Diskursus jihad semakin menghangat pada
tahun-tahun belakangan ini. Bermula dari konflik berdarah antar pemeluk agama
di berbagai daerah di Indonesia, memicu semangat ukhuwah di kalangan umat Islam
untuk melakukan pembelaan terhadap kaum muslimin yang tertindas.
Konflik-konflik di negara lain ikut pula memanaskan wacana jihad. Sebut saja,
konflik bangsa Moro di Filipina yang ingin memerdekakan diri, Palestina dalam
upaya defensif terhadap agresi Israel, Afghanistan dengan Amerika dan lain
sebagainya. Ini tak mengherankan karena jihad merupakan salah satu bukti
konkret bahwa umat Islam di mana pun juga merupakan satu umat dengan kesatuan
akidah yang menghindarkan sekat-sekat nasionalisme.
Jihad adalah keharusan, namun pada tatanan
realitanya, pembahasan jihad ditinjau dari segi fiqih sering dianggap angin
lalu saja oleh kaum cerdik pandai. Bab jihad merupakan bab yang sering
dilupakan orang. Hal ini disebabkan mungkin prioritasnya yang rendah
dibandingkan kita membahas masalah thahârah, shalat, puasa. Akibatnya,
jihad sering diartikan dalam ruang lingkup yang amat terbatas menurut
interpretasi ulama salaf zaman dahulu. Apa benar jihad terfokus pada berperang fi
sabilillah? Jadi sekarang tak ada lagi wacana jihad, karena negara kita
aman, merdeka? Ataukah kita harus berjihad secara fisik karena negara kita diperangi oleh negara-negara Barat melalui media dan budaya, sebagaimana yang dipahami sebagian kaum islam garis keras? Dari sinilah perlunya dikupas secara gamblang polemik
jihad meskipun nantinya analisa-analisa yang ada terkadang hanya sebatas membuka wacana saja.
Definisi Jihad
Sebelum kita beranjak ke pembahasan selanjutnya mengenai jihad, ada baiknya kita kemukakan terlebih dahulu definisinya. Jihad secara etimologi berarti
daya upaya, translasi dari kata al-juhd. Adapun secara terminologi adalah
memerangi kaum kafir yang tidak mengadakan perjanjian dengan kaum muslimin
setelah sampainya dakwah Islam, disertai penolakan dari orang-orang kafir
tersebut demi tegaknya kalimat Allah Swt.
Kata jihad terulang dalam al-Qur’an sebanyak 41 kali, dengan berbagai
bentuknya. Menurut Ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam al-Maqâyis fi
al-Lughah, “semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d pada awalnya
mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya.” Adapun
menurut Dr. Quraish Shihab, kata jihad terambil dari kata juhd yang
berarti letih atau sukar. Ini disebabkan karena jihad memang sulit dan
menyebabkan keletihan. Dari kata yang sama tersusun ucapan ‘jahida bi
al-rajul’ yang artinya seseorang sedang mengalami ujian. Terlihat bahwa
kata ini mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang
merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.
Esensi jihad adalah, mengerahkan segala kekuatan untuk memerangi musuh,
baik itu dengan perantara tangan, lidah dan sebagainya. Dalam Islam, jihad
terbagi dalam tiga macam;
- Memerangi
musuh yang nyata dengan maksud meninggikan kalimat Allah Swt.
- Memerangi
setan dalam segala bentuknya demi tegaknya kalimat Allah Swt.
- Memerangi hawa nafsu.
Adapun
mengenai hukumnya, para ulama bersepakat bahwa jihad merupakan kewajiban bagi
seorang mukallaf yang mampu. Pendapat ini dikemukakan karena ada beberapa
nash al-Qur’an dan Hadits yang mengindikasikan bahwa jihad adalah suatu
keharusan. Ayat-ayat al-Qur’an yang mendiskursuskan hal ini di antaranya; “Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu. Dan boleh jadi
pula kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqoroh: 217).
Sedangkan Hadits Nabi
di antaranya, “Dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw, bersabda: “Demi
jiwaku yang berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang itu terluka di jalan Allah
–dan Allah lebih tahu siapa yang terluka di jalan-Nya– kecuali dia akan datang
di hari kiamat dengan warna darah dan aroma kasturi.”
Dari
interpretasi kata jihad ini, Imam Ibnu Hajar al-Qasthalâni, al-Kisâni dan
lainnya menyimpulkan dalam satu statemen bahwa, apabila jihad dalam nash syar’i
maka yang dimaksud adalah perang, kecuali ada indikasi lain yang menunjukkan
maknanya bukan perang. Seperti hadits Ibnu Majah dan Hakim, “al-mujahid
adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan kepada Allah, dan
al-muhajir adalah orang yang meninggalkan larangan Allah”.
Pernyataan
ini dimaksudkan oleh banyak ulama salaf dalam rangka meluruskan sebuah pemahaman
jihad dan hakikatnya kepada umat Islam, yang sementara ini banyak disepelekan
oleh beberapa kelompok apriori yang phobi akan eksistensi tersebut. Dengan
pelbagai argumen yang justeru mendiskreditkan umat Islam sendiri. Padahal
jelas-jelas, menurut Abu Hasan al-Nadwi, dengan jalan jihad umat Islam akan
meraih kemuliaan dan tegaknya ajaran Islam dalam kehidupan manusia.
Bagaimanapun umat Islam akan meraih kemenangan dan tingginya kalimat Allah Swt,
jikalau jihad benar-benar bisa terealisasikan dalam kehidupan manusia.
Mengenai
hukum jihad, Imam Nawawi dalam kitabnya menulis bahwasanya jihad pada masa
Rasulullah memiliki hukum fardhu kifayah, versi yang lemah mengatakan fardhu
‘ain. Adapun setelah wafatnya, hukum jihad tergantung pada keadaan kaum kafir.
Bila kaum kafir berada di negara mereka, maka hukumnya fardhu kifayah, yakni
apabila dilakukan beberapa orang saja, maka yang lain tidak akan mendapat dosa.
Sedangkan jika kaum kafir menginjakkan kakinya di daerah kaum muslimin dengan
tujuan ekspansi kolonialisme misalnya, maka wajib bagi seluruh orang Islam
untuk angkat senjata dengan segala cara, tidak terkecuali orang miskin, hamba
sahaya ataupun anak kecil.
Islam
Motivator Jihad nan Manusiawi
Seperti yang
telah disinggung di atas, bahwa ada beberapa ayat al-Qur'an dan Hadits yang
mengindikasikan bahwa jihad merupakan suatu kewajiban bagi setiap umat Islam.
Meskipun demikian, nash-nash tersebut tidaklah mengandung prinsip-prinsip yang
mereflesikan bahwa tujuan diberlakukannya perang adalah pemaksaan untuk menerima
dakwah, akan tetapi diharuskan bersikap defensif ketika terjadinya penyerangan
dan pengusiran kaum muslimin. Ini bisa kita lihat dalam surat al-Nisa’ ayat 74:
“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang
yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya
berdo’a; ‘Ya tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zhalim
penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami
penolong dari sisi Engkau.”
Jihad sebagai
salah satu medium dakwah, telah dipraktikkan Nabi Muhammad Saw, dalam mengemban
risalah-risalah yang diberikan Allah Swt, kepadanya. Imam Ibnu Qayyim dalam
kitabnya ‘Zad al-Ma’ad’ telah menjelaskan fase-fase perjalanan jihad
yang dijalani Rasulullah Saw.
Pertama kali,
Allah Swt mewahyukan kepadanya dengan perintah membaca atas nama Allah Sang
Pencipta, “iqra’ bismirabbika alladzi khalaq” (al-Alaq: 1). Ini awal
dari kenabiannya, diperintahkan membaca untuk dirinya dan belum diperintahkan
untuk menyampaikan kepada orang lain.
Kemudian
diturunkan kepadanya ayat “Ya ayyuhal mudatstsir” (al-Mudatstsir: 1),
yang dengan itu beliau telah diangkat menjadi Nabi dan Rasul, dengan perintah
untuk menyampaikan dakwah kepada keluarganya, kemudian masyarakat Arab
semuanya, dan seluruh umat manusia. Tiga belas tahun Rasulullah Saw, berdakwah
setelah kenabiannya tanpa konfrontasi senjata maupun jizyah. Dalam waktu
itu Rasulullah Saw, diperintahkan untuk menahan diri, sabar dan memaafkan.
Kemudian diizinkan untuk berhijrah ke Madinah, disusul dengan diizinkannya
berperang. Setelah itu ada perintah untuk memerangi siapa pun yang memusuhinya
dan tidak memerangi orang yang tidak memusuhinya.
Terakhir, diperintahkan
memerangi orang-orang musyrik, sehingga tiada satupun yang ditaati selain Allah
Swt. Setelah perintah jihad ini, orang kafir menjadi tiga golongan. Pertama,
orang-orang yang melakukan gencatan senjata dengan Rasulullah Saw. Kedua,
orang-orang yang memusuhi dan memerangi Rasulullah Saw. Dan ketiga,
orang-orang yang hidup aman dibawah perlindungan Islam dengan membayar jizyah
(pajak keamanan, karena sebagai non muslim mereka tidak membayar zakat).
Para
orientalis Barat menilai bahwa, praktik jihad merupakan manifestasi praktik
radikalisme dan fundamentalisme yang dilakukan umat Islam untuk menjaga
kesucian agamanya. Mereka beropini bahwa, jihad adalah upaya umat Islam dalam
menyebarkan agamanya dengan jalan yang penuh anarkis dan non-toleran. Hingga
ada yang berpandangan bahwa setiap individu kaum muslimin tidak terlepas dari pencapan
‘siap mati demi Islam’, di tangan kanannya terlihat memegang al-Qur'an sedang
di tangan kirinya memegang pedang. Samuel Huntington, guru besar di Universitas
Harvard dan penulis tesis ‘The Clash of Civilization’, dengan percaya
diri menyatakan bahwa “Islam dikelilingi perbatasan yang penuh darah”.
Sementara itu, ilmuwan politik Benjamin Barber, penulis buku ‘Jihad vs
McWorld’, menggunakan istilah Islam yang khas, jihad mencirikan semua
bentuk partikularisme yang dogmatis dan membenarkan penggunaan kekerasan.
Dalam
menyikapi hal ini, Imam Hasan al-Banna mengemukakan sejumlah bukti sejarah yang
menampik tuduhan itu. Dengan gamblang pendiri gerakan ikhwanul muslimin ini
menjelaskan, “apakah hanya Islam yang menganjurkan perang dan jihad sebagai
sarana untuk melindungi yang haq? Ternyata, semua syariat sebelumnya dan
undang-undang yang datang setelahnya, menganjurkan perang seperti apa yang
dianjurkan Islam.”
Lembaran
Taurat yang digunakan orang-orang Yahudi sekarang penuh dengan berita-berita
peperangan, jihad, penghancuran, pembinasaan dan kerawanan. Taurat Yahudi
menetapkan syariat perang, tetapi dalam bentuk yang paling kejam. Terdapat
dalam kitab Ulangan pada pasal 20 ayat 10 dan setelahnya :
“Di saat
kamu mendekati suatu kota untuk diperangi, panggillah penduduknya untuk damai.
Jika mereka menerima tawaran itu, kamu buka kota itu, maka semua penduduk yang
ada di sana boleh kamu tundukkan dan jadikan hamba sahaya.”
“Apabila
mereka tidak menerima dan mengadakan perlawanan, perangilah kota itu. Kalau
tuhanmu memberikan kemenangan kepadamu, maka penggallah leher-leher kaum
laki-lakinya. Adapun kaum wanita, anak-anak, binatang dan semua yang ada di
dalamnya, ambillah untukmu. Dan makanlah harta musuh-musuhmu yang telah
diberikan Tuhan untukmu.”
Dalam injil
Matius yang digunakan orang Kristen, pada pasal ayat 25 dan selanjutnya
terdapat kata-kata:
“Janganlah
kalian duga aku datang menemuimu di muka bumi dengan perdamaian. Tetapi aku
datang dengan kekerasan. Aku datang untuk memisahkan manusia, agar bapak-bapak
memusihi anaknya, anak melawan bapaknya, menantu melawan mertuanya, dan
musuh-musuh manusia adalah keluarganya sendiri.”
“Barangsiapa
yang mencintai bapak atau ibu lebih dari aku berarti tidak berhak dengan
ampunanku. Dan barang siapa tidak mengambil salibnya dan mengikutiku, maka ia
bukan pengikutku.”
Undang-undang
internasional modern juga mengakui situasi dan kondisi yang membolehkan perang.
Oleh karena itu Hasan al-Banna menggugat dengan mengatakan; “apa yang dibawa
Islam dalam masalah ini jauh lebih baik, lebih detail, lebih manusiawi dan
lebih setia perdamaiannya. Namun, mengapa tuduhab-tuduhan tidak logis itu hanya
diarahkan kepada Islam dan tidak kepada yang lainnya?”
Disamping
itu, sopan santun ketika menjalankan tugas jihad sangat diperhatikan dan
dijaga, karena tujuan diberlakukannya jihad bukanlah semata-mata karena dorongan
hawa nafsu dan keinginan pribadi. Islam sebagai agama perdamaian menyerukan
kepada pemeluknya agar memperhatikan norma-norma kemanusiaan dalam
mengimplementasikan praktik jihad. Stetemen ini didukung oleh pengalaman Nabi
sendiri ketika memerintahkan sahabat-sahabatnya, agar tidak melakukan hal-hal
yang tidak menjadi tugasnya.
Prof. Dr. Marcel A. Baisard menegaskan, prinsip
fundamental dan sistem hukum Islam yang dapat diterapkan sebagai kaidah dalam
sengketa bersenjata antar negara atau dalam negara secara ringkas sebagai
berikut:
- Bahwa di dalam peperangan, tidak boleh membuat eksis, pengkhianatan dan ketidakadilan dalam segala bidang.
- Bahwa di dalam peperangan, dilarang melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat menyebabkan musuh menderita secara berlebih-lebihan, seperti pembantaian, kekejaman dan hukuman-hukuman yang keji.
- Bahwa di dalam peperangan, dilarang melakukan perbuatan-perbuatan penghancuran yang tiada gunanya, khususnya perusakan tanaman-tanaman dan lain sebagainya.
- Bahwa di dalam peperangan, dilarang mempergunakan senjata beracun, melakukan penghancuran dan bertindak membabi buta.
- Bahwa di dalam peperangan, harus selalu waspada, dapat membedakan antara prajurit yang memakai pakaian khusus uniform atau seragam dalam tentara Islam, dengan mereka orang-orang sipil yang tidak mengambil bagian dalam peperangan.
- Bahwa di dalam peperangan, harus bersikap hormat kepada mereka yang terpisah dari kesatuan tentara, seperti terhadap orang-orang yang luka, prajurit keamanan bangsa-bangsa yang memiliki pos jalan sebagai palang merah internasional, dan terhadap tawanan-tawanan perang.
- Bahwa di dalam peperangan, harus memberi perlakuan yang berprikemanusiaan terhadap tawanan-tawanan perang yang akan dipertukarkan atau dibebaskan secara sepihak, apabila perang sudah selesai dan tidak ada agi tawanan perang muslim di pihak musuh.
- Bahwa di dalam peperangan, harus memberi perlindungan secukupnya kepada penduduk sipil, dengan menghormati agama dan kebudayaan mereka, termasuk pemuka-pemuka agama mereka. Atas dasar itu, maka syariat Islam membenarkan untuk menghukum terhadap mereka yang melakukan pemerkosaan trhadap kaum wanita.
- Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam menegaskan pertanggungjawaban perorangan dalam suatu hukum dan selanjutnya menghapus sistem bela darah seperti apa yang pernah berlaku di zaman jahiliyah. Artinya, melenyapkan segala bentuk hukuman terhadap seseorang yang mereka sendiri tidak melakukannya.
- Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam menghukum setiap sikap timbal balik dalam kejahatan dan pembalasan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan yang fundamental.
- Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam membenarkan kerja sama dengan pihak musuh dalam masalah-masalah pekerjaan yang bersifat kemanusiaan.
- Bahwa di dalam peperangan, syariat Islam melarang secara formal atas segala tindakan yang dilakukan bertentangan dengan ketentuan-ketentuan perjanjian damai yang telah diadakan bersama dengan orang Islam. Pakta perdamaian harus dipegang teguh sejauh pihak musuh masih tetap menghormati isi perjanjian damai itu.
- Bahwa peperangan di dalam syariat Islam perlu dilancarkan bukannya sebagai suatu pelepas rasa balas dendam, melainkan hanya sebagai suatu usaha untuk melenyapkan perbuatan ketidakadilan dan kezhaliman.
1 komentar:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar