Sabtu, 27 November 2010

Jihad dalam Konteks Keindonesiaan

Seperti yang telah biasa dipahami, pada relitanya ketika Nabi baru memulai langkahnya berdakwah di Mekah, jihad tidak diaplikasikan, karena Nabi melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk diberlakukannya jihad. Ini disebabkan jumlah pemeluknya yang terlampau sedikit dan minoritas, sehingga mengharuskan mereka untuk mengambil sikap sabar dalam menghadapi segala penyiksaan yang dilakukan kaum kafir Quraisy kepada mereka. Namun pasca hijrah ke Madinah, jihad baru dilegalkan, itupun masih dalam ruang lingkup yang terbatas sebagai tindakan defensif terhadap kaum kafir di Madinah saat itu. Barulah setelah jumlah kuantitas umat Islam meningkat, mereka diperintahkan untuk memerangi kaum kafir yang memusuhinya atau melanggar perjanjian dengan kaum muslimin.

Dalam konteks keindonesiaan, jihad telah menjadi salah satu bentuk keterlibatan politik yang digunakan oleh umat Islam Indonesia. Banyak kiai yang terlibat di dalam pemberontakan, yang berdasarkan jihad melawan tatanan kolonial Belanda. B.J. Boland mencatat bahwa, pada 22 Oktober 1945, NU mengeluarkan sebuah fatwa yang menyatakan bahwa jihad demi mencapai kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban setiap muslim. Lantaran peran teologi jihad dalam pemberontakan, maka teologi jihad dapat dikatakan sebagai teologi pembebasan Islam yang awal di Indonesia.

Tidak lama setelah merdeka dari penjajahan Belanda, jihad digunakan oleh berbagai kelompok yang menentang pemerintah guna mendirikan negara Islam yang merdeka di Indonesia. Hal itu menandakan tindakan radikal menentang, alih-alih mendukung negara Indonesia modern, gerakan Darul Islam pada 1950-an dan 1960 merupakan salah satu contohnya. Pada tahun 1977, sebuah kelompok Islam menggunakan nama Komando Jihad dan menempuh tindak kekerasan dalam upaya mendirikan sebuah negara Islam. Meskipun banyak yang meragukan keberadaan sesungguhnya Komando Jihad itu, organisasi ini menampilkan segi lain dalam sejarah pemberontakan yang diilhami oleh jihad di Indonesia pada masa pasca kolonial.

Masih segar dalam ingatan kita, peristiwa Tanjung Priok, 12 September 1984 yang telah banyak memakan korban. Di mana, ketika itu, Amir Biki dalam retorikanya menggunakan kata jihad untuk ‘memanaskan’ suasana. Peristiwa berbau SARA tersebut dipicu oleh keinginan masa agar dua orang muslim yang telah menghajar oknum tentara yang mengotori dinding masjid dengan air selokan, dibebaskan. Dalam hal ini Biki, menggunakan jihad sebagaimana yang umumnya dipahami Barat, perjuangan bersenjata melawan musuh Dâr al-Islam. Seruan untuk melakukan jihad ini, untuk menumpahkan darah di jalan Allah adalah sebuah pesan yang membakar, yang memiliki rujukan yang berakar kuat dalam Islam dan sejarah politik Indonesia.

Ketika Amerika menggempur Afghanistan, umat Islam di Indonesia beramai-ramai mendaftarkan diri sebagai sukarelawan membela kaum muslimin yang berada di sana. Begitu juga ketika terjadi konflik berdarah antar agama di Maluku dan Poso, beberapa LSM bercorak Islam kebanjiran para pendaftar untuk diberangkatkan ke daerah tersebut sebagai rasa solidaritas dan persaudaraan sesama muslim.

Akhir-akhir ini, jihad dilancarkan lagi oleh beberapa kelompok muslim radikal dengan cara menghancurkan fasilitas-fasilitas yang dimiliki oleh negara yang mereka anggap sebagai musuh Islam. Dan bahkan mereka sekarang dengan terus terang memusuhi pemerintah Indonesia sendiri yang mereka anggap sebagai pemerintahan yang dhalim (bughat). 

Alternatif Lain Untuk Jihad Selain Berperang 
Pembaharuan agama Islam yang bergaung pada awal abad ke-19 di seluruh dunia membawa dampak yang cukup signifikan terhadap pemikiran keislaman di Indonesia. Beberapa cendekiawan, seperti Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid telah memberikan kontribusinya mengenai pembaharuan terhadap Islam, sehingga keduanya dianggap sebagai seorang reformis, juga modernis. Korelasinya dengan jihad, beberapa ulama, maupun kaum intelektual telah mendefinisikan arti jihad seluas-luasnya, tidak terfokus semata pada pengertian berperang di jalan Allah Swt. Jihad dalam konteks ini diartikan berbuat baik di jalan Allah Swt. Jadi, cakupannya lebih umum dari yang pertama.

Pembangunan, keadilan sosial, kemakmuran merupakan slah satu bentuk mekanisme jihad, karena ketiganya memerlukan perjuangan, melibatkan tantangan dan hambatan yang harus dihadapi. Sebagaimana yang disinyalir oleh Frederick Denny “jihad sebagai suatu usaha keras, jelas ditujukan untuk menyebarkan Islam, tetapi melalui cara damai seperti dakwah, mengadakan perjalanan, mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan mencontohkan teladan yang baik.”

Munawir Syadzali, mantan Menag era Orde Baru berpendapat bahwa, jihad konflik senjata telah usai, dan jihad di Indonesia tidak lagi membutuhkan perjuangan bersenjata. Ia mengacu kepada kelompok-kelompok yang menyatakan perang suci melawan pemerintah. Ia menegaskan juga bahwa jihad harus dilakukan secara damai, dan bentuk-bentuk lainnya tidak dapat ditoleransi.

Berjihad melalui informasi, kini, menjadi salah satu medan jihad tersendiri, tak kalah penting dengan jihad fisik. Karena pertempuran di milenium baru ini tak lagi dibatasi ruang dan waktu. Mungkin kaum muslimin sekali waktu dibantai habis-habisan dalam peperangan, namun opini di uar negeri bisa berbeda seratus delapan puluh derajat. Contohnya saja, pembantaian terhadap 800 penduduk muslim di Halmahera Utara pada akhir Desember 1999 tak sedikit pun diberitakan di luar negeri. Berita yang dilansir melulu adalah gereja yang dibakar, pasukan jihad yang menganiaya warga Kristen, penduduk Kristen yang diperkosa dan dipaksa masuk Islam dan sebagainya yang belum sepenuhnya benar.

Dalam konteks di atas ada kecenderungan umum untuk tidak menggunakan istilah jihad, tetapi ‘perjuangan’. Pertama, hal itu tidak membangkitkan citra pemberontakan senjata melawan negara. Kedua, hal itu berbau nasionalisme, karena perjuangan biasa digunakan untuk membicarakan tentang gerakan kemerdekaan.

Dipilihnya kata perjuangan, bukan jihad dewasa ini merupakan bagian dari strategi wacana kaum intelektual muslim di Indonesia. Hak untuk menyerukan jihad adalah milik eksklusif ulama. Karena para intelektual muslim bukan ulama, maka mereka tidak menyerukan jihad dam hanya menyerukan perjuangan. Dalam menyerukan perjuangan sosial umat Islam mereka membangkitkan simbolisme jihad, tanpa menempatkan mereka dalam posisi yang dapat menentang otoritas ulama.

Kesimpulannya, praktik jihad tidaklah terbatas hanya berperang di jalan Allah Swt an sich, akan tetapi dapat meluas kepada konsekuensi berbuat baik di jalan Allah Swt. Jihad tidak lagi terfokus pada pertumpahan darah fi sabilillah. Pengertian ini, tentu saja, memberikan kesempatan bagi seluruh umat Islam di dunia, baik yang daerahnya di landa peperangan maupun tidak, untuk mendapatkan pahala jihad menurut tuntunan ‘profesinya’. Kita sebagai seorang penuntut ilmu, bisa dibilang seorang mujahid, bahkan seorang ibu yang tengah mengandung pun bisa dikatakan sebagai seorang mujahidah. Semuanya itu bisa disebut jihad, asalkan dengan syarat terpatrinya sebuah keikhlasan demi mencari ridha Allah semata.

Jihad, bagaimanapun bentuknya tetap merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim. Namun, dalam berjihad kita dituntut untuk selalu manampilkan wajah Islam yang cinta damai dan anti kekerasan, sesuai dengan idiom “Islam with smiling face”. Sebelum berjihad, kita harus terlebih dahulu membekali landasan kita dengan sebuah niat mencari ridha Allah Swt. Karena apalah artinya sebuah jihad bila dilandasi sebuah tujuan mencari kemegahan dunia, ibarat pasir yang menempel di bebatuan yang akan terbang bila ditiup angin. Wallau a'lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar