Seperti yang
telah biasa dipahami, pada relitanya ketika Nabi baru memulai langkahnya
berdakwah di Mekah, jihad tidak diaplikasikan, karena Nabi melihat situasi yang
tidak memungkinkan untuk diberlakukannya jihad. Ini disebabkan jumlah
pemeluknya yang terlampau sedikit dan minoritas, sehingga mengharuskan mereka
untuk mengambil sikap sabar dalam menghadapi segala penyiksaan yang dilakukan
kaum kafir Quraisy kepada mereka. Namun pasca hijrah ke Madinah, jihad baru
dilegalkan, itupun masih dalam ruang lingkup yang terbatas sebagai tindakan
defensif terhadap kaum kafir di Madinah saat itu. Barulah setelah jumlah
kuantitas umat Islam meningkat, mereka diperintahkan untuk memerangi kaum kafir
yang memusuhinya atau melanggar perjanjian dengan kaum muslimin.
Dalam konteks
keindonesiaan, jihad telah menjadi salah satu bentuk keterlibatan politik yang
digunakan oleh umat Islam Indonesia. Banyak kiai yang terlibat di dalam
pemberontakan, yang berdasarkan jihad melawan tatanan kolonial Belanda. B.J.
Boland mencatat bahwa, pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan sebuah fatwa yang
menyatakan bahwa jihad demi mencapai kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban
setiap muslim. Lantaran peran teologi jihad dalam pemberontakan, maka teologi jihad
dapat dikatakan sebagai teologi pembebasan Islam yang awal di Indonesia.
Tidak
lama setelah merdeka dari penjajahan Belanda, jihad digunakan oleh berbagai
kelompok yang menentang pemerintah guna mendirikan negara Islam yang merdeka di
Indonesia. Hal itu menandakan tindakan radikal menentang, alih-alih mendukung
negara Indonesia modern, gerakan Darul Islam pada 1950-an dan 1960 merupakan
salah satu contohnya. Pada tahun 1977, sebuah kelompok Islam menggunakan nama
Komando Jihad dan menempuh tindak kekerasan dalam upaya mendirikan sebuah
negara Islam. Meskipun banyak yang meragukan keberadaan sesungguhnya Komando
Jihad itu, organisasi ini menampilkan segi lain dalam sejarah pemberontakan
yang diilhami oleh jihad di Indonesia pada masa pasca kolonial.
Masih segar
dalam ingatan kita, peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984 yang telah
banyak memakan korban. Di mana, ketika itu, Amir Biki dalam retorikanya
menggunakan kata jihad untuk ‘memanaskan’ suasana. Peristiwa berbau SARA
tersebut dipicu oleh keinginan masa agar dua orang muslim yang telah menghajar
oknum tentara yang mengotori dinding masjid dengan air selokan, dibebaskan.
Dalam hal ini Biki, menggunakan jihad sebagaimana yang umumnya dipahami Barat,
perjuangan bersenjata melawan musuh Dâr al-Islam. Seruan untuk melakukan
jihad ini, untuk menumpahkan darah di jalan Allah adalah sebuah pesan yang
membakar, yang memiliki rujukan yang berakar kuat dalam Islam dan sejarah
politik Indonesia.
Ketika
Amerika menggempur Afghanistan, umat Islam di Indonesia beramai-ramai
mendaftarkan diri sebagai sukarelawan membela kaum muslimin yang berada di
sana. Begitu juga ketika terjadi konflik berdarah antar agama di Maluku dan
Poso, beberapa LSM bercorak Islam kebanjiran para pendaftar untuk
diberangkatkan ke daerah tersebut sebagai rasa solidaritas dan persaudaraan
sesama muslim.
Akhir-akhir ini, jihad dilancarkan lagi oleh beberapa kelompok muslim radikal dengan cara menghancurkan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh negara yang mereka anggap sebagai musuh Islam. Dan bahkan mereka sekarang dengan terus terang memusuhi pemerintah Indonesia sendiri yang mereka anggap sebagai pemerintahan yang dhalim (bughat).
Alternatif
Lain Untuk Jihad Selain Berperang
Pembaharuan
agama Islam yang bergaung pada awal abad ke-19 di seluruh dunia membawa dampak
yang cukup signifikan terhadap pemikiran keislaman di Indonesia. Beberapa
cendekiawan, seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid telah memberikan
kontribusinya mengenai pembaharuan terhadap Islam, sehingga keduanya dianggap
sebagai seorang reformis, juga modernis. Korelasinya dengan jihad, beberapa
ulama, maupun kaum intelektual telah mendefinisikan arti jihad seluas-luasnya,
tidak terfokus semata pada pengertian berperang di jalan Allah Swt. Jihad dalam
konteks ini diartikan berbuat baik di jalan Allah Swt. Jadi, cakupannya lebih
umum dari yang pertama.
Pembangunan,
keadilan sosial, kemakmuran merupakan slah satu bentuk mekanisme jihad, karena
ketiganya memerlukan perjuangan, melibatkan tantangan dan hambatan yang harus
dihadapi. Sebagaimana yang disinyalir oleh Frederick Denny “jihad sebagai suatu
usaha keras, jelas ditujukan untuk menyebarkan Islam, tetapi melalui cara damai
seperti dakwah, mengadakan perjalanan, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
dan mencontohkan teladan yang baik.”
Munawir
Syadzali, mantan Menag era Orde Baru berpendapat bahwa, jihad konflik senjata
telah usai, dan jihad di Indonesia tidak lagi membutuhkan perjuangan
bersenjata. Ia mengacu kepada kelompok-kelompok yang menyatakan perang suci
melawan pemerintah. Ia menegaskan juga bahwa jihad harus dilakukan secara
damai, dan bentuk-bentuk lainnya tidak dapat ditoleransi.
Berjihad
melalui informasi, kini, menjadi salah satu medan jihad tersendiri, tak kalah
penting dengan jihad fisik. Karena pertempuran di milenium baru ini tak lagi
dibatasi ruang dan waktu. Mungkin kaum muslimin sekali waktu dibantai
habis-habisan dalam peperangan, namun opini di uar negeri bisa berbeda seratus
delapan puluh derajat. Contohnya saja, pembantaian terhadap 800 penduduk muslim
di Halmahera Utara pada akhir Desember 1999 tak sedikit pun diberitakan di luar
negeri. Berita yang dilansir melulu adalah gereja yang dibakar, pasukan jihad
yang menganiaya warga Kristen, penduduk Kristen yang diperkosa dan dipaksa
masuk Islam dan sebagainya yang belum sepenuhnya benar.
Dalam konteks
di atas ada kecenderungan umum untuk tidak menggunakan istilah jihad, tetapi
‘perjuangan’. Pertama, hal itu tidak membangkitkan citra pemberontakan
senjata melawan negara. Kedua, hal itu berbau nasionalisme, karena
perjuangan biasa digunakan untuk membicarakan tentang gerakan kemerdekaan.
Dipilihnya
kata perjuangan, bukan jihad dewasa ini merupakan bagian dari strategi wacana
kaum intelektual muslim di Indonesia. Hak untuk menyerukan jihad adalah milik
eksklusif ulama. Karena para intelektual muslim bukan ulama, maka mereka tidak
menyerukan jihad dam hanya menyerukan perjuangan. Dalam menyerukan perjuangan
sosial umat Islam mereka membangkitkan simbolisme jihad, tanpa menempatkan
mereka dalam posisi yang dapat menentang otoritas ulama.
Kesimpulannya,
praktik jihad tidaklah terbatas hanya berperang di jalan Allah Swt an sich,
akan tetapi dapat meluas kepada konsekuensi berbuat baik di jalan Allah Swt.
Jihad tidak lagi terfokus pada pertumpahan darah fi sabilillah.
Pengertian ini, tentu saja, memberikan kesempatan bagi seluruh umat Islam di
dunia, baik yang daerahnya di landa peperangan maupun tidak, untuk mendapatkan
pahala jihad menurut tuntunan ‘profesinya’. Kita sebagai seorang penuntut ilmu,
bisa dibilang seorang mujahid, bahkan seorang ibu yang tengah mengandung pun
bisa dikatakan sebagai seorang mujahidah. Semuanya itu bisa disebut jihad,
asalkan dengan syarat terpatrinya sebuah keikhlasan demi mencari ridha Allah
semata.
Jihad,
bagaimanapun bentuknya tetap merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim.
Namun, dalam berjihad kita dituntut untuk selalu manampilkan wajah Islam yang
cinta damai dan anti kekerasan, sesuai dengan idiom “Islam with smiling face”.
Sebelum berjihad, kita harus terlebih dahulu membekali landasan kita dengan
sebuah niat mencari ridha Allah Swt. Karena apalah artinya sebuah jihad bila
dilandasi sebuah tujuan mencari kemegahan dunia, ibarat pasir yang menempel di
bebatuan yang akan terbang bila ditiup angin. Wallau a'lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar