Dari lima belas kitab karya al-Nasā’ī, salah satu karya terbesarnya adalah kitab al-Sunan al-Kubra yang berisi kumpulan hadits dalam format besar. Suatu ketika, kitab ini diberikan kepada Amīr (gubernur) Ramallah, sebuah kota di Palestina. Amīr tersebut menanyakan kepada al-Nasā’ī tentang hadits-hadits yang termuat dalam kitab tersebut, apakah shahih semua atau tidak. Al-Nasā’ī mengatakan dengan terus terang, bahwa di dalamnya terdapat hadits-hadits yang shahih, namun ada juga yang hasan, dan bahkan ada juga yang mendekatinya (dha‘īf).
Karena melihat hadits yang bercampur seperti itu, maka Sang Amīr meminta al-Nasā’ī untuk membuat satu format kitab yang memuat hadits-hadits yang shahih saja, tidak mencampurnya dengan hadits-hadits yang ber‘illat (dha‘īf). Dengan dorongan Amīr Ramallah inilah, maka al-Nasā’ī menyeleksi hadits-hadits yang shahih dalam suatu kitab, dan kitab tersebut diberi nama al-Sunan al-Sughrā, atau juga disebut al-Mujtanā, atau al-Mujtabā min al-Sunan yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sunan al-Nasā’ī.
Kitab inilah yang kemudian menjadi pegangan para ulama dalam meriwayatkan hadits dari al-Nasā’ī. Meskipun kitab ini sudah diseleksi sedemikian rupa, namun masih terdapat beberapa hadits dha‘īf di dalamnya. Mayoritas ulama mengatakan bahwa jumlah hadits yang terdapat dalam kitab ini adalah 5.761 hadits. Namun ketika kami teliti dari kitab-kitab dan bab-bab yang ada, jumlah hadits dalam kitab ini sebanyak 2.577 buah hadits. Di dalamnya, banyak ditemukan penyajian suatu hadits yang berulang di banyak tempat. Sebagai contoh, hadits tentang niat termuat sebanyak 16 kali di tempat yang berbeda.
Kitab ini cukup istimewa dalam hal sanad hadits. Karena untuk mengawali penyajian setiap hadits, al-Nasā’ī mencantumkan sanad lengkap dalam setiap matan, serta perhatian khusus mengenai proses tahdīts (periwayatan hadits) dan matan hadits selengkapnya. Sehingga pembaca sedikit banyak bisa menilai hadits tersebut dalam hal keshahihannya.
Dalam kitab ini, al-Nasā’ī masih mencantumkan beberapa hadits hasan dan dha‘īf, tetapi beliau tetap menunjukkan kelemahannya. Agaknya beliau mempunyai maksud untuk menunjukkan bahwa hadits yang juga diriwayatkan oleh ulama lain tersebut sebenarnya lemah berdasarkan hasil penelitiannya. Kitab ini disusun berdasarkan klasifikasi bab-bab fiqih, sehingga mudah untuk ditelaah. Adapun kitab-kitab dan bab-bab yang terdapat dalam kitab al-Mujtabā adalah sebagai berikut :
No. Kitab
|
Nama Kitab
|
Jumlah Bab
|
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
35.
36.
37.
38.
39.
40.
41.
42.
43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
50.
51.
|
Al-Thahārah
Al-Miyāh (masalah air)
Al-Hayd
Al-Ghusl wa al-Tayammum
Al-Shalāt
Al-Mawāqīt
Al-Ādzān
Al-Masājid
Al-Qiblah
Al-Imāmah
Iftitāh al-Shalāt
Al-Tatbiq
Al-Sahw
Al-Jum‘ah
Taqshīr al-Shalāt fī al-Safar
Al-Kusūf
Al-Istisqā’
Shalāt al-Khowf
Al-‘Īdayn
Qiyām al-Layl wa Tathawwu‘ al-Nahār
Al-Janā’iz
Al-Shiyām
Al-Zakāt
Manāsik al-Hajj
Al-Jihād
Al-Nikāh
Al-Thalāq
Al-Khayl (kuda)
Al-Ahbās (waqaf)
Al-Washāyā
Al-Nahl (pemberian)
Al-Hibah
Al-Ruqbah
Al-Umrā
Al-Aymān wa al-Nudhūr wa al-Muzāra‘ah
‘Isyārat al-Nisā’
Tahrīm al-Dam
Qasm al-Fay’
Al-Bay‘ah
Al-‘Aqīqah
Al-Farā’ wa al-‘Atīrah
Al-Shayd wa al-Dzabā’ih
Al-Dhahāyā
Al-Buyū‘
Al-Qasāmah
Qat‘ al-Sāriq
Al-Imāmah wa Sharā’i‘uh
Al-Zīnah
Adab al-Qādhi
Al-Isti‘ādhah
Al-Asyribah
|
204
13
26
30
24
55
42
46
25
62
89
106
105
45
5
25
18
27
36
67
121
85
100
251
48
84
76
17
4
12
1
4
1
5
50
4
29
16
39
5
11
39
44
109
48
8
33
122
37
65
59
|
Metode seleksi hadits
Imam al-Nasā’ī lebih menempatkan integritas perawi dari segi penguasaan hadits dan unsur kejujuran pribadinya sebagai syarat utama bagi nominasi diterimanya riwayat hadits perawi yang bersangkutan. Beliau enggan memuat hadits yang dalam jajaran sanadnya terdapat seorang atau lebih perawi yang seluruh muhadditsūn sepakat menolak riwayatnya.
Ketelitian al-Nasā’ī terbukti ketika beliau enggan mengambil hadits melalui Abū Luhay‘ah yang biasa diambil oleh ulama hadits lain, karena menurutnya, Abū Luhay‘ah dinilai sangat lemah, sebab pada usia senjanya, Abū Luhay‘ah memaksakan diri untuk mengajar hadits dengan hanya mengandalkan hafalannya, sehingga sering melakukan kesalahan. Ini menunjukkan bahwa beliau selektif dalam memilih rijāl. Bahkan dikatakan bahwa al-Nasā’ī lebih hafal (ahfazh) daripada Imām Muslim. Al-Nasā’ī juga dikenal lebih meneliti keadaan perawai daripada penyusun-penyusun kitab Sunan lainnya. Dalam menganalisis segala sisi hadits dan bila terdapat keraguan, al-Nasā’ī juga tak segan melakukan shalat istikharah, terutama bila keraguan tersebut menyentuh tentang para rijāl al-hadīts.
Adapun tertib peletakan hadits dalam Sunan al-Nasā’ī sebagaimana yang dikutip oleh al-Suyūthī adalah:
- Hadits-hadits Shahih seperti yang termuat dalam kitab Imām al-Bukhārī dan Imām Muslim.
- Hadits-hadits yang sesuai dengan kriteria Imām al-Bukhārī dan Imām Muslim, yakni jika para perawi dalam jajaran sanad tidak satupun yang disepakati oleh kalangan muhadditsūn penolakan riwayatnya, Shahih dari segi periwayatan dan tidak ada indikasi mursal atau munqathi‘.
- Hadits-hadits yang cukup populer di kalangan ulama, tetapi tidak ada jaminan keshahihannya. Jika hadits yang demikian ini mengandung ‘illah (cacat), maka dijelaskan oleh al-Nasā’ī permasalahan cacatnya.
Derajat Kitab Sunan al-Nasā’ī
Di antara al-Kutub al-Sittah, kitab al-Mujtabā termasuk kitab yang paling sedikit memuat hadits-hadits dha‘īf dan perawi yang majrūh. Menurut beberapa ulama hadits, kitab al-Mujtabā sederajat dengan kitab Sunan Abū Dāwud. Namun menurut versi lain, derajat kitab al-Mujtabā lebih tinggi daripada Sunan Abū Dāwud dan Sunan al-Turmudzī, karena al-Nasā’ī mempunyai keistimewaan dalam menyusun hadits, beliau lebih teliti dalam memilah-milah para perawi. Namun satu catatan yang patut diketahui, Abū Dāwud lebih teliti daripada al-Nasā’ī dalam bidang penyeleksian matan hadits. Oleh karena itu, ulama hadits sepakat meletakkan al-Mujtabā satu derajat dibawah Sunan Abū Dāwud.
‘Umar Hāshim, ulama hadits dari universitas Al-Azhar Mesir, mengatakan bahwa al-Nasā’ī dan Abū Dāwud hanya mengambil hadits dari thabaqah (tingkat) pertama, kedua serta ketiga, dan tidak mengambil dari thabaqah keempat, sehingga derajat kitab mereka berdua lebih tinggi daripada kitab-kitab Sunan lainnya. Keunggulan Sunan al-Nasā’ī juga didukung oleh minimnya hadits-hadits dha‘īf yang termuat dalam kitab ini. Bahkan Ibn al-Jawzī, yang dikenal sebagai kritikus hadits, mengatakan bahwa di dalam Sunan al-Nasā’ī hanya terdapat sepuluh hadits dha‘īf.
Kitab-kitab Syarh al-Sunan al-Nasā’ī
Oleh ulama-ulama setelahnya, kitab al-Sunan al-Nasā’ī diberi syarh dan komentar dengan tujuan untuk memudahkan pemahaman terhadap kandungan kitab tersebut. Adapun ulama-ulama yang mmberinya syarh antara lain;
- Jalāl al-Dīn al-Suyūthī dengan kitabnya yang berjudul Zahr al-Rubā ‘alā al-Mujtabā.
- Dari kitab al-Suyūthī di atas, diberi komentar dan penjelasan lagi oleh Abū al-Hasan Nūr al-Dīn bin ‘Abd al-Hādī al-Sindī dengan judul kitab Hasyiyah Zahr al-Rubā ‘alā al-Mujtabā.
- Sayyid ‘Alī bin Sulaimān al-Majma‘wī memberi hasyiyah dengan judul kitab ‘Urf Zahr al-Rubā ‘alā al-Mujtabā.
- Syarh ‘Allāmah Sirāj al-Dīn al-Syāfi‘ī, dengan menitikberatkan pembahasannya pada hadits-hadits zawā’id, yakni hadits yang tidak termuat dalam koleksi Shahih al-Bukhārī ataupun Shahih Muslim.
Ikhtitām
Abad ketiga hijriah adalah zaman keemasan bagi penyusunan kitab-kitab hadits. Di abad inilah muncul beberapa tokoh hadits terkenal seperti al-Nasā’ī dan beberapa ulama hadits lainnya. Dapat disimpulkan bahwa persyaratan al-Nasā’ī dalam meriwayatkan hadits cukup ketat, meskipun tidak seselektif Imām al-Bukhāri dan Muslim. Oleh karena itu, tak diragukan lagi, kitab al-Sunan al-Sughra atau al-Mujtabā merupakan salah satu kitab referensi yang bisa diandalkan. Namun dalam kitab ini masih ada beberapa hadits dha‘īf, tetapi al-Nasā’ī tetap menerangkan tentang kelenmahannya tersebut.
Terlepas dari itu semua, kitab al-Mujtabā atau Sunan al-Nasā’ī telah memberikan kontribusi konkret yang sangat besar bagi perkembangan hadits dalam khazanah intelektual dunia Islam. Sehingga bisa digunakan sebagai salah satu rujukan untuk ulama-ulama setelah zamannya.
Daftar Pustaka
- Abbas, Hasyim. Kodifikasi Hadis dalam Kitab Mu’tabar. Surabaya: Diantama, 2004.
- Abū Zahw, Muhammad Muhammad. al-Hadīts wa al-Muhadditsūn. Beirut: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1983.
- al-‘Asqalānī, Ibn Hajar. Tahdzīb al-Tahdzīb. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1994.
- Dahlan, Abdul Aziz, (ed). Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000.
- Hāshim, Ahmad ‘Umar. Qawā‘id Usūl al-Hadīts. Kairo: Mathba‘at al-Azhar, tt.
- ‘Itr, Nūr al-Dīn. Manhaj al-Naqd fī ‘Ulūm al-Hadīts. Beirut: Dār al-Fikr al-Mu‘āshir, 1997.
- al-Nasā’ī. Kitāb al-Sunan al-Kubrā. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1991.
- al-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits. Jakarta: Bulan Bintang, 1958.
- Soetari, Endang. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press, 1997.
- al-Suyūthī, Jalāl al-Dīn dan Nūr al-Dīn al-Sindī. Sunan al-Nasā’ī bi Syarh al-Hāfizh Jalāl al-Dīn al-Suyūthī wa Hasyiyah al-Imām al-Sindī. vol. 1. Beirut: Dār al-Fikr, 1930.
- Zuhri, Muhammad. Hadis Nabi; Telaah Historis dan Metodologis. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar