Kamis, 09 Juni 2011

Membangun Kembali Peradaban Muslim

Pada dasarnya, jika kita telusuri ajaran Islam yang kita jadikan sebagai inspirasi dalam kehidupan, ternyata tidak ada larangan sama sekali mengikuti perkembangan yang ada, bahkan menuntut umatnya untuk mempelajari ilmu dan teknologi, tetapi dengan syarat bukan untuk kemadharatan, melainkan untuk kemaslahatan hidup. Allah pun telah menginstruksikan kepada hambanya untuk menjadi khalīfah (pengelolah) di muka bumi ini.

Untuk menjadi pengelolah atas ayat kauniyah, yang berupa hamparan antara langit dan bumi,  diperlukan ayat qauliyah, yang dalam hal ini teks-teks keagamaan, yang menjadi pedoman manusia dalam mengaplikasikan cita-cita mulia, yaitu meng-esa-kan Tuhan. Jadi, untuk mengemban amanah sebagai khalīfah, manusia memerlukan pedoman khusus, yang tidak lain adalah kitabullah dan sunnah rasul-Nya yang di dalamnya telah tersurat dan tersirat berbagai sumber pengetahuan.

Namun yang mengherankan, mengapa zaman modern ini malah mereka yang non Islam malah yang lebih banyak menguras tenaga untuk mnyingkap rahasia alam ini? Walaupun ada kaum muslimin yang terlibat dalam kancah persaingan, namun jumlahnya sangat minim dan, ironisnya, selalu kalah dalam bersaing. Padahal disadari atau tidak, salah satu dari cikal bakal ilmu pengetahuan dan teknologi berasal dari kaum muslimin sendiri. Sebutlah nama Ibn Sīnā, Ibn Rushd, Ibn Khaldūn, dan lain lain. Kemana para ilmuwan Islam setelah mereka? 

Hipotesa sementara yang bisa kita ambil, bahwa menghilangnya ilmuwan Islam dalam pentas sejarah kemodernan disebabkan antara lain; pertama, distorsi sejarah yang seakan-akan orang Baratlah yang menjadi pioner dalam segala ilmu pengetahuan, sehingga kita hanya bisa menunggu apa yang dihasilkan oleh mereka. Kedua, kaum muslimin selalu terlena oleh perdebatan-perdebatan seputar hal-hal yang tidak prinsipil, sehingga menyebabkan kehilangan banyak waktu untuk memikirkan ilmu pengetahuan dan teknologi. 

Sejak munculnya peradaban Barat sebagai peradaban modern yang menggeser peradaban Islam, keterbelakangan dan kemunduran semakin dirasakan oleh ilmuwan Muslim. Melihat gejala ini, berbagai upaya kembali ditawarkan untuk mengembalikan kejayaan Islam. Disadari atau tidak, peradaban Barat ternyata tidak berhasil menyentuh semua segi kehidupan manusia, karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka kembangkan, malah membawa malapetaka bagi alam ini, walaupun kita tidak menafikan segi positifnya. Tetapi alangkah indahnya jika kemajuan dari segi ilmu pengetahuan dibarengi dengan kemajuan moral dan etika. Namun satu hal yang menjadi pertanyaan besar, sanggupkah umat sekarang ini memadukan antara kemajuan material dan kemajuan moral? 

Rekonstruksi peradaban Muslim 
Kemunduran dunia Islam adalah masalah besar yang harus diselesaikan bersama. Untuk itu, para pemikir Muslim, baik dari kelompok tradisionalis maupun modernis, berusaha menawarkan konsep dan gagasan yang mereka yakini akan membangkitkan kembali kejayaan Islam di tengah-tengah era modern ini. Walaupun konsep yang mereka tawarkan berbeda dari segi dan cara, metode dan strategi, namun tujuan mereka sama, yakni ingin mengembalikan kejayaan Islam. Mereka yang muncul dengan berbagai gagasan pembahauran, antara lain; Seyyed Hossein Nasr dengan Neo Tradisionalnya, Abū al-A‘lā al-Maudūdi dan Hasan al-Bannā dengan faham Neo Revivalismenya, Nurkholis Madjid dan Fazlur Rahman dengan Neo Modernismenya, Islam Kiri oleh Hasan Hanafi, Islam Peradaban oleh Fahmi Huwaydi, dan masih banyak lagi lainnya. Dan di antara salah satu konsep terpenting adalah konsep yang dilontarkan oleh Ziaudin Sardar, yang ia sebut “rekonstruksi peradaban Islam”. 

Namun yang sangat disayangkan, konsep-konsep yang ditawarkan para pemikir Muslim tersebut masih bersifat parsial. Dalam arti pemikiran mereka masih terbatas pada batasan-batasan tertentu. Dari golongan tradisionalis, misalnya, dalam pemikiran mereka tidak ditemukan ruangan untuk perbincangan mengenai sains dan epistemologi. Sedangkan dari kelompk modernis, mereka cenderung memisahkan antara agama dan ilmu-ilmu modern, sehingga terkesan sekuler. 

Padahal Islam menawarkan suatu cara hidup yang bercakupan luas dalam segala segi kehidupan, baik bagi individu maupun komunitas, bagi negara dan masyarakat. Tidak seharusnya kita mengembangkan satu hal tetapi meninggalkan lainnya, agar tidak ada ketimpangan dalam kehidupan, karena kemajuan hanya akan bisa dicapai jika semua lini kehiduapn kaum Muslim tidak lagi ketinggalan. 

Adapun rekonstruksi yang dimaksudkan oleh Sardar adalah membangun kembali basis-basis Islam mulai dari levelnya yang paling fundamental, yakni revitalisasi epistemologi dan pandangan-dunia Islam hingga penataan kembali lingkungan fisik, sosial, ekonomi, budaya, dan invensi-invensi Barudi bidang ilmu dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan pragmatis dan kontemporer masyarakat-masyarakat Muslim. 

Islam harus direkonstruksi sebagai peradaban, karena sebagai peradaban pula, Islam telah menjadi puing-puing, dan bahkan menjadi bulan-bulanan di bawah keperkasaan peradaban Barat. Kekalahan Islam di hadapan peradaban Barat, terjadi di dalam semua sektor kehidupan, baik di sektor keilmuan, teknologi, pendidikan, bahkan dalam politik dan kebudayaan. Inferioritas ini yang kemudian menimbulkan ghazw al-fikr, perang pemikiran yang berakhir pada kolonialisme epistemologi. 

Gagasan merekonstruksi peradaban Islam, memang terkesan agak ‘radikal’, karena gagasan ini sebenarnya muncul dari pandangan dikotomis antara Barat dan Timur. Dan dari perspektif inilah, yang menurut Sardar, Islam harus direkonstruksi sebagai peradaban sehingga bisa mewujudkan jati dirinya. Karena dengan melihat Islam sebagai peradaban, umat Muslim mampu untuk mempertahankan eksistensinya secara orisinil, yang nantinya diharapkan bisa berkembang secara orisinil pula.

Islamisasi pengetahuan, perlukah? 
Untuk mencapai proses rekontruksi peradaban Islam ini, satu langkah yang harus cepat diselesaikan adalah mengembangkan teori epistemologi Islam. Selama ini, epistemologi keilmuan yang muncul dipermukaan adalah epistemologi keilmuan Barat, yang cenderung skeptis. Epistemologi yang membedakan antara fakta dan nilai, dan tidak mengenal batas-batas etik, sehingga disiplin keilmuan yang muncul adalah disiplin keilmuan bebas nilai, karena hanya mengandalkan fakta. 

Epistemologi dari keilmuan Barat menjadi dominan dalam masyarakat Muslim, bahkan masyarakat bumi pada umumnya, sehingga eksistensi mereka sebenarnya dibentuk menurut image manusia Barat. Inilah yang dimaksud dengan imperialisme epistemologi atau kolonialisme epistemologi. 

Ismail Raji al-Faruqi, pemikir Islam kenamaan, menawarkan suatu rencana sistematis yang menyeluruh untuk merumuskan kembali epistemologi Islam kontemporer. Ia mengetengahkan program islamisasi pengetahuan melalui pendidikan. Tugas islamisasi pengetahuan, dalam pengertian kongkretnya, yakni meng-islamkan disiplin-disiplin atau memproduk buku-buku teks tingkat universitas dengan menyusun kembali lebih dari 200 disiplin ilmu yang sesuai dengn visi Islam. 

Adapun rencana al-Faruqi untuk islamisasi pengetahuan, mempunyai lima sasaran utama, yakni: 
1.    Menguasai disiplin-disiplin ilmu modern. 
2.    Menguasai khazanah Islam. 
3.    Menentukan relevansi Islam yang spesifik pada setiap bidang ilmu pengetahuan modern. 
4.    Mencari cara untuk melakukan sintesa kreatif antara khazanah Islam dengan ilmu pengetahuan modern. 
5.    Mengarahkan pemikiran Islam ke lintasan-lintasan yang mengarah pada pemenuhan pola rancangan Allah. 
Menurut al-Faruqi, sasaran-sasaran serta di atas bisa dicapai melalui dua belas langkah sistematis yang pada akhirnya mengarah kepada islamisasi pengetahuan: 
Langkah pertama; penguasaan terhadap disiplin-disiplin ilmu modern. Disiplin ilemu modern harus dipecah menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi, problem-problem dan tema-tema. 

Langkah kedua; survei disipliner. Agar sarjana-sarjana Muslim mampu menguasai setiap disiplin ilmu modern, maka kategori-kategori dari disiplin ilmu yang telah dipilah-pilah, harus disurvei menyeluruh. 

Langkah ketiga; penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai dengan cara yang sama. Tetapi yang diperlukan adalah antologi-antologi mengenai warisan pemikiran muslim yang berkaitan dengan setiap disiplin. 

Langkah keempat; menganalisa khazanah Islam. Jika antologi-antologi sudah disiapkan, khazanah pemikiran Islam harus dianalisa dari perspektif masalah-masalah masa kini. 
Langkah kelima; menentukan relevansi Islam untuk setiap disiplin-disiplin ilmu.

Langkah keenam; penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern. Jika relevansi Islam untuk semua disiplin sudah disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam. 
Langkah ketujuh; penilaian kritis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi kontemporernya harus dirumuskan. 

Langkah kedelapan; mensurvei problem-problem terbesar ummat Isam tentang masalah-masalah politik, sosial, ekonomi, intelektual, kultural, moral dan spiritual. 
Langkah kesembilan; mensurvei problem-problem ummat manusia. Suatu studi yang sama, kali ini difokuskan pada seluruh ummat manusia. 

Langkah kesepuluh; analisa kreatif dan sintesa, yakni mensintesakan antara khazanah Islam dan disiplin-disiplin modern. Dari sini, khazanah pemikiran Islam harus tetap memiliki kesinambungan dengan prestasi-prestasi modern, dan harus mulai menggerakkan tapal batas ilmu pengetahuan ke horison yang lebih luas daripada yang sudah dicapai oleh disiplin-disiplin modern. 

Langkah kesebelas; merumuskan kembali disiplin-disiplin ‘baru’ di dalam kerangka-kerangka Islam. 

Langkah kedua belas; penyebaran ilmu pengetahuan yang sudah diislamisasikan. Karya intelektual yang sudah diproduk dari langkah-langkah sebelumnya harus digunakan untuk membangkitkan, menerangi dan memperkaya ummat Islam.

Setelah langkah-langkah tersebut dilakukan, tahap terakhir adalah mempertahankan apa yang telah dicapai agar tidak tercemari oleh sesuatu yang bisa mengotori epistemologi keilmuan Islam. Di sini, konsep pendidikan islami sangat penting untuk dirumuskan kembali, sebagai wasilah untuk meneruskan apa yang telah dicapai. 

Inilah langkah-langkah islamisasi pengetahuan yang dirancang oleh al-Faruqi, yang dinilai beberapa sarjana Muslim lainnya sebagai ide yang cukup cemerlang. Namun tidak dapat disangkal, konsep ini juga masih banyak dikritisi oleh para pemikir lain, terutama jika direalisasikan terhadap ilmu-ilmu sosial. 

Kesimpulan 
Konsep-konsep yang dilontarkan oleh para pemikir Islam di atas, memang belum bisa dikatakan final. Dalam arti, masih banyak hal-hal yang perlu dikritisi ulang, karena dianggap tidak sesuai dengan konteks yang ada. Namun setidaknya ada usaha-usaha kongkret dari para pemikir Muslim yang concern terhadap dunia Islam yang semakin terpuruk ini, untuk mengembalikaannya kepada kejayaan yang diharapkan. Karena jika kita hanya mengandalkan cerita kejayaan masa lalu, itu berarti bukti dari ketidak mampuan kita untuk bersaing dengan ‘dunia lain’ di era modern ini. 

Namun satu catatan yang patut digarisbawahi adalah, bahwa konsep-konsep tersebut sangat mudah untuk difahami dan ditelaah. Namun untuk merealisasikannya, tidak semudah membalikkan telapak tangan, bahkan tidak semudah membuat konsep-konsep itu sendiri. Wallahu a’lam. 


DAFTAR PUSTAKA
1.     Huwaydī, Fahmī. ‘Azmah al-Wa‘y al-Dīnī. Sana‘ā’: Dār al-Hikmah al-Yamāniyyah, 1988.
2.      Khalafallāh, Ahmad Tāhā. Kayf Nuwājih al-‘Awlamah. Kairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 2000.
3.      Sardar, Ziaudin. Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-parameter Sains Islam, ed. AE. Proyono. Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
4.      Syari’ati, Ali. Membangun Masa Depan Islam, ter. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1986.
5.      Zaqzūq, Mahmūd Hamdī. Humūm al-Ummah al-Islāmiyyah. Kairo: al-Hay’ah al-‘Āmmah li al-Kitāb, 2001.

1 komentar:

aku mengatakan...

tess

Posting Komentar