Hari Minggu tanggal 25 Juli 2010, masyarakat kabupaten Sidoarjo, tanah kelahiranku, mempunyai hajat besar. Mereka akan menggelar pesta demokrasi untuk memilih pemimpin (bupati) mereka dalam pesta Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada). Hingga saat ini, para kandidat orang nomor satu di kabupaten Sidoarjo ini sudah melakukan manuver-manuver untuk meraih suara sebanyak mungkin, dengan mensosialisasikan jargon-jargon politiknya yang notabene adalah janji-janji indah bagaikan hembusan angin surga.
Banyak kegiatan sosial diadakan oleh elemen masyarakat yang disponsori oleh para kandidat bupati, yang sejatinya dengan tujuan untuk mengambil simpati masyarakat sidoarjo. Jika dilihat dari segi kapabelitasnya, para kandidat ini memiliki kualitas yang hampir sama, karena mereka sama-sama memiliki kelebihan di satu sisi, namun juga memiliki kekurangan di sisi lainnya. Dari sinilah masyarakat dituntut harus jeli untuk memilih kira-kira siapa yang lebih patut untuk memimpin Sidoarjo periode 2010-2015.
Namun yang perlu dicermati, siapapun pemimpinnya dan apapun alasannya, yang jelas pemimpin yang akan memimpin tanah ini harus mampu memunculkan kreativitasnya. Sebagaimana yang pernah disinyalir oleh Ignas Kleden bahwa pemimpin adalah penjelmaan kreaitivitas sosial, seperti halnya teori relativitas adalah hasil kreativitas intelektual. Perusahaan-perusahaan muncul dari kreativitas manajemen, komputer ditelurkan oleh kreativitas teknologi, dan sebuah sajak dipetik dari kreativitas seni.
Namun yang perlu dicermati, siapapun pemimpinnya dan apapun alasannya, yang jelas pemimpin yang akan memimpin tanah ini harus mampu memunculkan kreativitasnya. Sebagaimana yang pernah disinyalir oleh Ignas Kleden bahwa pemimpin adalah penjelmaan kreaitivitas sosial, seperti halnya teori relativitas adalah hasil kreativitas intelektual. Perusahaan-perusahaan muncul dari kreativitas manajemen, komputer ditelurkan oleh kreativitas teknologi, dan sebuah sajak dipetik dari kreativitas seni.
Tentu saja tipe kepemimpinan zaman sekarang berbeda dengan tipe kepemimpinan zaman dahulu. Buktinya di tahun 1966 orang nyaris bersepakat tak perlu lagi tipe kepemimpinan solidarity maker, yang melompart dari podium ke podium demi menggerakkan gairah dan emosi massa seperti apa yang pernah dilakukan oleh Evita Peron ketika dengan perasaan mengiba, mengumbar janji setianya untuk rakyat Argentina yang tertuang dalam satu bait kata Don’t Cry For Me Argentina. Yang diperlukan zaman sekarang ini, menurut kolumnis dan budayawan Mahbub Junaidi adalah model atau tipe kepemimpinan administrator seperti almarhum John F. Kennedy atau Adenauer.
Meski bukan rahasia lagi bahwa di zaman modern ini, yang tadinya baru itu sudah dianggap tidak baru lagi. Perlu yang lebih baru, karena segalanya berkembang secara dialektis. begitulah kiranya jalannya dinamika kehidupan. Memang administrator itu baik, tapi seperti apa yang telah dipahami bersama bahwa problem dan segala tetek bengek manusia dari hari ke hari bertambah kompleks dan kadung terlanjur ruwet, mustahil bisa dimengerti hanya dengan memperlakukan mereka bagaikan bundel dan angka. Oleh karena itulah seorang pemimpin haruslah pandai menyiasati dimensi ruang dan waktu. Seperti bila kita analogikan terhadap ijtihadnya seorang faqih dalam menentukan hukum suatu permasalahan, maka hukum yang tadinya berlaku akan mengalami perubahan ketika berbenturan dengan realita yang ada.
Ada sugesti yang mungkin penting bagi seorang pemimpin. Gambarannya sebagai berikut; seorang pemimpin kalau mau ‘awet’ berkuasa harus pandai-pandai meniru suara singa dan rubah. Jangan tiru singa saja karena singa tak mampu mengendus perangkap. Dan jangan tiru rubah saja karena rubah mudah diterkam serigala. Pemimpin harus bisa jadi rubah supaya bisa mengendus perangkap dan jadi singa supaya ditakuti serigala. Pendek kata, seorang figur pemimpin itu perlu memperlihatkan sikapnya yang penuh kasih sayang, setia, jujur, tapi begitu keadaan menghendaki dia akan menjadi seorang pembenci, pemarah misalnya. Akan tetapi ini semua tak lepas dari koridor berupa kemaslahatan umat yang merupakan puncak difungsikannya seorang pemimpin.
Seorang pemimpin yang baik, menurut C. Norcote Parkinson, pasti memerlukan imajinasi yang merupakan hasil dari kerja otak untuk menghasilkan keputusan yang tepat guna dan berbobot, lantas punya pengetahuan, punya kepastian, agak sedikit bengis dan tidak ketinggalan daya tarik. Padahal seperti apa yang disinyalir oleh mayoritas businessman, mereka seringkali mengakui bahwa kerja otak itu lebih berat dari kerja fisik biasa. Aplikasinya ya itu tadi, berimajinasi, berinisiatif, inovatif lalu menyimpulkan, sehingga terkuaklah sebuah keputusan.
Bondan Winarno dalam kiat-kiat bisnisnya mengatakan bahwa berfikir atau kerja otak diperlukan untuk memecahkan sebuah dilema. Karena itulah pekerjaan ini berat. Kalau tak ada dilema, kita tentu tak memerlukan kerja otak ini. Menentukan tempat makan siang saja seringkali harus diputuskan setelah pusing tujuh keliling. Keputusan yang berat sekaligus tanggung jawab itulah yang –mungkin– seorang pemimpin ‘digaji’ lebih banyak daripada masyarakat biasa.
Akhirnya, siapapun pemimpin yang akan terpilih sebagai bupati pada pemilukada Sidoarjo tahun 2010 ini, yang jelas ia harus mampu mengejewantahkan nilai kreativitas sebagai seorang pemimpin, yang tentunya semua itu untuk kemaslahatan masyarakat kabupaten Sidoarjo. Jangan sampai masyarakat ini menjadi kecewa, atau bahkan menyesal karena telah memilih pemimpin mereka yang tidak mau memberikan angin segar kepada kesejahteraan masyarakat. Sukses pemilukada 2010. Jaya terus Sidoarjo...!!
1 komentar:
Hidup aba syaifulll....
aba saifull,, I love you full...
Posting Komentar