasan. Jakarta:
Lentera, 2004.
- Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Umat Islam, ter. Ghufran A. Mas’adi.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
- al-Madanī, Muhammad. Nazhariyyah fī Fiqh
al-Fārūq ‘Umar ibn al-Khaththāb. Kairo: al-Majlis al-A‘lā li Shu’ūn
al-Islāmiyyah, 2002.
- al-Maududi, Abul A‘la. Khilafah dan Kerajaan; Evaluasi Kritis atas
Sejarah Pemerintah Islam, ter. Muhammad al-Baqir. Bandung: Mizan, 1993.
- Saunders, J.J. A
History of Medieval Islam. London and New York: Routledge, 1996.
- Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam, vol. 1. Jakarta:
Pustaka Alhusna, 1990.
- al-Thabarī, Abū Ja‘far Muhammad bin Jarīr.
Tārīkh al-Umam wa al-Mulūk. Beirut: Mu’assasah al-A‘lamī, 1989.
- Tim Penyusun. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam,
vol. 2. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, tt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar