Pada dasarnya, jika kita telusuri ajaran Islam yang kita jadikan sebagai
inspirasi dalam kehidupan, ternyata tidak ada larangan sama sekali mengikuti
perkembangan yang ada, bahkan menuntut umatnya untuk mempelajari ilmu dan
teknologi, tetapi dengan syarat bukan untuk kemadharatan, melainkan untuk kemaslahatan hidup. Allah
pun telah menginstruksikan kepada hambanya untuk menjadi khalīfah (pengelolah) di muka bumi ini.
Untuk menjadi pengelolah atas ayat kauniyah, yang berupa hamparan antara langit dan bumi, diperlukan ayat qauliyah, yang dalam hal ini teks-teks keagamaan, yang menjadi pedoman manusia dalam mengaplikasikan cita-cita mulia, yaitu meng-esa-kan Tuhan. Jadi, untuk mengemban amanah sebagai khalīfah, manusia memerlukan pedoman khusus, yang tidak lain adalah kitabullah dan sunnah rasul-Nya yang di dalamnya telah tersurat dan tersirat berbagai sumber pengetahuan.
Namun yang mengherankan, mengapa zaman modern ini malah mereka yang non
Islam malah yang lebih banyak menguras tenaga untuk mnyingkap rahasia alam ini?
Walaupun ada kaum muslimin yang terlibat dalam kancah persaingan, namun
jumlahnya sangat minim dan, ironisnya, selalu kalah dalam bersaing. Padahal disadari
atau tidak, salah satu dari cikal bakal ilmu pengetahuan dan teknologi berasal
dari kaum muslimin sendiri. Sebutlah nama Ibn Sīnā, Ibn Rushd, Ibn Khaldūn, dan
lain lain. Kemana para ilmuwan Islam setelah mereka?
Hipotesa sementara yang bisa kita ambil, bahwa menghilangnya ilmuwan Islam
dalam pentas sejarah kemodernan disebabkan antara lain; pertama, distorsi sejarah yang seakan-akan orang Baratlah yang
menjadi pioner dalam segala ilmu pengetahuan, sehingga kita hanya bisa menunggu
apa yang dihasilkan oleh mereka. Kedua,
kaum muslimin selalu terlena oleh perdebatan-perdebatan seputar hal-hal yang
tidak prinsipil, sehingga menyebabkan kehilangan banyak waktu untuk memikirkan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Sejak munculnya peradaban Barat sebagai peradaban modern yang menggeser
peradaban Islam, keterbelakangan dan kemunduran semakin dirasakan oleh ilmuwan
Muslim. Melihat gejala ini, berbagai upaya kembali ditawarkan untuk mengembalikan
kejayaan Islam. Disadari atau tidak, peradaban Barat ternyata tidak berhasil
menyentuh semua segi kehidupan manusia, karena ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mereka kembangkan, malah membawa malapetaka bagi alam ini,
walaupun kita tidak menafikan segi positifnya. Tetapi alangkah indahnya jika
kemajuan dari segi ilmu pengetahuan dibarengi dengan kemajuan moral dan etika. Namun
satu hal yang menjadi pertanyaan besar, sanggupkah umat sekarang ini memadukan
antara kemajuan material dan kemajuan moral?
Rekonstruksi peradaban Muslim
Kemunduran dunia Islam adalah masalah
besar yang harus diselesaikan bersama. Untuk itu, para pemikir Muslim, baik
dari kelompok tradisionalis maupun modernis, berusaha menawarkan konsep dan
gagasan yang mereka yakini akan membangkitkan kembali kejayaan Islam di tengah-tengah
era modern ini. Walaupun konsep yang mereka tawarkan berbeda dari segi dan
cara, metode dan strategi, namun tujuan mereka sama, yakni ingin mengembalikan
kejayaan Islam. Mereka yang muncul dengan berbagai gagasan pembahauran, antara
lain; Seyyed Hossein Nasr dengan Neo Tradisionalnya, Abū al-A‘lā al-Maudūdi dan
Hasan al-Bannā dengan faham Neo Revivalismenya, Nurkholis Madjid dan Fazlur
Rahman dengan Neo Modernismenya, Islam Kiri oleh Hasan Hanafi, Islam Peradaban
oleh Fahmi Huwaydi, dan masih banyak lagi lainnya. Dan di antara salah satu
konsep terpenting adalah konsep yang dilontarkan oleh Ziaudin Sardar, yang ia
sebut “rekonstruksi peradaban Islam”.
Namun yang sangat disayangkan,
konsep-konsep yang ditawarkan para pemikir Muslim tersebut masih bersifat
parsial. Dalam arti pemikiran mereka masih terbatas pada batasan-batasan
tertentu. Dari golongan tradisionalis, misalnya, dalam pemikiran mereka tidak ditemukan
ruangan untuk perbincangan mengenai sains dan epistemologi. Sedangkan dari
kelompk modernis, mereka cenderung memisahkan antara agama dan ilmu-ilmu
modern, sehingga terkesan sekuler.
Padahal Islam menawarkan suatu cara hidup
yang bercakupan luas dalam segala segi kehidupan, baik bagi individu maupun
komunitas, bagi negara dan masyarakat. Tidak seharusnya kita mengembangkan satu
hal tetapi meninggalkan lainnya, agar tidak ada ketimpangan dalam kehidupan,
karena kemajuan hanya akan bisa dicapai jika semua lini kehiduapn kaum Muslim
tidak lagi ketinggalan.
Adapun rekonstruksi yang dimaksudkan oleh
Sardar adalah membangun kembali basis-basis Islam mulai dari levelnya yang
paling fundamental, yakni revitalisasi epistemologi dan pandangan-dunia Islam
hingga penataan kembali lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya, dan
invensi-invensi Barudi bidang ilmu dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan
pragmatis dan kontemporer masyarakat-masyarakat Muslim.
Islam harus direkonstruksi sebagai
peradaban, karena sebagai peradaban pula, Islam telah menjadi puing-puing, dan
bahkan menjadi bulan-bulanan di
bawah keperkasaan peradaban Barat. Kekalahan Islam di hadapan peradaban Barat,
terjadi di dalam semua sektor kehidupan, baik di sektor keilmuan, teknologi,
pendidikan, bahkan dalam politik dan kebudayaan. Inferioritas ini yang kemudian
menimbulkan ghazw al-fikr,
perang pemikiran yang berakhir pada kolonialisme epistemologi.
Gagasan merekonstruksi peradaban Islam,
memang terkesan agak ‘radikal’, karena gagasan ini sebenarnya muncul dari
pandangan dikotomis antara Barat dan Timur. Dan dari perspektif inilah, yang
menurut Sardar, Islam harus direkonstruksi sebagai peradaban sehingga bisa
mewujudkan jati dirinya. Karena dengan melihat Islam sebagai peradaban, umat
Muslim mampu untuk mempertahankan eksistensinya secara orisinil, yang nantinya
diharapkan bisa berkembang secara orisinil pula.
Islamisasi pengetahuan, perlukah?
Untuk mencapai proses rekontruksi
peradaban Islam ini, satu langkah yang harus cepat diselesaikan adalah
mengembangkan teori epistemologi Islam. Selama ini, epistemologi keilmuan yang
muncul dipermukaan adalah epistemologi keilmuan Barat, yang cenderung skeptis.
Epistemologi yang membedakan antara fakta dan nilai, dan tidak mengenal
batas-batas etik, sehingga disiplin keilmuan yang muncul adalah disiplin
keilmuan bebas nilai, karena hanya mengandalkan fakta.
Epistemologi dari keilmuan Barat menjadi
dominan dalam masyarakat Muslim, bahkan masyarakat bumi pada umumnya, sehingga
eksistensi mereka sebenarnya dibentuk menurut image manusia Barat. Inilah yang dimaksud dengan imperialisme
epistemologi atau kolonialisme epistemologi.
Ismail Raji al-Faruqi, pemikir Islam kenamaan,
menawarkan suatu rencana sistematis yang menyeluruh untuk merumuskan kembali
epistemologi Islam kontemporer. Ia mengetengahkan program islamisasi
pengetahuan melalui pendidikan. Tugas islamisasi pengetahuan, dalam pengertian
kongkretnya, yakni meng-islamkan disiplin-disiplin atau memproduk buku-buku teks
tingkat universitas dengan menyusun kembali lebih dari 200 disiplin ilmu yang
sesuai dengn visi Islam.
Adapun rencana al-Faruqi untuk islamisasi
pengetahuan, mempunyai lima sasaran utama, yakni:
1. Menguasai disiplin-disiplin ilmu modern.
2. Menguasai khazanah Islam.
3. Menentukan relevansi Islam yang spesifik
pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern.
4. Mencari cara untuk melakukan sintesa
kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern.
5. Mengarahkan pemikiran Islam ke
lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah.
Menurut al-Faruqi, sasaran-sasaran serta di atas bisa dicapai melalui dua
belas langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah kepada islamisasi
pengetahuan:
Langkah pertama; penguasaan terhadap disiplin-disiplin ilmu
modern. Disiplin ilemu modern harus dipecah menjadi kategori-kategori,
prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema.
Langkah kedua; survei disipliner. Agar sarjana-sarjana Muslim
mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern, maka kategori-kategori dari
disiplin ilmu yang telah dipilah-pilah, harus disurvei menyeluruh.
Langkah ketiga; penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah
Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi yang diperlukan adalah
antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan setiap
disiplin.
Langkah keempat; menganalisa khazanah Islam. Jika
antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisa
dari perspektif masalah-masalah masa kini.
Langkah kelima; menentukan relevansi Islam untuk setiap
disiplin-disiplin ilmu.
Langkah keenam; penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern.
Jika relevansi Islam untuk semua disiplin sudah disusun, maka ia harus dinilai
dan dianalisa dari titik pijak Islam.
Langkah ketujuh; penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan
khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan
relevansi kontemporernya harus dirumuskan.
Langkah kedelapan; mensurvei problem-problem terbesar ummat Isam
tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral
dan spiritual.
Langkah kesembilan; mensurvei problem-problem ummat manusia. Suatu
studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh ummat manusia.
Langkah kesepuluh; analisa kreatif dan sintesa, yakni mensintesakan
antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern. Dari sini, khazanah
pemikiran Islam harus tetap memiliki kesinambungan dengan prestasi-prestasi
modern, dan harus mulai menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison
yang lebih luas daripada yang sudah dicapai oleh disiplin-disiplin modern.
Langkah kesebelas; merumuskan kembali disiplin-disiplin ‘baru’ di
dalam kerangka-kerangka Islam.
Langkah kedua belas; penyebaran ilmu pengetahuan yang sudah
diislamisasikan. Karya intelektual yang sudah diproduk dari langkah-langkah
sebelumnya harus digunakan untuk membangkitkan, menerangi dan memperkaya ummat
Islam.
Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan, tahap terakhir adalah mempertahankan apa yang telah dicapai agar tidak tercemari oleh sesuatu yang bisa mengotori epistemologi keilmuan Islam. Di sini, konsep pendidikan islami sangat penting untuk dirumuskan kembali, sebagai wasilah untuk meneruskan apa yang telah dicapai.
Inilah langkah-langkah islamisasi pengetahuan yang dirancang oleh al-Faruqi, yang dinilai beberapa sarjana Muslim lainnya sebagai ide yang cukup cemerlang. Namun tidak dapat disangkal, konsep ini juga masih banyak dikritisi oleh para pemikir lain, terutama jika direalisasikan terhadap ilmu-ilmu sosial.
Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan, tahap terakhir adalah mempertahankan apa yang telah dicapai agar tidak tercemari oleh sesuatu yang bisa mengotori epistemologi keilmuan Islam. Di sini, konsep pendidikan islami sangat penting untuk dirumuskan kembali, sebagai wasilah untuk meneruskan apa yang telah dicapai.
Inilah langkah-langkah islamisasi pengetahuan yang dirancang oleh al-Faruqi, yang dinilai beberapa sarjana Muslim lainnya sebagai ide yang cukup cemerlang. Namun tidak dapat disangkal, konsep ini juga masih banyak dikritisi oleh para pemikir lain, terutama jika direalisasikan terhadap ilmu-ilmu sosial.
Kesimpulan
Konsep-konsep yang dilontarkan oleh para pemikir
Islam di atas, memang belum bisa dikatakan final. Dalam arti, masih banyak
hal-hal yang perlu dikritisi ulang, karena dianggap tidak sesuai dengan konteks
yang ada. Namun setidaknya ada usaha-usaha kongkret dari para pemikir Muslim
yang concern terhadap dunia
Islam yang semakin terpuruk ini, untuk mengembalikaannya kepada kejayaan yang
diharapkan. Karena jika kita hanya mengandalkan cerita kejayaan masa lalu, itu
berarti bukti dari ketidak mampuan kita untuk bersaing dengan ‘dunia lain’ di
era modern ini.
Namun satu catatan yang patut
digarisbawahi adalah, bahwa konsep-konsep tersebut sangat mudah untuk difahami
dan ditelaah. Namun untuk merealisasikannya, tidak semudah membalikkan telapak
tangan, bahkan tidak semudah membuat konsep-konsep itu sendiri. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
1. Huwaydī, Fahmī. ‘Azmah
al-Wa‘y al-Dīnī. Sana‘ā’: Dār al-Hikmah al-Yamāniyyah, 1988.
2.
Khalafallāh, Ahmad Tāhā. Kayf Nuwājih al-‘Awlamah. Kairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li al-Kitāb,
2000.
3.
Sardar, Ziaudin. Jihad
Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, ed. AE.
Proyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
4.
Syari’ati, Ali. Membangun
Masa Depan Islam, ter. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1986.
5.
Zaqzūq, Mahmūd Hamdī. Humūm al-Ummah al-Islāmiyyah. Kairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li
al-Kitāb, 2001.
1 komentar:
tess
Posting Komentar