Masyarakat Indonesia disuguhi dua lembaga pendidikan yang berbeda. Yang satu
lembaga pendidikan berbasis agama yang dinaungi oleh Kementerian Agama, satu
lagi lembaga pendidikan umum yang dinaungi oleh Kementerian Pendidikan
Nasional. Sebagai umat Muslim, tentu kita tidak asing dengan lembaga yang
bernama Madrasah. Yakni lembaga pendidikan bersasis agama Islam yang telah lama
berdiri dalam lingkungan masyarakat.
Meskipun telah lama mengenal adanya madrasah di lingkungan kita, namun
tidak banyak orang yang mengetahui dengan benar bagaimana sejarah asal-usul
berdirinya madrasah. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kami membahas
tentang bukun yang membicarakan masalah madrasah, baik dari sejarahnya maupun perkembangannya
hingga saat ini. Buku ini
diangkat dari disertasi Dr. H. Maksum yang telah dipertahankan di Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Tentang penulis
Dr. H. Maksum adalah dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Cirebon. Lahir pada tanggal 9 Agustus 1954. setamat dari SMAN Kendal, Jawa
Tengah, ia melanjutkan ke fakultas kedokteran UNISSULA Semarang (1973-1978). Ia
sempat nyantri untuk mendalami ilmu keislaman di Ma‘had al-Lughah di
Uniaversitas Ummul Qura, Mekah, kemudian ia lanjutkan ke Takhassus Tarbawi di
unversitas yang sama.
Sepulang dari Mekah, ia menempuh kuliah di fakultas Tarbiyah jurusan Bahasa
Arab, IAIN Sunan Gunung Djati, Cirebom. Program Sarjana Muda diselesaikannya
tahun 1885, dan Sarjana tahun 1987. Kemudian ia melanjutkan Program Pascasarjana
di IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Program S2 diselesaikannya tahun 1993,
dan S3 tahun 1994.
Kini, ia aktif di berbagai kegiatan, di antaranya sebagai konsultan bidang
pendidikan pada pesantren Ikhwanul Muslimin, Cirebon; Dosen Luar Biasa di
Sekolah Tingggi Agama Islam; dan masih banyak lagi kegiatan lainnya. Ia juga
tergolong penulis produktif. Terbukti, banyak karyanya yang menyebar di
belantara keilmuan Indonesia.
Tentang buku
Buku ini diangkat dari disertasi Maksum yang telah dipertahankan di Program
Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Madrasah, ia jadikan tema tunggal yang ingin dilihat sejak masa pertumbuhan
hingga masa perkembangannya. Ia menggunakan pendekatan periodisasi politik,
tetapi penggambaran madrasah ia lakukan berdasarkan tahapan-tahapan pembentukan
dan perkembangan yang lazim dilalui dalam proses semua pelembagaan.
Buku ini membahas pertumbuhan madrasah sejak masa Islam klasik hingga
perkembangannya pada era modern, khususnya di Indonesia. Dalam konteks
keindonesiaan, ia menarik kesimpulan bahwa faktor yang melatarbelakangi
pertumbuhan madrasah di Indonesia secara konkret adalah adanya desakan politik
pendidikan kolonial di semua pihak, dan munculnya pembaharuan pemikiran
keagamaan di pihak lain. Kolonialisme dapat dikatakan ikut memberi sumbangan
bagi pertumbuhan madrasah atau sekolah Islam di Indonesia, karena kebijakan
mereka yang menawarkan pola pendidikan yang berbeda dengan sistem pendidikan
tradisional. Struktur pendidikan nasional sedikit banyak diadopsi oleh madrasah
dengan tetap menjaga karakter pendidikan keagamaannya.
Di antara temuan yang menarik untuk disimak dalam buku ini adalah hasil
kajiannya tentang sejarah tradisi keilmuan di madrasah. Dari segi keilmuan,
menurut Maksum, ilmu-ilmu yang diajarkan di madrasah pada umumnya masih
merupakan kelanjutan dari yang diajarkan di masjid, yakni ilmu-ilmu agama,
dengan penekanan pada ilmu fiqih, tafsir dan hadith. Dengan demikian, ilmu-ilmu
keduniaan, seperti ilmu alam dan eksakta, sebagai dasar pengembangan sains dan
teknologi tidak mendapat tempat. Meskipun dalam ajaran Islam pada dasarnya
tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum, tetapi dalam praktiknya
ilmu-ilmu agama lebih dominan.
Dari hasil kajiannya ini, Maksum menulis bahwa pada era modern madrasah
masih tetap hidup. Namun demikian, eksistensinya menjadi dipertanyakan ketika
kurikulumnya masih dimonopoli oleh ‘ulūm al-naqliyyah (Islamics
sciences). Karena posisi madrasah yang menaruh jarak dengan sains modern
itulah, maka madrasah sering disebut lembaga tradisional. Kurikulum madrasah
yang membatasi diri pada ilmu-ilmu agama agaknya mengancam eksistensinya
sendiri. Meskipun demikian, jika dilakukan penyesuaian dengan kecenderungan
pendidikan modern, madrasah masih tetap dituntut untuk menampilkan cirinya
sendiri yang memperhatikan ilmu-ilmu agama secara lebih proporsional.
Madrasah dalam era modern berada dalam tarik menarik antara keharusan
mempertahankan pengajaran ilmu-ilmu agama secara modern disatu pihak, dan
mengembangkan pengajaran ilmu-ilmu non-keagamaan di lain pihak. Sikap madrasah
yang terlalu konservatif akan mendorong lembaga ini tersaingi, dan bahkan lenyap
dari perkembangan modern. Sebaliknya, sikap akomodatif yang berlebihan terhadap
kecenderungan pendidikan modern akan menjerumuskan madrasah ke dalam sistem
pendidikan yang lepas dari niai-nilai keislaman.
Apa yang diungkap Maksum, adalah permasalahan yang pernah terjadi dalam
tubuh pendidikan di Indonesia. Pendidikan agama di tanah air semakin
mengkhawatirkan, lebih-lebih ketika keluar keputusan Presiden Nomor 34/1972,
yang menyatakan bahwa semua lembaga pendidikan di Indonesia berada di bawah
tanggung jawab Departemen P & K, termasuk lembaga pendidikan agama.
Setelah melalui proses yang cukup panjang dan rumit, masa depan pendidikan
agama menemukan sedikit titik terang. Dalam sidang Majelis Pertimbangan
Pendidikan dan Pengajaran Agama (MP3A), terdapat kesepakatan untuk menyarankan
agar madrasah, sebagai lembaga pendidikan khusus, tetap berada di bawah
tanggung jawab Departemen Agama dan pendidikan umum di madrasah disesuaikan
dengan standar pengetahuan umum di sekolah umum setingkat. Akhirnya, melalui
Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri (SKB 3 Menteri), ditetapkan pendidikan
umum di madrasah, dengan maksud agar mutu ilmiah siswa madrasah setaraf dengan
sekolah umum setingkat dalam hal pengetahuan umum, sehinga tamatan madrasah
bisa naik ke jenjang yang sama.
Melalui SKB 3 Menteri tersebut, banyak mata pelajaran umum diberikan di
madrasah, setingkat dengan apa yang diberikan di sekolah umum. Oleh karena itu,
diharapkan dualisme pendidikan dan dikotomi pengetahuan (ilmu agama dan
non-agama) secara bertahap dapat terkikis dan pelaksanaannya dapat merubah
pandangan banyak kalangan yang keliru. Lembaga Islam tidak hanya memberikan
ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan akhirat, tetapi juga
ilmu-ilmu umtuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia.
Maksum menyatakan bahwa SKB 3 Menteri tersebut secara nasional dapat
dikatakan menjadi tonggak penting integrasi pendidikan nasional, dan pada sisi
lain menjadi langkah menentukan dalam memodernisasi madrasah. Tetapi tidak
sedikit yang menolaknya –terutama pada awalnya– karena dipandang sebagai sikap
akomodatif yang berlebihan terhadap kecenderungan pendidikan modern (sekuler)
yang akan menjerumuskan madrasah ke dalam sistem pendidikan yang lepas dari
nilai-nilai keislaman. Namun pada perkembangan berikutnya, hampir semua
kalangan menerima dan menerapkan keputusan tersebut.
Kini, madrasah dipandang sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam,
karena kurikulum madrasah mengajarkan pengetahuan umum yang sama dengan
sekolah-sekolah umum sederajat. Yang membedakan madrasah dengan lembaga
pendidikan umum adalah banyaknya pengetahuan agama yang diberikan, yang
merupakan ciri khas Islam lembaga pendidikan yang berada di bawah Departemen Agama.
Dan sekarang, lembaga pendidikan Islam sudah mengalami banyak perkembangan.
Langkah-langkah perbaikan dan peningkatan mutu terus ditempuh, baik
meningkatkan kualitas guru maupun dengan perbaikan mutu kurikulum.
Dalam kesimpulannya, Maksum mengatakan bahwa sejarah pertumbuhan dan
perkembangan madrasah tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakatnya,
atau tegasnya, semua aspek kehidupan masyarakat. Di antara aspek yang dapat
dikatakan menonjol dalam mempengaruhi perkembangan madrasah adalah politik dan
pemikiran keagamaan. Karena itu, melihat sejarah madrasah bukanlah semata-mata
sejarah kelembagan pendidikan Islam, tetapi juga sejarah politik dan pemikiran
keagamaan. Dengan demikian, tanpa mempertimbangkan perkembangan politik dan
pemikiran keagamaan di Indonesia, agaknya tidak dapat mengungkap dengan utuh
semua aspek kesejarahan madrasah.
Metode penelitian
Sejauh yang kami tangkap, penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dan
paradigma yang digunakan adalah paradigma fakta sosial. Dikatakan penelitian
kuantitatif, karena peneliti mengaitkan beberapa variabel yang berbeda, yakni
perkembangan madrasah, pekembangan politik, serta perkembangan pemikiran
keagamaan. Nampak jelas, buku ini berbeda dengan buku-buku sejarah pendidikan
Islam di Indonesia yang biasanya hanya bersifat koleksi data, karya ini
menampilkan perkembangannya dalam konteks sosial politik.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis, yaitu
pendekatan yang digunakan untuk memahami arti peristiwa tertentu dan
kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Jika definisi
tersebut ditarik dalam penelitian ini, maka pendekatan ini digunakan untuk
mendapatkan data tentang bagaimana madrasah hidup di tengah-tengah masyarakat
dalam keadaan politik dan pemikiran keagamaan yang selalu berkembang.
Untuk mengetahui perkembangan madrasah pada masa Islam klasik, pengumpulan
data dilakukan melalui penelitian kepustakaan, terutama terhadap
dokumen-dokumen yang berkaitan dengan perkembangan lembaga pendidikan saat itu.
Sedangkan untuk mengetahui perkembangan madrasah dalam konteks keindonesiaan,
peneliti di samping melakukan telaah dokumen-dokumen kesejarahan, juga
melakukan telaah dokumen-dokumen yang menjadi landasan hukum pelaksanaan
kegiatan lembaga Islam ini, seperti undang-undang, Keputusan Presiden,
Keputusan Menteri, dan lain-lain. Untuk menunjang kelengkapan dan validitas data,
wawancara juga dilakukan oleh peneliti. Wawancara dilakukan dari dua arah; pertama,
dengan pihak pemerintah yang secara langsung memegang kebijakan-kebijakan,
dan kedua, dengan pihak pengurus madrasah.
Dalam analisanya, peneliti membandingkan kejadian-kejadian pada setiap
kategori data yang telah diperolehnya, yang kemudian menuliskan kesimpulan
teorinya. Jadi, kemungkinan peneliti menggunakan pendekatan grounded theory
dengan sistem analisa komparatif konstan. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar