Abad ketiga hijriah merupakan abad
keemasan bagi proses pembukuan hadits. Berkat dukungan penguasa saat itu, para
ulama ahli hadits melakukan aktifitas mereka untuk mengumpulkan hadits-hadits
Nabi ke dalam satu kitab yang sistematis. Satu-persatu, kitab-kitab kumpulan
hadits itupun muncul.
Adapun sistematika dalam teknik penyusunan
kitab-kitab hadits yang dilakukan oleh ulama hadits saat itu ada beberapa cara.
Pertama, penyusunan hadits dengan tujuan menanggapi pendapat ulama kalām,
khususnya Mu‘tazilah yang mempermasalahkan beberapa hadits yang dianggap mukhtalaf.
Dalam arti, para ulama mengumpulkan hadits tidak atas dasar bab-bab fiqih dan
tidak juga atas dasar klasifikasi perawi, namun berdasarkan klasifikasi
hadits-hadits yang dipermasalahkan, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn
Qutaybah dalam kitabnya Ta’wīl Mukhtalaf al-Hadīts, yang menanggapi
pendapat Mu‘tazilah.
Kedua, penyusunan hadits dengan cara klasifikasi
perawi, yaitu dengan cara mengumpulkan perawi dari sahabat dalam satu bab
menurut huruf hijā’iyah dan tidak menyusunnya berdasarkan bab-bab fiqih. Kitab
yang menganut sistematika semacam ini disebut “al-Musnad”. Sedangkan
sistematika ketiga, yaitu penyusunan hadits berdasar klasifikasi bab-bab
dalam masalah fiqih. Kitab-kitab yang dihasilkan oleh kelompok ini lazim
disebut “al-Sunan”. Salah satu di antara kitab al-Sunan adalah Sunan al-Nasā’ī,
yang disusun oleh Ahmad bin Syu‘aib al-Nasā’ī. Mayoritas ulama hadits,
menganggap Sunan al-Nasā’ī sebagai kitab yang paling sedikit memuat hadits dha‘īf
setelah shahīh al-Bukhārī dan Muslim.
Biografi
al-Nasā’ī
Nama lengkapnya adalah Abū ‘Abd al-Rahmān
Ahmad bin Syu‘aib bin ‘Alī bin Bahr bin Sinān bin Dīnār al-Nasā’ī
al-Khurāsānī. Ia lahir sekitar tahun 214 H atau 215 H di Nasā’, sebuah kota yang
terkenal dengan tanahnya yang subur, yang terletak di daerah Khurāsān.
Ia melewatkan masa kecilnya di kota
kelahirannya, Nasā’, dengan belajar menghafal al-Qur’ān dan mempelajari
ilmu-ilmu dasar Islam. Kemudian pada usianya yang kelima belas tahun, ia
memulai pengembaraannya untuk memperdalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu
hadits. Ia sempat mengembara ke Hijāz, Irāq, Mesir, Shām dan al-Jazīrah. Di
negeri-negeri tersebut ia berjumpa dengan para ulama pakar ilmu hadits, dan ia
belajar dari mereka. Namun setelah menjadi muhaddits, ia menetap di
Mesir, dan di sinilah ia menyebarkan hadith-hadith yang diperolehnya.
Al-Nasā’ī dikenal taat menjalankan ibadah
pada siang dan malam hari, kokoh membela Sunnah dan teguh dalam pendirian. Dalam
kehidupannya, ia mengamalkan puasa Nabi Dawud, berpuasa sehari dan tidak
berpuasa pada hari berikutnya. Demikian berselang seling secara terus menerus
sepanjang hidupnya. Ia juga rutin melaksanakan ibadah haji hampir setiap
tahunnya. Kondisi fisiknya cukup tegar, terbukti dari kesanggupannya beristeri
empat orang wanita.
Setahun sebelum wafat, beliau pindah dari
Mesir ke Damaskus. Di kota ini, beliau menulis kitab Khashā’ish ‘Alī ibn Abī
Thālib, yang menjelaskan keutamaan-keutamaan ‘Alī bin Abū Thālib
berdasarkan hadits-hadits Nabi dan penuturan ahl al-bayt. Kitab ini
ditulis dengan harapan bisa menetralisir persepsi buruk masyarakat Muslim di
wilayah Damaskus, yang mayoritas pendukung Mu‘āwiyah, terhadap ‘Alī bin Abū
Thālib dan para pendukungnya agar tidak terjadi perpecahan di antara masyarakat
Muslim.
Suatu ketika, ia membacakan isi buku
tersebut dihadapan masyarakat Muslim Damaskus. Ketika ia selesai membacakan isi
buku tersebut, konon iapun diminta untuk menyusun buku tentang Mu‘āwiyah bin
Abū Sufyān, tetapi ia menolaknya dengan alasan tidak ada hadith yang menjelaskan
keutamaan Mu‘āwiyah. Mereka tidak puas, kemudian menghajar Imam al-Nasā’ī
karena dianggap menjadi agen Syī‘ah yang memihak kepada ‘Alī. Akibat
penganiayaan tersebut, ia jatuh sakit. Dari situ, ia kemudian dipindahkan ke
Ramlah, Palestina, dan akhirnya ia wafat pada bulan Sya‘bān tahun 303 H pada
usia 88 tahun. Menurut sumber lain yang lebih kuat, dikatakan bahwa setelah
jatuh sakit, ia dipindahkan ke Mekah dan wafat di sana. Jenazahnya dimakamkan
di antara bukit Shafā dan Marwah.
Perjalanan studi al-Nasā’ī
Kemantapan al-Nasā’ī dalam menguasai
hadits dan ilmu-ilmunya, dimulai saat ia berguru kepada Qutaybah bin Sa‘īd,
guru besar hadits imam Abū Dawud dan imam al-Turmudzi. Ia juga pernah belajar
hadits dari beberapa ulama terkenal, antara lain Ishāq bin Rāhawayh, Ishāq bin
Habīb bin al-Syahīd, Sulaymān bin Ash‘ath, Ishāq bin Syāhīn, al-Hārits bin
Miskīn, Ishāq bin Manshūr al-Kawsaj, Mahmūd bin Ghaylān, Ishāq bin ‘Īsā
al-Anshārī, Ibrāhīm bin Sa‘īd al-Jawharī, Muhammad bin Basysyār, Ibrāhīm bin Hajar,
Abū Dāwud al-Sijistānī, ‘Alī bin Khashram, Mujāhid bin Mūsā, Ibrāhīm bin Ya‘qūb
al-Jawzajānī, Ahmad bin Bakkār bin Abū Maymūnah, al-Hasan bin Muhammad al-Za‘farānī,
Ahmad bin ‘Ubdah.
Dalam perjalanannya ke beberapa daerah, ia
juga telah bertemu dengan ulama-ulama hadits yang terkenal sebagai huffāzh
waktu itu, seperti ‘Abdullāh bin al-Imām Ahmad di Tharsūs, dan Abū Bishr
al-Dawlābi. Di Damaskus dan Shām, ia belajar hadits dari Hishām bin ‘Ammār.
Konon, ia pernah berselisih dengan dengan
gurunya, al-Hārits bin Miskīn. Namun perselisihan paham tampaknya tidak
menghalanginya untuk belajar kepada Sang guru, dan iapun tetap menghadiri halaqah
gurunya untuk mendengarkan hadits dengan bersembunyi di pojok masjid agar
Sang guru tidak mengetahui. Namun untuk hadith yang ia ambil melalui
al-Hārits, ia menulis, “Saya mendengar hadits ini pada saat hadits ini
dibacakan oleh al-Hārits bin Miskīn,” dan tidak mengatakan haddatsanā
atau akhbaranā sebagaimana jika ia meriwayatkan hadits dari orang lain.
Tentang kapasitasnya sebagai ahli hadits,
banyak ulama yang memujinya. Ibn Yūnus mensifatinya sebagai orang yang tsiqah,
tsabit dan hāfizh. Untuk spesialisasi ilmu al-jarh wa
al-ta‘dīl, ia menjadi semacam referensi bagi ulama muhadditsūn
setelahnya. Bahkan Abū al-Hasan al-Dāruquthnī pernah menuturkan: “Imam al-Nasa'i lebih didahulukan daripada
imam-imam ahli hadits di masanya.”
Selain sebagai ahli hadits, ia juga
dikenal sebagai seorang faqīh bermadzhab Syāfi‘ī yang zāhid dan wara‘.
Bahkan al-Dāruquthnī dan ‘Alī bin ‘Umar mengatakannya sebagai orang yang paling
faqīh di negeri Mesir pada zamannya. Konon, ia juga seorang politikus.
Terbukti, ia pernah terjun ke medan perang bersama gubernur Mesir untuk
mempertahankan wilayah Mesir sebagai daulah islāmiyyah. Namun anehnya,
dalam suasana peperangan, ia tetap menyempatkan diri untuk mengajar hadits
kepada gubernur dan para prajutrit, terutama hadits yang berhubungan dengan
jihad dimaksudkan untuk mengobarkan semangat para prajurit dalam berjihad
melawan musuh negara.
Sebagai guru besar ahli hadits, Imam
al-Nasā’ī telah berhasil membina kader ulama hadits berikutnya. Murid-murid
al-Nasā’ī terbilang cukup banyak, mereka antara lain Abū al-Qāsim al-Thabrānī,
Abū ‘Alī al-Husayn bin ‘Alī al-Hāfizh al-Niyāmūzī al-Thabrānī, Ahmad bin
‘Umayr bin Jawsā, Muhammad bin Ja‘far bin Qawlāsh, Abū al-Qāsim bin Abū al-‘Aqab,
Abū al-Maymūn bin Rāshid, Abū al-Hasan bin Khadhlam, Abū Sa‘īd al-A‘rābī,
al-Imām Abū Ja‘far al-Thahāwī, Muhammad bin Syu‘aib, Ibrāhīm bin Muhammad bin
Sālih bin Sinān, Abū Bakr Ahmad bin Ishāq al-Sinnī.
Kitab-kitab karya al-Nasā’ī
Sepanjang hidupnya, al-Nasā’ī menyusun
kira-kira lima belas karya besar, dan sebagian besarnya dalam bidang hadith,
namun tidak semua karya-karyanya tersebar luas di kalangan masyarakat. Di
antara karya-karyanya antara lain;
- Al-Sunan al-Kubrā. Kitab ini adalah kitab kumpulan hadith pertama yang disusun oleh al-Nasā’ī, yang memuat sekitar 12.000 hadith.
- Al-Sunan al-Sughra, yang disebut juga al-Muntakhab, atau al-Mujtana, atau al-Mujtabā min al-Sunan, yang kemudian populer dengan sebutan Sunan al-Nasā’ī. Kitab ini merupakan ringkasan dari al-Sunan al-Kubrā.
- Kitab Khashā’ish ‘Alī ibn Abī Thālib.
- Musnad Mālik bin Anas.
- Musnad‘Alī ibn Abī Thālib.
- Kitab al-Tamyīz.
- Kitab al-Dhu‘afā’.
- Kitab al-Thabaqāt.
- Kitab al-Jarh wa al-Ta‘dīl.
- Kitab Fadhā’il al-Shahābah.
- Kitab al-Jum‘ah.
- Kitab ‘Amal al-Yawm wa al-Laylah.
- Kitab Mu‘jam al-Syuyūkh.
- Kitab Manāsik al-Hajj, yang berisi amalan-amalan ibadah haji menurut madzhab Syāfi‘ī.
- Kitab Tafsīr.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar