Sebagaimana yang dikemukakan didepan, ada lima
pokok yang menjadi poros pemikiran Mu‘tazilah yang harus diterima utuh oleh para
pengikutnya. Karena begitu penting, ‘Abd al-Jabbār sampai membahasnya dalam
sebuah buku khusus, yaitu Syarh
al-Ushūl al-Khamsah. Adapun pendapat beliau tentang kelima prinsip itu
adalah:
- Al-tawhīd
dan keesaan Tuhan. ‘Abd
al-Jabbār memahami ini sebagai pengetahuan bahwa Allah itu esa, tidak
sesuatupun yang menyamai-Nya dalam sifat-sifat yang menjadi hak-Nya, baik
penegasan ataupun penetapan atas hal itu. Ada dua hal yang menjadi syarat untu
mengetahui keesaan-Nya, yaitu pengetahuan (al-‘ilm)
yang berupa ilmu tauhid dan penetapan (al-iqrār).
- Al-‘adl, atau keadilan Tuhan. Jika al-tawhīd mengandung keunikan Tuhan
dalam zat-Nya, maka al-‘adl
mengandung keunikan Tuhan dalam perbuatan-Nya. Secara terminologis, ia
diartikan sebagai perbuatan Tuhan yang semuanya baik, Ia tidak melakukan sesuatu
yang tidak baik dan tidak meninggalkan apapun yang sudah menjadi kewajiban-Nya.
‘Abd al-Jabbār juga memaknai al-‘adl
sebagai pemenuhan terhadap hak-hak pihak lain (makhluk).
- Al-wa‘d
wa al-wa‘īd, atau janji
dan ancaman. Terkait dengan prinsip kedua, Tuhan tidak akan adil jika Ia tidak
memberikan pahala terhadap orang yang baik atau tidak menghukum orang yang
berbuat jahat. Oleh karena itu, janji dan ancaman menurut Mu‘tazilah adalah
kewajiban Tuhan. Jika Tuhan tidak menepati janji dan ancamannya tersebut, maka
Tuhan berdusta.
- Al-manzilah
bayn al-manzilatayn,
yakni posisi menengah antara mukmin dan kafir, bagi pendosa besar. Posisi ini
diberikan karena ‘Abd al-Jabbār melihat posisi orang mukallaf itu pada dasarnya
terbagi menjadi dua; pertama,
mukallaf yang tidak berhak mendapat pahala. Kedua,
mukallaf yang mendapat siksa Allah yang kemudian dibagi lagi menjadi dua: penerima siksa berat seperti orang kafir dan penerima
siksa ringan seperti fasiq. Kaum Mu‘tazilah menganggap bahwa pendosa besar ini
berada pada posisi fasiq, yakni tidak dianggap sebagai mukmin yang diberi
kenikmatan oleh Allah dan bukan pula kafir yang mendapat siksaan yang pedih.
- Al-ma‘rūf
wa al-nahy ‘an al-munkar.
Prinsip ini dipandang sebagai kewajiban yang disepakati oleh seluruh umat
Islam. Tidak ada pandangan secara lebih detail mengenai hal ini.
Perbuatan manusia dan
keadilan Tuhan
‘Abd al-Jabbār mendefinisikan perbuatan sebagai sebuah kejadian yang
diciptakan oleh orang yang mampu (mā yahshul
min qādir mi al-hawādits), dan ia harus menyadari bahwa ia mampu melakukan perbuatan tersebut.
Perbuatan ini diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Bila ditinjau dari status hukum, perbuatan itu dapat
dibagimenjadi dua, yaitu netral atau perbuatan yang tidak disifati dengan sifat
baik (hasan) atau buruk (qabīh) seperti orang tidur, dan yang
kedua adalah valuable (bernilai
hukum). Sedangkan ditinjau dari bagaimana perbuatan tersebut dikerjakan
manusia, ia juga masih dibagi menjadi dua; pertama,
perbuatan mulja’, yaitu perbuatan
yang bebas dari tuntutan hukum, perbuatan ini dilakukan karena adanya
motif-motif tertentu ayang memaksa seseorang untuk melakukannya, seperti
memakan bangkai pada saat tertimpa bencana kelaparan. Kedua, ghayr mulja’, yaitu perbuatan yang
terikat dengan hukum.
Terkait dengan ghayr mulja’,
perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan manusia sendiri dan bukan karena
paksaan atau kehendak Tuhan. Tuhan hanya menganugerahkan manusia dengan qudrah dan istitho‘ah untuk mewujudkan perbuatannya itu, selebihnya
manusialah yang menentukan apakah ia benar-benar akan merealisasikannya atau
tidak. Ini yang kemudian disebut dengan free
will (kebebasan berkehendak).
Ghayr mulja’ dikatakan sebagai perbuatan yang terkait
dengan hukum, karena perbuatan yang dilakukan atas dasar kebebasan itu memiliki
konsekwensi-konsekwensi hukum tersendiri dan orang yang melakukan kebaikan akan
mendapatkan imbalan yang telah dijanjikan Tuhan, begitu pula orang yang
melakukan kejahatan akan mendapatkan balasan yang setimpal. Ini sesuai dengan ushūl al-khamsah ketiga, yakni al-wa‘d wa al-wa‘īd.
Selain wahyu sendiri telah menisyaratkan tentang kebebasan berkehendak itu,
seperti surat al-Tawbah ayat 9: “Manusia bebas mengerjakan apa yang dia
kehendaki.”
‘Abd al-Jabbār juga mempunyai argumentasi lain tentang hal ini. Argumen ini juga merupakan jawaban dari ‘Abd al-Jabbār terhadap paham al-Mujabbirah
yang menganggap manusia tidak mempunyai kemampuan untuk memilih dan melakukan
perbuatan, melainkan hanya dipaksa oleh Allah. Ia berargumen; pertama, pembebanan kewajiban itu mensyaratkan adanya
kebebasan untuk memilih untuk melakukan perbuatan. Kedua, jika perbuatan manusia sudah ditentukan sebelumnya, maka
pengutusan Rasul akan sia-sia. Ketiga,
pujian tidak dapat diberikan pada manusia dan celaan juga tidak dapat
ditimpakan kepadanya kalau ia tidak melakukan perbuatan yang dipilihnya
sendiri.
Rasionalisasi dari ketiga argumen diatas adalah jika memang perbuatan itu
diciptakan atau sudah ditentukan oleh Allah, mengapa harus ada taklīf (pembebanan kewajiban), sementara
pelaksanaan kewajiban juga ada dalam ‘genggaman’ Allah, dan tidak perlu juga
adanya Rosul untuk menyampaikan risalah jika semuanya termasuk perbuatan, sudah
ditentukan oleh Allah.
Demikian pula ayat-ayat seperti al-Sajadah (32): 17 “......sebagai upah atas apa yang mereka perbuat.” Al-Kahfi (18): 29
“Siapa yang mau, percayalah ia, dan siapa
yang tidak mau janganlah ia percaya.” Dan beberapa ayat lainnya yang
mengindikasikan adanya kebebasan manusia dalam berbuat, jika ditarik pada
pemahaman diatas, tidak akan mempunyai arti apa-apa. Oleh karena itu, supaya
ayat ini tidak mengandung dusta, menurut
‘Abd al-Jabbār perbuatan manusia itu harus diartikan sebagai perbuatan manusia
yang sesungguhnya.
Apabila paham al-Qadarīyah (free will)
itu direfleksikan kepada keadilan Tuhan, maka letak keadilan itu akan terlihat
dari bagaimana Tuhan memberikan apresiasi, yang berbentuk reward dan punishment
terhadap perbuatan manusia. Tuhan dianggap tidak adil jika ia menghukum atau
memberikan ganjaran terhadap manusia sementara perbuatan manusia itu merupakan
manifestasi kehendak dan daya Tuhan sebagaimana paham al-Jabarīyah.
Begitu juga Tuhan dianggap tidak adil jika tidak memberikan kompensasi dan
sanksi terhadap perbuatan manusia sementara perbuatan itu lahir atas dasar
kehendak dan daya manusia sendiri. Abd Jabbar dalam hal ini berani menempatkan
posisi Tuhan yang harus tunduk terhadap hukum konsepsi manusia, sebagaimana
yang diungkapkan di depan, Dia terikat dalam memenuhi janji-janji-Nya terhadap
manusia. Oleh karena itu, konsep keadilan Tuhan dapat dipertahankan apabila ia
sejalan dengan paham kebebasan manusia dalam berkehendak dan berbuat.
Ikhtitām
‘Abd al-Jabbār adalah salah satu tokoh Mu‘tazilah yang lahir pada periode
kebangkitan kedua. Kedudukannya dalam sejarah Mu‘tazilah sangat penting, karena
ia berusaha untuk menghidupkan kembali paham aliran ini yang sempat tergeser
dan vakum. Oleh karena itu, tidak salah apabila ia disebut sebagai penyambung
eksistensi pemikiran Mu‘tazilah.
Dalam hal pemikiran yang banyak dibahas oleh ‘Abd al-Jabbār atau
pihak-pihak lain yang mengkaji pemikirannya adalah masalah perbuatan manusia
dan keadilan Tuhan. Sebagaimana pandangan Mu‘tazilah pada umumnya bahwa
perbuatan manusia merupakan perbuatan murni dari manusia sendiri (perbuatan
yang dimaksud dan menurut terminologi ‘Abd al-Jabbār adalah perbuatan ghayr mulja’) tidak ada campur tangan
Tuhan dalam hal ini. Tuhan hanya memberikan daya dan kemampuan pada manusia
untuk mewujudkan perbuatan itu tanpa harus mendikte bentuk atau wujud perbuatan
tersebut. Karena itu, keadilan Tuhan akan terasa apabila dalam memberikan
keluasan berkehendak ini ia juga memberikan konsekwensi-konsekwensi tertentu
atas perbuatan yang dilakukan, misalnya pahala untuk orang yang berbuat baik
dan hukuman untuk orang yang berbuat jahat.
DAFTAR PUSTAKA
- ‘Abd al-Jabbār, Al-Qodhi
Abū Hasan. al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd
wa al-‘Adl, vol.6. Mesir: al-Mu’assasah al-Mishrīyah al-‘Ammah, 1962.
- __________. al-Mughnī fī Abwāb al-Tawhīd wa al-‘Adl,
vol.20. Kairo: Wizārat al-Tsaqāfah wa al-Irsyād al-Qawmī, 1969.
- __________. Syarh al-Ushūl al-Khamsah. Kairo: Maktabah Wahbah,
1996.
- Abu Zahrah, Imam Muhammad. Aliran
Politik dan Aqidah dalam Islam, ter. Abd. Rohman Dahlan dan Ahmad Qarib. Jakarta: Logos Publishing House, 1996.
- Asmuni, Yusran. Ilmu Tauhid. Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1994.
- Fakhry, Majid. A History of Islamic Philosophia. New York and London: Columbia University Press, 1970.
- Hourani, George F. Islamic Rationalism: The Ethic of Abd al-Jabbar. Oxford: Clarendom Press, 1997.
- Machasin, Al-Qadli ‘Abd al-Jabbar, Mutasyabah al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an. Yogyakarta: LKiS, 2000.
- Nasution, Harun. Islam Rasional. Bandung: Mizan, 1998.
- __________. Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan. Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986.
- Watt, Montgomery. Formative Period of Islamic Thought. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1973.
- __________. Islamic Philosophia and Teology. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1987.
- Wardani. Epistemologi Kalam Abad Pertengahan. Yogyakarta: LKiS, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar